Yang Praktis yang Rentan Terjerat Persoalan Hukum
Fokus

Yang Praktis yang Rentan Terjerat Persoalan Hukum

Meski diterima masyarakat luas, keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi banyak ditentang ‘pesaingnya’. Regulasi baru diperlukan.

Oleh:
YOZ/FAT/RFQ
Bacaan 2 Menit
Go-Jek dan Grabbike, dua contoh fenomena transportasi berbasis aplikasi. Foto: RES
Go-Jek dan Grabbike, dua contoh fenomena transportasi berbasis aplikasi. Foto: RES
Fenomena transportasi berbasis aplikasi seperti Go-Jek, GrabBike, GrabCar dan Uber Taxi menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Selain menawarkan tarif murah dengan embel-embel promosi, transportasi jenis ini memberikan pelayanan yang terbilang cepat dan praktis. Hal ini jelas memancing ketertarikan masyarakat perkotaan yang memiliki aktivitas padat.  

Belakangan, kehadiran moda transportasi berbasis aplikasi menjadi polemik lantaran tidak ada payung hukum yang spesifik mengatur tentang bisnis ini. Tak adanya regulasi yang mengatur usaha ini, jelas bisa menimbulkan persoalan hukum tersendiri baik bagi perusahaan, pengemudi, bahkan konsumen.

Lihat saja di kawasan Kalibata City, Jakarta Selatan. Warga yang bermata pencaharian sebagai tukang ojek konvensional merasa terancam dengan kehadiran pengemudi Go-Jek. Bahkan, mereka membuat papan pemberitahuan yang seakan mengintimidasi pengemudi Go-Jek untuk tidak memasuki area Kalibata City. Mereka merasa kehadiran Go-Jek telah memangkas pandapatan mereka.

Di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, beda lagi. Seorang perempuan yang menjadi pengemudi Go-Jek dipukul oleh pengemudi ojek yang biasa mangkal di daerah itu. Pengemudi ojek konvensional itu merasa pengemudi Go-Jek telah merebut calon penumpangnya.

Persoalan tidak sampai di situ. Pada 8 Juni lalu, LSM Indonesian Club melaporkan Uber Taxi dan Easy Taxi ke Bareskrim Polri karena diduga tidak memiliki izin untuk menyelenggarakan jasa taksi.  Direktur LSM Indonesian Club, Gigih Guntoro, mengatakan bisnis yang dilakukan mereka melanggar UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum, UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan PP No.74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Laporan ini berujung pada penangkapan lima sopir taksi Uber. Mereka dibekuk setelah dijebak petugas yang berpura-pura memesan taksi.  

Tapi perlu diketahui, persoalan hukum jasa transportasi berbasis aplikasi tak hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain, beberapa perusahaan penyedia jasa aplikasi yang berupaya mengembangkan inovasinya justru harus berujung pada kasus hukum di pengadilan seperti Uber Taksi yang dituntut C$400 juta di Kanada, Yellow Cabs Co digugat penumpangnya di Australia, dan Taxi Magic yang dihukum di Amerika Serikat.

Bekaca dari persoalan-pesoalan di atas, sudah sepatutnya pemerintah memberi perhatian serius terhadap industri transportasi di Tanah Air. Dan harus diakui, keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi merupakan sebuah terobosan akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan moda transportasi berbiaya murah, cepat dan praktis. “Tetap dibutuhkan aturan baru agar dapat melindungi semua pihak,” ujar Ketua Komisi V DPR, Fery Djemi Francis.

Direktur Eksekutif Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Deddy Herlambang, menyarankan agar pemerintah membuat regulasi berupa peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Menurutnya, pemerintah cukup menerbitkan regulasi dengan merujuk dari UU tentang Lalu Lintas dan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ia berpandangan dengan memadukan kedua UU tersebut setidaknya dapat menjadi acuan untuk kemudian menerbitkan PP atau Peraturan Presiden (Perpres). “Kalau Perpres itu antara Kemenhub, Kepolisian Kemenkominfo dapat bekerjasama. Saya pikir tidak perlu undang-undang,” ujarnya.

Terkait perlindungan konsumen, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) berencana mengkaji lebih mendalam perlindungan konsumen yang menggunakan jasa transportasi berbasis aplikasi atau sistem elektronik. Bentuk perlindungan terhadap konsumen pengguna jasa transportasi online ini pada saat terjadi pemesanan.

“Jika pemesanan sudah dilakukan namun pengendara transportasi berbasis aplikasi tersebut tidak datang atau memenuhi pemesanan, telah masuk kategori wanprestasi,” kata Koordinator Komisi Edukasi dan Komunikasi BPKN, David M.L. Tobing.

Banyak masyarakat khususnya yang tidak memiliki pekerjaan memilih menjadi pengemudi Go-Jek. Pada umumnya, mereka tergiur dengan pendapatan menjadi pengemudi Go-Jek. Satu hal yang mesti ingat, meski rekrutmen yang dilakukan perusahaan Go-Jek sama dengan perusahaan lainnya, namun pengemudi jasa transportasi berbasis aplikasi ini tidak masuk dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Soalnya, kontrak antara pengemudi dengan perusahaan hanya tertera sebagai mitra.

Pakar hukum ketenagakerjaan, Umar Kasim, mengatakan UU Ketenagakerjaan tak mencakup mengenai hubungan hukum melakukan perkerjaan berdasarkan kemitraan. Dalam UU tersebut, yang diakui hanya hubungan hukum melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja. “UU Ketenagakerjaan itu tidak mencakup tenaga kerja yang di luar hubungan kerja, jadi hanya tenaga kerja yang dalam hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja,” kata Umar.

Hal itu berbeda jika merujuk pada UU Ketenagakerjaan yang lama, yakni UU No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Kerja. Menurut Umar, UU No.14 Tahun 1969 cakupannya lebih luas. Setidaknya, terdapat tujuh hubungan hukum dalam melakukan pekerjaan.

“Hubungan hukum melakukan pekerjaan, ada berdasarkan kemitraan tadi, ada berdasarkan perjanjian jasa-jasa, ada berdasarkan letter of appoinment, perjanjian kerja, perjanjian pemborongan, ada tujuh macam hubungan hukum melakukan pekerjaan itu,” ujar Umar.

Terlepas dari persoalan-persoalan hukum yang dihadapi perusahaan transportasi berbasis aplikasi beserta pengemudinya, sejauh ini masyarakat terlihat cukup antusias menerima keberadaan mereka. Setidaknya, kemajuan teknologi bisa dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan masyarakat yang mengidamkan transportasi murah, cepat, dan praktis. Namun bagaimanapun juga, semua memerlukan aturan agar lebih tertib dan tidak menimbulkan kecemburuan bisnis.   
Tags:

Berita Terkait