Mempersiapkan Advokat Indonesia dalam Menghadapi MEA
Kolom

Mempersiapkan Advokat Indonesia dalam Menghadapi MEA

Bagian kedua dari dua tulisan.

Bacaan 2 Menit
Ricardo Simanjuntak. Foto: Sgp
Ricardo Simanjuntak. Foto: Sgp
Jika menilik UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), kehadiran advokat atau konsultan hukum asing  (selanjutnya disebut advokat asing) di Indonesia pada dasarnya tidak dilarang. Pasal 23 UU Advokat hanya membatasi  kewenangan advokat asing, yakni hanya  dapat memberikan  nasihat atau opini hukum  yang berdasarkan hukum asing.  Demikian pula dasar dari keberadaan  advokat asing di Indonesia,  hanya dibatasi pada kedudukannya sebagai karyawan atau tenaga ahli di dalam suatu kantor advokat Indonesia. Dengan pengertian lain, advokat  asing tidak diperbolehkan beracara di sidang pengadilan di Indonesia atau memberikan nasihat dan atau opini hukum (legal services) berdasarkan hukum Indonesia, serta tidak diperbolehkan berpraktek secara langsung atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.

Walaupun pada dasarnya ketentuan untuk membatasi aktivitas pelayanan advokat asing di Indonesia, sangat baik dalam melindungi kepentingan dari advokat Indonesia dari ‘serbuan’ advokat asing,  tetapi,  pembatasan-pembatasan tersebut, ternyata semakin hari semakin sulit untuk dipertahankan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Pemberian jasa hukum terhadap pelaku usaha (investor asing) dapat dilakukan secara  on project or on case basis, sehingga advokat asing dapat melakukan pekerjaan di Indonesia tanpa harus  tinggal atau membuka cabang kantor hukumnya di Indonesia. Misalnya, advokat asing datang ke Indonesia pagi, kemudian sore atau keesokan harinya telah kembali lagi ke negaranya. Praktek seperti ini diduga telah lama terjadi tetapi akan sangat sulit diketahui, kecuali ada pihak yang secara sengaja melaporkan tindakan pemberian jasa hukum oleh advokat asing sebagai tindakan melanggar Pasal 23 UU Advokat.
  2. Perkembangan teknologi dan komunikasi telah mengakibatkan hampir tidak ada lagi jarak dan batas antar wilayah negara, sehingga pemberian jasa hukum oleh advokat asing dapat dilakukan melalui pengunaan alat telekomunikasi yang canggih, misalnya rapat secara online, telekonperensi atau dengan teknologi skype.
  3. Pengertian dari tidak dapat berpraktek secara langsung,  dan tidak dapat membuka perwakilan di Indonesia bagi advokat atau lawyer asing, sangat kabur maknanya bila dihadapkan dengan fakta-fakta yang telah lama hadir di Indonesia, dimana kolaborasi dari advokat asing dengan kantor-kantor hukum Indonesia hanya seakan-akan “terlihat” merupakan hubungan pemberi kerja dengan pekerja atau tenaga ahli (employers dengan employees atau foreign legal expert) tetapi “tercium” sebagai hubungan partnership, apalagi dengan ketidakjelasan dari makna terminologi dari “in association with.
Contoh-contoh tersebut pada dasarnya  hanya memberikan kerugian bagi Indonesia, karena peristiwa semacam itu dapat mengakibatkan peletakan batas pertanggungjawaban profesi menjadi sangat tidak jelas. Aktivitas akvokat asing dengan menggunakan strategi yang disebutkan pada angka 1 dan angka 2 di atas,  jelas akan lebih merugikan Indonesia. Sebab, selain advokat asing tersebut tidak membayar kewajiban pajak terhadap setiap penghasilan yang telah diperolehnya dari pemberian jasa hukum di Indonesia tersebut, kewajiban-kewajiban untuk melakukan sharing of knowledge, sharing of business cooperation dan kewajiban untuk melakukan pelayanan masyarakat sehubungan dengan access to justice secara cuma-cumaatau probono(13) menjadi hampir tidak mungkin dilakukan. Begitu pula dengan tidak tegasnya ukuran batasan kerjasama yang dimaksud Pasal 23 UU Advokat dalam praktek, cenderung mengakibatkan, secara formal, pertanggungjawaban profesi hanya dapat dibebankan kepada advokat Indonesia, karena dapat saja misalnya Legal Opinion tersebut secara formal ditandatangani oleh advokat Indonesia, padahal sebenarnya dibuat sang advokat asing.

Selain itu, perwujudan pasar tunggal ASEAN dengan semangat ‘one identity, one destiny’  akan mengakibatkan kata ‘asing’ akan mengalami pengaburan arti dalam wilayah MEA yang  dalam Pasal 35 dan 36 The ASEAN Charter telah dibagun dalam identitas tunggal ASEAN, dengan motto: One Vision, One Identity, One Community . Pergerakan jasa hukum secara cross-border akan semakin tidak dapat dihindarkan sebagai bagian dari target  free movement of service yang melekat erat dengan aktivitas investasi, produksi dan pemasaran di wilayah ASEAN sebagai konsekuensi dari collective agreements negara-negara anggota ASEAN. Kesepakatan-kesepakatan bersama (collective agreements) negara-negara anggota ASEAN  merupakan perjanjian internasional yang akan mengikat setiap angota. Dengan pengertian lain, ASEAN collective agreements akan mengakibatkan negara-negara anggota yang menyetujuinya membuat kesepakatan internasional. Dari sisi hukum perdata internasional, ini menjadi bagian dari perkembangan hukum nasionalnya, dalam aktivitas bisnis  internasional.

Jika melihat perkembangan the European Union (EU) yang telah meliberalisasi pergerakan advokat dan pemberian jasa hukum (reciprocal recognition and implementation of free movement of legal services and legal profession) di wilayah Uni Eropa melalui EU Directive 2005/36/EC,  semakin jelas bahwa daya tahan keberlakuan Pasal 23 UU Advokat untuk tidak memberikan hak bagi advokat asing berpraktek secara langsung atau membuka perwakilan cabang kantor hukumnya di Indonesia, lambat atau cepat, sulit untuk tetap bertahan sebagai konsekuensi dari AEC. Pembicaraan-pembicaraan  yang berhubungan dengan  idefree movement of legal profession and legal services within the EAC, itu sendiri  telah semakin intensif dilakukan, baik melalui aktivitas-aktivitas ASEAN,  ASEAN Law Association,  aktivitas Bar Association, seperti dalam international conference yang baru-baru ini diselenggarakan oleh the International Bar Association di Tokyo dan LawAsia di Sidney dan di Thailand, serta diskusi-diskusi internasional lainnya, termasuk juga yang secara aktif  digagas oleh lembaga-lembaga keuangan internasional.

Dengan melihat dan menyadari fakta di atas, maka arah pembangunan visi advokat Indonesia haruslah lebih berani dan lebih nyata, yaitu melihat peluang pasar pemberian jasa hukum tidak lagi sebatas pada wilayah Indonesia saja, tetapi pada perluasan wilayah Indonesia, yang telah terintegrasi menjadi “integrated area of ASEAN.” Cara pandang ini akan membuat advokat Indonesia tidak lagi semata-mata hanya  berkonsentrasi untuk menahan keberadaan Pasal 23 UU Advokat dengan melihat advokat asing sebagai ancaman. Lebih dari itu, advokat Indonesia seharusnya telah siap untuk berkompetisi dalam pasar pemberian jasa advokat di wilayah MEA ketika pemerintah harus menyesuaikan ketentuan undang-undang nasionalnya, termasuk UU Advokat Indonesia, sebagai konsekuensi dari collective agreements yang disepakati 9 negara anggota ASEAN lainnya.

Peluang advokat Indonesia untuk dapat berpraktek dan memberikan jasa hukum di masing-masing wilayah dari 9 negara anggota ASEAN (dan juga negara-negara mitra strategis non-ASEAN), sebenarnya akan menumbuhkembangkan wilayah pelayanan dan hubungan dari advokat Indonesia pada level global, termasuk  jangkauannya pada pelaku-pelaku pasar, investor serta pemilik-pemilik modal global  yang pada umumnya merupakan first source of clients,  yang akan mendorong peningkatan income dari advokat Indonesia(14). Tentunya, hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, seperti, misalnya,  bahasa Inggris yang menjadi syarat dasar dari pembangunan kemampuan dan kesiapan  beraktivitas global tersebut, masih merupakan ‘barang mewah’ bagi kebanyakan advokat di Indonesia. Namun, keterbatasan tersebut bukanlah suatu beban yang tidak bisa tepinggirkan ketika seorang  advokat Indonesia memahami secara baik, bahwa pergeseran arah pasar jasa hukum kewilayah yang semakin global dan liberal, akan memaksa advokat tersebut untuk membangun dirinya dengan sedini dan sebaik mungkin.

Peran PERADI
PERADI, sebagai organisasi profesi Advokat di Indonesia,  selain harus berdiri pada garda terdepan dalam menjaga harkat dan martabat dari profesi advokat sebagai suatu profesi yang terhormat (officum nobile), harus pula berada pada garda terdepan dalam mempersiapkan sumber daya advokat Indonesia untuk mampu berkompetisi dalam era MEA. Realisasi pembangunan kualitas sumber daya advokat Indonesia secara paripurna tidak hanya ditentukan oleh peran universitas dimana advokat tersebut menimba ilmu hukum, tetapi juga oleh peran organisasi tempat advokat Indonesia bernaung.

Hal tersebut sebenarnya telah dimulai PERADI melalui suatu program rekrutmen calon-calon advokat Indonesia dengan komitmen zero KKN. Sikap mengutamakan mutu secara ‘tanpa pandang bulu’ memberikan suatu harapan akan lahirnya advokat Indonesia yang memiliki basis keilmuan dan pemahaman terhadap kode etik profesi advokat yang baik. Peningkatan sumber daya advokat Indonesia menuju pada standarisasi global telah pula dilakukan  dengan membangun pola pendidikan lanjutan (continuing  legal education) termasuk juga upaya melibatkan advokat asing yang telah menjadi bagian dari anggota PERADI - dan juga telah mengikuti pendidikan dan lulus dalam ujian kode etik advokat Indonesia -  untuk berbagi ilmu dan pengalaman (transferring knowledge) dengan sebanyak mungkin advokat Indonesia sehubungan dengan peran hukum asing dalam aktivitas hukum internasional (komersial atau non-komersial), baik dalam wilayah kedaulatan Indonesia maupun sebagai konsekuensi dari one vision, one identity dan one community. Termasuk juga pengembangan pengetahuan terhadap tatacara pengelolaan kantor advokat (management of law firm) yang baik.

Upaya mengembangkan potensi dari kantor-kantor hukum Indonesia untuk melebarkan jangkauan dan peran pelayanan hukumnya pada wilayah MEA, juga harus menjadi fokus yang tidak bisa dianggap sepele. Langkah untuk memodernisasi kantor hukum Indonesia sudah mutlak harus dilakukan. Saat ini kantor hukum Indonesia terbangun dari formalisasi  aktivitas praktek bersama atau dalam bentuk partnership firma (law firm). Wadah berusaha (pelayanan hukum) berbentuk  partnership atau firma ini tidak melahirkan suatu badan hukum (legal entity) yang baru sehingga tetap merupakan bagian yang tidak terpisah, dalam hal kekayaan dan tanggung jawab, dengan masing-masing pendiri atau partner (firmant nya).  Bentuk badan usaha pelayanan hukum seperti ini pada dasarnya sudah mulai ditinggalkan di luar negeri, seperti misalnya di Amerika atau Eropa, bahkan Singapura. Badan usaha pelayanan hukum telah dikonstruksikan dalam bentuk Limited Liability Partnership (LLP), legal entity dengan batasan pertanggungjawaban terhadap masing-masing dari partnernya.

Pada dasarnya realisasi pembangunan kualitas sumber daya advokat Indonesia sangat ditentukan pada dua wilayah penting; yaitu peran dari universitas dimana advokat tersebut menimba ilmu hukum, dan setelah itu, peran pembinaan dan pengembangan yang diberikan oleh PERADI, sebagai organisasi advokat Indonesia, dimana advokat Indonesia bernaung. Keberadaan dari dua institusi ini tidak dapat lagi dilihat secara terpisah,  tetapi haruslah merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam menghasilkan mutu-mutu advokat Indonesia yang berkualitas ASEAN.

Realita pasar yang menjadi basis penting bagi PERADI untuk menerjemahkan dengan lebih akurat dan tepat apa yang dimaksud dengan profesi advokat sebagai profesi terhormat (officum nobile), haruslah menjadi masukan penting bagi perguruan tinggi di Indonesia, karena sebenarnya, profesi advokat bukanlah profesi yang dapat dilakukan oleh semua orang. Advokat adalah profesi yang hanya  dapat dijalankan secara baik dan maksimal oleh mahasiswa-mahasiswa hukum  (calon-calon advokat) yang cerdas, jujur dan berkepribadian santun. Oleh karena itu, peningkatan persyaratan, perbaikan-perbaikan jangkauan kurikulum pengajaran serta kualitas pengajar pada fakultas-fakultas hukum haruslah secara serius ditingkatkan.

Hubungan teknis antara universitas di Indonesia dengan PERADI, tidak baik, bila hanya timbul dari pengujian kualitas lulusan fakultas-fakultas hukum di Indonesia dalam proses penyaringan calon advokat. Menurut saya harus lebih dari itu. Harus terbangun kerjasama yang berkesinambungan, termasuk dalam  program-program kekhususan yang lebih membangun kesiapan dari mahasiswa hukum untuk semakin memahami kesiapan-kesiapan apa saja yang harus dipenuhi untuk memenuhi persyaratan sebagai advokat yang berkualitas baik dan berkelakuan terhormat. Dengan pengertian lain, keberadaan dari kedua institusi ini tidak dapat lagi dilihat secara terpisah, tetapi haruslah merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dalam menghasilkan mutu-mutu advokat Indonesia yang, paling tidak, berkualitas ASEAN.

Bersatu membangun kualitas dan menjaga kehormatan advokat Indonesia adalah dasar dari berdirinya PERADI di Indonesia. Sudah selayaknya seluruh ego-ego kekuasaan dipinggirkan untuk membuka setiap ruang untuk dapat duduk bersama, bersatu membangun Advokat Indonesia yang kuat dan bermartabat. Karena dengan hal tersebutlah advokat Indonesia akan lebih kuat dalam berkompetisi dengan advokat asing di pasar Indonesia, dan juga di pasar ASEAN.

--------------
*) Penulis adalah advokat senior dan pengajar pascasarjana pada beberapa perguruan tinggi. Konsep awal tulisan ini pernah dipresentasikan dalam seminar nasional yang diselenggarakan AAI pada 29 Januari 2015.


CATATAN KAKI:

(1)     C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung; Alumni. 1999, hlm.17
(2)     Lebih jauh, baca Paul Hirst dan Grahame Thompson, “Globalisasi adalah Mitos, Sebuah Kesangsian terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia dan Kemungkinan Aturan Mainnya”. Terjemahan P. Sumitro, Jakarta, Yayasan Obor, 2001, halaman 16-17.
(3)     Yudha Bhakti Ardhiwisastra, “Immunitas Kedaulatan Negera di Forum Pengadilan Asing.” Penerbit Alumni Bandung 1999, halaman 18-22.
(4)     Ricardo Simanjuntak, “Urgensi Pembangunan Hukum Kepailitan Transnasional Indonesia dalam Menghadapi The ASEAN Economic Community’s Crossborder Insolvency Law.” Tulisan ilmiah yang diterbitkan dalam buku Purnabakti Hakim Agung Prof. Rehngena Purba.
(5)     Lebih jauh, baca  Philip Wood, “The Law and Practice of International Finance”, Thomson, Sweet & Maxwell, London 2008, University Edition.
(6)     Terdapat tiga pilar ASEAN,  yaitu; the ASEAN Economic Community (AEC), the ASEAN Security Community (ASC) dan the ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC),  yang berdasarkan the ASEAN Economic Community Blue Print,  merupakan pilar yang tidak dapat dipisahkan dan saling mendukung (working in tandem) satu sama lain dalam mewujudkan  the ASEAN Community.
(7)     The ASEAN Vision 2020, www.asean.org/news/item/asean-vision-2020 ( di akses pada tanggal 25 Januari2015).
(8)     The Declaration on the ASEAN Economic Blue Print, www.asean.org/archieve/5187-10.pdf (diakses pada tanggal  18 Januari 2015).
(9)      “AEC Launch delayed a year”, publikasi online terbitan tanggal 21 November 2012 oleh Wanwisa Ngamsangchakit, TTR, Weekly, Ttrweekly.com/site/2012/11/aec-launch-delayed-a-year (diakses pada tanggal 25 January 2015). Dalam the ASEAN Summit ke 21 di Phnom Penh pada tanggal 16 -20 November 2012, kesepuluh negara anggota ASEAN telah menyepakati  penundaan pelaksanaan AEC  selama 12 bulan, sehingga yang seharusnya pada 1 Januari 2015, menjadi 31 Desember 2015. Sekjen ASEAN saat itu, Surin Pitsuwan  dalam press conference-nya menegaskan ; “There will be no more delays and that all 10 ASEAN countries will participate.”
(10)Bila mengikuti keinginan dari berbagai kalangan pelaku usaha dan juga para akademisi yang menggambarkan ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi keberlakuan AEC pada tanggal 31 Desember 2015 nanti, bahkan Menteri Sosial, Khofiffah Indar Parawansa menegaskan sistem birokrasi dan pengawasan yang masih minim sebagai salah satu alasan ketidaksiapan Indonesia menghadapi AEC 2015, Rakyat Merdeka, Senin 26 Januari 2015, hal. 6.
(11)Masyarakat Ekonomi ASEAN, Berani dan Bersiap, Analisis harian Kompas oleh C Anto Saptowalyono, Rabu 14 Januari 2015.
(12)ASEAN Business Outlook 2015 yang diterbitkan oleh the US Chamber of Commerce menyatakan mayoritas dari bisnis eksekutif yang disurvei menekankan bahwa pasar ASEAN masih merupakan bagian utama dari aktivitas bisnis internasional dan target pendapatan mereka dalam dua tahun ke depan. Lihat  http://www.USchamber.com/sites/default/files/asean_business_outlook_survey_2015.pdf. (diakses 25 Januari 2015).
(13)Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) dari UU Advokat, dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.11-HT.04.02.TH 2004 tentang Persayaratan dan Tatacara Mempekerjakan Advokat Asing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum di Indonesia.
(14)Dalam beberapa kesempatan saya mempresentasikan bahwa pola kantor advokat Indonesia sebaiknya tidak lagi hanya dalam bentuk persekutuan perdata atau firma, yang memberikan konsekuensi pertanggungjawaban tidak terbatas (unlimited liability) terhadap para partnernya. Kecenderungan di dunia, kantor-kantor advokat telah dibangun dalam bentuk Limite Liability Partnership (LLP), yang memberikan ketegasan tentang batasan pertanggungjawaban dari masing-masing partner dalam suatu kantor Advokat. Bentuk LLP akan memberikan dorongan bagi advokat Indonesia untuk mengembangkan cabang atau perwakilan dari kantor-kantor advokat yang dibangunnya, tidak saja dalam wilayah Indonesia, tetapi juga pada wilayah ASEAN, dengan adanya kepastian pembatasan pertanggungjawaban.
Tags: