Ahli Hukum Pidana: UU Korupsi Harus Ditarik dari RKUHP
Berita

Ahli Hukum Pidana: UU Korupsi Harus Ditarik dari RKUHP

Karena jika tidak, KPK dan Kejaksaan Agung bisa bubar.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah. Foto: RES
Pakar Hukum Pidana Prof. Andi Hamzah. Foto: RES
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah mulai berjalan. Selain melakukan studi banding ke beberapa negara, Komisi III DPR mulai meminta pandangan hukum dari sejumlah ahli hukum pidana. Menariknya, ahli hukum pidana Universitas Trisakti Prof Andi Hamzah meminta UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ditarik dari RKUHP.

“Sebaiknya UU Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan dari RKUHP,” ujar Andi saat melakukan rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III di Gedung DPR, Selasa (1/9).

Andi yang sebelumnya menjadi bagian dari tim perumus RKUHP menilai, UU Pemberantasan Tipikor lebih baik di luar KUHP dan bersifat lex spesialis. Terlebih, selain tumpang tindih dengan ihwal yang mengatur jabatan. Apalagi, RKUHP hanya manarik beberapa pasal dari UU Pemberantasan Tipikor, seperti Pasal 2 dengan unsur memperkaya diri sendiri.

Lebih lanjut, Andi mengatakan dirinya pernah menjadi bagian tim dalam merumuskan revisi UU Pemberantasan Tipikor. Kemudian diserahkan ke Menkumham yang saat itu dijabat Andi Matalata. Belakangan era pergantian rezim, Menkumham dijabat oleh Patrialis Akbar. “Tapi gak tahu itu sekarang draf RUU itu ada di mana,” ujarnya.

Dalam rumusan draf naskah RUU yang disusun itu mengatur banyak hal. Mulai pasal penyuapan tak saja terhadap pejabat negara, tapi juga pihak swasta, pejabat asing. Tak kalah penting, mengatur soal menjual pengaruh. Misalnya, pejabat negara menjual pengaruhnya terhadap pihak lain dalam rangka mendapatkan keuntungan. “Sayang ditarik Patrialis Akbar,” ujarnya.

Ia berencana bakal menyerahkan draf tersebut ke Komisi III. Andi menyarankan agar  Revisi UU Pemberantasan Tipikor menjadi inisiatif DPR. Dengan begitu, UU Pemberantasan Tipikor tetap berada di luar KUHP. “Kalau Korupsi masuk ke RKUHP, maka KPK bubar dan Gedung Bundar (Jampidsus Kejagung, red) bubar,” ujarnya.

Ahli hukum pidana tindak pidana pencucian uang, Yenti Ganarsih, menambahkan DPR mesti berhati-hati dalam memasukan sejumlah UU di luar KUHP masuk dalam RKUHP. Menurutnya, sistem kodifikasi juga mesti mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan jika menarik seluruh UU di luar KUHP masuk dalam RKUHP.

UU Pemberantasan Tipikor, misalnya. Hukum acara yang digunakan KPK memiliki perbedaan dengan hukum acara pidana umumnya. Pasalnya, penanganan kasus korupsi memiliki tindakan yang luar biasa. Makanya, Yenti tidak setuju jika penyadapan mesti diatur dalam RKUHP.

“Di situ saya tidak setuju, karena hukum acaranya beda terkait korupsi,” ujarnya.

Anggota Pansel Capim KPK itu menawarkan agar UU Pemberantasan Tipikor ditarik dari RKUHP. Dengan kata lain, UU Pemberantasan Tipikor tetap berdiri sendiri. Sebab dengan begitu, pemberantasan korupsi ditangani dengan hukum pidana acara dan materil yang khusus.

“Saya menawarkan UU Korupsi dan pencucian uang di luar KUHP. Karena ada signifikan dalam penerpaannya,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman menilai masukan dari ahli menjadi bahan dalam rangka pembahasan RKUHP dengan pemerintah. Menurutnya, masukan ahli hukum pidana menjadi amunisi ketika membahas Daftar Inventarisir Masalah (DIM) dengan pemerintah.

“Pandangan narasumber sangat berharga untuk dijadikan bahan pelengkap selanjutnya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait