Sejarah ILC Tak Lepas dari Konflik Organisasi Advokat
Berita

Sejarah ILC Tak Lepas dari Konflik Organisasi Advokat

“Tidak ada satu pun organisasi advokat pada waktu itu yang bisa membawakan masalah-masalah hukum ke tengah masyarakat”

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Denny Kailimang. Foto: http://kailimang-ponto.com/
Denny Kailimang. Foto: http://kailimang-ponto.com/
Perpecahan di organisasi advokat bukanlah hal yang baru. Banyak masyarakat hukum menyayangkan konflik tersebut. Padahal, advokat bisa berperan sebagai guru bagi masyarakat, terutama mereka yang minim pengetahuan hukum. Tapi siapa sangka, perpecahan organisasi advokat menjadi salah satu sebab lahirnya sebuah klub yang bernama Indonesia Lawyers Club (ILC).    

Dua puluh tiga tahun lalu, tepatnya 6 Mei 1992, klub yang awalnya bernama Jakarta Lawyer Club (JLC) dibentuk. Sembilan orang Sarjana Hukum menandatangani piagam pendirian JLC. Mereka adalah Amir Syamsuddin, Denny Kailimang, Erman Rajagukguk, Karni Ilyas, Luhut MP Pangaribuan, OC Kaligis, Rudhy A. Lontoh, Todung Mulya Lubis, dan Wina Armada.

Barulah pada 30 Juli 1992, JLC diluncurkan di Executive Club Hotel Hilton Jakarta. Dalam peluncuran itu disepakati Todung Mulya Lubis sebagai President JLC untuk periode pertama, didampingi Karni Ilyas sebagai Vice President. Sementara itu, Denny Kailimang dan Erman Rajagukguk menjadi Sekretaris Komite. Sisanya, lima orang yang lain duduk menjadi anggota komite.

“JLC ini berdiri karena kita prihatin, pada waktu itu kok kelihatannya organisasi-organisasi advokat terpecah belah. Jadi, tidak ada satu pun organisasi advokat pada waktu itu yang bisa membawakan masalah-masalah hukum ke tengah masyarakat,” tutur Denny Kailimang kepada hukumonline di kantornya, Jakarta, Senin (31/8).

Keprihatinan itu juga mendorong keinginan bagi para praktisi hukum untuk memiliki lingkaran sosial yang bisa membicarakan masalah-masalah aktual dengan serius. Lantas, lingkaran sosial yang disepakati oleh pendiri JLC boleh diisi oleh siapapun sarjana hukum yang peduli dan memiliki kemampuan terhadap penegakan hukum. Jadi, tidak hanya terbatas pada profesi advokat saja.

Para pendiri juga menyepakati, perkumpulan yang dibentuk itu tak berlu formal. Makanya, tidak dibuatkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Semuanya cukup diatur berdasarkan kesepakatan komite saja. Siapapun boleh menjadi anggotanya asalkan memenuhi syarat, misalnya mendapatkan rekomendasi dari minimal tiga orng komite dan membayar iuran.

Merujuk pada terbitan majalah Forum Keadilan edisi 20 Agustus 1992, pada awal pendiriannya keanggotaan JLC dibatasi sampai 75 orang. Hal ini untuk mengantisipasi JLC menjadi klub massal. Secara rutin para anggota klub pun menggelar diskusi membahas masalah aktual hukum, yang hasilnya diliput oleh majalah Forum Keadilan.

“Awalnya hanya bersifat diskusi panel saja, bukan talk show seperti sekarang, jadi yang bicara narasumber dan moderator. Kalaupun audiens ikut berbicara, paling hanya bertanya atau sedikit komentar,” jelas Denny.

Diskusi rutin JLC pun masih bersifat off-air. Ketika Karni Ilyas menjadi Direktur Pemberitaan dan Hubungan Korporat SCTV, barulah diskusi itu diangkat ke layar kaca. Para pemilik SCTV setuju dengan gagasan Karni dan Denny Kailimang yang juga penasihat hukum SCTV, agar diskusi tersebut disiarkan.

Konflik Andi M. Ghalib dan Amien Rais
Rupanya, diskusi JLC di SCTV menjadi perbincangan. Waktu itu tema yang diangkat adalah perseteruan antara Jaksa Agung Andi M. Ghalib dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Amien Rais. Perseteruan keduanya terkait peradilan mantan Presiden Soeharto.

Ketika itu, Ghalib menantang Amien Rais datang ke Kajaksaan Agung dan memberikan bukti soal kredit macet Soeharto seperti yang dibeberkannya di media massa. Di sisi lain, Amien Rais menilai Andi Ghalib lamban bergerak dan menggertak, “Kalau saya jadi presiden, saya pecat Ghalib dari Jaksa Agung”.

Saking suksesnya acara tersebut, dalam biografinya Karni Ilyas: Lahir Untuk Berita, Karni mengaku dikirimi cek Rp50 juta oleh Dirut SCTV. “Ya dibagi-bagi. Waktu itu memang iklannya masuk terus,” aku Karni.

Namun, Denny mengatakan tak ada royalti bagi pendiri JLC. Setelah kini menjadi ILC dan selalu duduk di rating puncak pun, tak pernah ada bagian apa-apa dari pihak televisi. Denny mengaku, kalau televisi kebanjiran iklan itu menjadi urusan mereka. Ia menyadari, biaya produksi ILC juga cukup besar. Menurutnya, sikap itu menjadi pengorbanan darinya dan kawan-kawan untuk penyuluhan hukum.

“Untuk para pendiri tidak ada royalti apa-apa. Kita juga tidak ada share dari pihak televisi. Kita sudah merasa cukup dengan mendapatkan slot acara ini di televisi. Jadi tidak dibayar ya tidak apa-apa. Ini pengorbanan untuk penyuluhan hukum, kan kalau dulu tidak ada yang mau (menayangkan diskusi itu),” kata Denny.

Diskusi JLC memang sempat vakum lama, terlebih setelah Karni tak lagi menjadi Direktur SCTV. Setelah Karni pindah ke ANteve, diskusi itu hanya sesekali disiarkan, itupun jika menurut pihak televisi materi dan calon narasumbernya cukup menarik. Kini, siapa sangka setelah ditayangkan rutin di TVone, diskusi itu justru selalu digemari masyarakat.
Tags:

Berita Terkait