Standardisasi Tarif Jasa Advokat, Mungkinkah?
Utama

Standardisasi Tarif Jasa Advokat, Mungkinkah?

Serahkan ke pasar atau diatur oleh organisasi.

Oleh:
TRI YUANITA INDRIANI
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi Tea Talk With Lawyers yang diselenggarakan oleh HKHPM bekerja sama dengan www.hukumonline.com, 14 Agustus 2015 lalu.
Acara diskusi Tea Talk With Lawyers yang diselenggarakan oleh HKHPM bekerja sama dengan www.hukumonline.com, 14 Agustus 2015 lalu.
Persaingan di dunia bisnis jasa konsultasi hukum semakin tinggi. Semakin banyak kantor konsultan hukum (law firm) berarti semakin banyak pula opsi yang dimiliki oleh para pengguna jasa konsultan hukum. Ketika memilih law firm mana yang mereka akan gunakan, pengguna jasa akan mempertimbangkan sejumlah faktor, termasuk tarif.

Partner pada Karimsyah Law Firm, Firmansyah melihat ada kecenderungan dimana law firm-law firm baru rela ‘membanting’ tarif jasa mereka demi mendapatkan klien. Firmansyah berpendapat standardisasi tarif perlu dilakukan karena jumlah law firm semakin banyak, sedangkan pasarnya terbatas.

“Maksud saya begini, kalau kita kasih ke free market, kan begini jadinya. Tapi dengan cerita tadi, bisnis ini dengan jumlah kantor hukum pasar modal yang sangat banyak sementara pasarnya itu-itu saja, kalau kita nggak membuat limit harga yang reasonable, ya rusak dong,” tuturnya dalam acara diskusi Tea Talk With Lawyers yang diselenggarakan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) bekerja sama dengan www.hukumonline.com, 14 Agustus 2015 lalu.  

“Maksud gue kalau nggak diintervensi organisasi, ya ribut saja sesama kita. Dan kita sendiri menertawakan diri sendiri, masa’ dibayar segitu?” ujar Firmansyah.

Untuk diketahui, sejauh ini tidak atau belum ada aturan standardisasi tarif jasa konsultan hukum. Kode Etik Advokat Indonesia, misalnya, hanya mengatur umum bahwa, "Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien" (Pasal 4 huruf D).

Dalam acara yang sama, Ketua Umum HKHPM Indra Safitri mengatakan stardardisasi tarif jasa advokat tidak perlu dilakukan. Menurut dia, setiap law firm bisa saja menetapkan tarif yang lebih murah karena ada biaya-biaya yang bisa dikurangi.

“Yang penting bagaimana standardisasi kualitasnya, kemudian biar market yang mendorong,” tutur Indra.

Otoritas Jasa Keuangan, sebut Indra, juga sudah melakukan pemetaan (mapping) untuk melihat sejauh mana kualitas Legal Due Dilligence (LDD) yang dilakukan suatu law firm dan Legal Opinion (LO) yang dihasilkan. Dari mapping OJK tersebut akan dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP) Standar Mutu Lawyer.

“Yang bisa dilakukan HKHPM makin meningkatkan pemerataan kesempatan dan standar. Jadi mau orang milih HHP (Hadinoto Hadiputranto and Partners, red), atau orang ke SIAR (Siahaan Irdamis Andarumi dan Rekan, red), mestinya standarnya sama,” ungkap Indra.

Ia melanjutkan, “kalau fee kan mungkin ada yang bisa dikurangi dari cost, tapi standar tidak boleh berubah. Nah di capital market ke depannya harus seperti itu.”

Senada dengan Indra, partner pada Warens & Partners Fachri Asa’ari memilih bersikap membiarkan saja penetapan tarif rendah yang dilakukan law firm-law firm kecil atau pendatang baru. “Saya bilang biarin aja. Itu haknya dia untuk berkompetisi, karena masing-masing punya layer (lahan, red) usahanya,” ucapnya.

Pria yang mengaku sudah 30 tahun berpraktik sebagai advokat pasar modal ini mengatakan kepuasan klien itu bukan tergantung pada tarif rendah atau tinggi. Kepuasan klien, kata Fachri, muncul karena pelayanan yang membuat dia nyaman, bagaimana advokat itu melayani dan mendekati klien.

Kemudian, ucap Fachri, yang kedua di kehidupan sosialnya mereka itu ada yang namanya pride, kebanggaan. “Itu yang saya pelajari,” ungkap Fachri. “Jadi kalau gue sudah sanggup bayar yang namanya HHP, orang juga tahu perusahaan gue kelasnya di mana. Gitu aja.As simple as that,” lanjutnya.

David Siahaan dari Siahaan Indarmis Andarumi dan Rekan, mengatakan ada kalanya tarif rendah juga ditawarkan oleh law firm-law firm yang sudah lama eksis. Mereka bisa melakukan itu karena memiliki sumber daya yang besar sehingga biaya-biaya lain bisa mereka atasi tanpa perlu menaikkan tarif. Soal standardisasi, David mengambil posisi seperti Indra Safitri yakni, “serahkan saja ke pasar”.

Yang perlu diatur, menurut David, adalah batasan-batasan sejauh mana konsultan hukum pasar modal memberikan jasanya. David melihat terkadang ada law firm yang memberikan jasa lebih dari seharusnya. Misal, ada law firm pasar modal yang memberikan opini tentang pajak.

“Cuma problemnya kadang-kadang lawyer untuk meng-entertain klien, they doing beyond their capacity. For example, mereka diminta opini tentang pajak. Itu sudah pasti kita nggak bisa,” papar David.
Tags:

Berita Terkait