Peluang Nilai-Nilai Small Claim Court di PHI
Berita

Peluang Nilai-Nilai Small Claim Court di PHI

Batas waktu yang sudah ditentukan Undang-Undang acapkali tak dipatuhi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
PHI Jakarta. Foto : SGP
PHI Jakarta. Foto : SGP
Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan (Perma) No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Nilai gugatan materiil maksimal 200 juta. Dari sisi nilai ini, perkara perburuhan terutama PHK bisa diselesaikan melalui mekanisme yang diatur Perma. Tapi dari sisi lain, perkara yang penyelesaiannya dilakukan pengadilan khusus dikecualikan. Mungkinkah menggunakan mekanisme small claim court (SCC) melalui Pengadilan Hubungan Industrial?

Jika seorang pekerja ingin memperjuangkan haknya senilai 75 juta akibat PHK, idealnya gugatan itu diselesaikan dengan cepat. Forumnya adalah Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Menurut UU No. 2 Tahun 2004 (UU PPHI), peradilan ini diselenggarakan secara cepat, tepat, adil, dan murah.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, Timboel Siregar, melihat asas peradilan cepat dan murah itu tak berjalan sebagaimana mestinya. Para pihak harus menunggu waktu lama sampai putusan berkekuatan hukum tetap.

Mengacu pasal 103 UU PPHI, penyelesaian perkara di PHI paling lambat 50 hari kerja terhitung sejak sidang pertama. Namun, berdasarkan catatan Timboel  selama berperkara di PHI rata-rata kasus yang diproses di PHI selesai dalam waktu tiga sampai empat bulan. Jika salah satu pihak mengajukan upaya hukum (kasasi) ke MA maka butuh waktu sekitar 1 tahun sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap. “Selama ini proses peradilan yang cepat, tepat, adil dan murah tidak berjalan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial,” katanya di gedung PHI Jakarta, Kamis (03/9).

Opsi menggunakan gugatan sederhana di PHI mendapat dukungan dari sejumlah pihak. Peluangnya ada jika revisi UU PPHI segera dilakukan. Revisi ini menjadi salah satu Program Legislasi Nasional 2015-2019. Menurut Timboel, yang perlu dibenahi adalah mekanisme hukum acaranya. Untuk perkara-perkara yang nilainya kecil cukup diterapkan mekanisme sederhana.

Ketua Advokasi Kebijakan Publik DPN Apindo, Anthony Hilman, sependapat bahwa proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial bisa menggunakan mekanisme sederhana dan cepat. Cuma, selama ini ada kendala yang berkaitan dengan jumlah hakim PHI. Kalau mau diterapkan, sebaiknya jumlah hakim ditambah.

Tantangannya, kata Anthony, adalah keberanian Pemerintah merevisi UU PPHI. Kalau pemerintah berani melakukan perombakan total, maka model penyelesaian P4P/P4D bisa dijadikan contoh. Asalkan, hak veto menteri ditiadakan.

Hakim ad hoc PHI Jakarta, Juanda Pangaribuan, berpendapat dalam revisi UU PPHI harus dijelaskan adanya hukum acara khusus yang digunakan di PHI. Itu dibutuhkan untuk mengakomodir  pemangku kepentingan yang ingin proses persidangan di PHI dapat dilaksanakan secara sederhana dan cepat. Jika menggunakan Perma No. 2 Tahun 2015 tidak dimungkinkan karena regulasi itu tidak berlaku untuk pengadilan khusus seperti PHI.

Juanda mengingatkan, cepat atau lambatnya proses persidangan di PHI dipengaruhi juga oleh kerumitan perkara. Misalnya, para pihak menghadirkan bukti dan saksi dalam jumlahnya sangat banyak. “Setiap perkara yang ditangani majelis itu bebannya tidak sama. Ada perkara yang penyelesaiannya dapat dilakukan dalam waktu singkat, ada juga perkara yang memerlukan waktu yang relatif lebih lama,” pungkasnya.

Sementara itu, Timboel Siregar menggambarkan proses persidangan yang sederhana seperti yang berlaku dimasa Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P4P) sebelum diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN --terakhir diubah dengan UU No. 49 Tahun 2009. Ketika P4D/P4P masih berlaku, proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan. Namun, setelah UU No. 5 Tahun 1986 berlaku proses penyelesaian hubungan industrial semakin panjang karena membuka ruang bagi para pihak untuk melakukan upaya hukum ke PTTUN bahkan sampai PK ke MA.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan mekanisme sederhana dan cepat menurut Timboel bisa dilakukan dengan membuat hukum acara khusus, tidak menggunakan hukum acara perdata sebagaimana praktik yang digunakan PHI saat ini. Proses persidangan bisa disingkat dengan memangkas replik, duplik dan kesimpulan. Menurutnya, yang diperlukan hanya gugatan, jawaban, bukti dan saksi lalu putusan.

Untuk upaya hukum, dikatakan Timboel, bisa digunakan beberapa cara untuk membuat agar prosesnya sederhana dan cepat. Pertama, upaya hukum hanya dilakukan di tingkat pengadilan tinggi (PT), tidak perlu sampai ke tingkat MA. Kedua, upaya hukum dilakukan di lingkungan PHI namun dengan majelis hakim yang berbeda (hakim senior), bukan majelis yang memutus pada putusan pertama. “Bisa saja di PHI nanti ada hakim pemula (muda) yang memutus di tingkat pertama. Kemudian jika salah satu pihak mengajukan upaya hukum, maka yang memeriksa hakim senior,” usulnya.

Selain itu, Timboel menilai keaktifan hakim juga menentukan cepat atau tidaknya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dimasa P4D/P4P, anggota panitia bisa aktif menyambangi perusahaan yang berselisih. Sehingga, pekerja yang berselisih tidak perlu khawatir jika tidak punya bukti yang cukup. Tapi di masa PHI, hakim bersifat pasif karena asas yang digunakan perdata yaitu siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan.
Tags:

Berita Terkait