Pembahasan Hukuman Mati dalam RKUHP Belum Temui Titik Terang
Berita

Pembahasan Hukuman Mati dalam RKUHP Belum Temui Titik Terang

Adanya perbedaan ideologi dalam perspektf penerapan hukuman mati.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Harapan sebagian kalangan agar menghilangkan penerapan hukuman mati dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) belum menemui titik terang. Seperti pada era sebelumnya, hukuman mati kerap menjadi perdebatan pro dan kontra antara pegiat hak asasi manusia dengan mereka yang mengamini penerapan hukuman mati di Indonesia.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Wahyudi Djafar, berpandangan penerapan hukum mati mesti diberlakukan secara selektif dan ditinjau ulang oleh Kementerian Hukum dan HAM setelah sepuluh tahun sebagaimana tertuang dalam RKUHP. Ancaman hukuman tersebut tetap terbilang serius, apalagi di berbagai negara sudah tidak menerapkan hukuman mati lantaran tidak mengurangi efek jera terhadap kejahatan luar biasa seperti narkotika.

Dalam RKUHP, setidaknya masih terdapat 15 Pasal hukuman mati. Padahal dengan menghapus penerapan hukuman mati dalam sistem hukum positif, setidaknya mengarahkan peradaban Indonesia menjadi lebih baik. Dikatakan Wahyudi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) masih menyatakan hukuman mati konstitusional. Namun berbagai instrumen internasional terkait hak asasi manusia yang telah diratifikasi, penerapan hukuman mati sudah tidak relevan.

Divisi Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan ELSAM itu berpandangan, berdasarkan kajian benar tidaknya hukuman mati menimbulkan efek jera terhadap kejahatan narkotika. Menurutnya, efek jera hukuman mati tidak jauh berbeda dengan hukuman seumur hidup. Amerika, negara demokrasi pun masih menerapkan hukuman mati meski pun selektif.

“Ketika hukuman mati diterapkan, kejahatan narkoba malah naik. Apakah masih relevan hukuman mati memberikan efek jera. Itu terlepas dari ideologi dan agama.Maka pemidanaannya harus lain,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III terkait dengan pembahasan RKUHP di Gedung DPR, Selasa (8/9)

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, berpandangan hukuman mati tetap masih diperlukan. Ia menghormati adanya perbedaan terkait dengan pandangan penerapan hukuman mati di Indonesia. Perbedaan itu lebih pada ideologi. Arsul berpandangan dari sekitar 52 negara, setidaknya 36 negara masih menerapkan hukuman mati.

“Walau kita berbeda pendapat, tapi masukannya akan menjadi pertimbangan,” kata politisi PPP itu.

Anggota Komisi III lainnya Taufiqulhadi menambahkan, hukuman mati di Indonesia masih relevan penerapannya terhadap kejahatan luar biasa. Narkotika merupakan bagian kejahatan luar biasa dampaknya terhadap generasi muda. Begitu pula tindak pidana terorisme.

“Kalau di pasar banyak orang mati karena terorisme, maka harus dihukum mati,” kata politisi Nasdem itu.

Anggota Komisi III Dwi Ria Latifa mengatakan, saat bertandang ke Inggris, ia bersama sejumlah anggota Panja RKUHP menemui Amnesty Internasional. Dalam pertemuan tersebut, Amnesty menanyakan masih digunakannya hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia. “Amnesty tidak setuju dengan hukuman mati,” katanya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, dirinya sempat menlontarkan pertanyaan seputar kejahatan luar biasa yang berdampak luas terhadap perkembangan generasi muda. Misalnya, kejahatan narkotika. Hukuman mati pun diterapkan akibat dampak luas yang ditimbulkan dari kejahatan luar biasa.

“Tapi mereka tidak bisa menjawabnya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait