Perlunya Koneksitas Peradilan Adat dengan Peradilan Negara
Berita

Perlunya Koneksitas Peradilan Adat dengan Peradilan Negara

Adanya hukum adat dalam RKUHP berpotensi double hukuman. Boleh jadi bakal dicabut karena sulit penerapannya lantaran banyak adat yang tersebar di Indonesia.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Buku KUHP. Foto: SGP
Buku KUHP. Foto: SGP
Masuknya hukum adat dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi kekhawatiran bagi sebagian kalangan. Tak saja bakal terkena hukuman adat, bagi orang yang melanggar juga akan dipidana atas hukum negara.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Wahyudi Djafar, berpandangan Komisi III DPR  dalam melakukan pembahasan terhadap RKUHP mesti mengedepankan kehati-hatian. Pasalnya, sejumlah perbuatan di luar KUHP kini masuk dalam RKUHP. Setidaknya, RKUHP dinilai over kriminalisasi terhadap masyarakat sipil.

Hukum adat yang memiliki otoritas dan terpisah dari hukum positif menjadi ancaman bagi mereka pelanggarnya. Pelanggar tak saja dikenakan hukum negara, tetapi juga hukum adat. Hal itu berdampak pada kriminalisasi masyarakat sipil. Pria yang juga menjabat Program Officer Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan Advokasi ELSAM itu berpandangan, perlu jalan tengah agar tidak terjadi double hukuman. Setidaknya, ketika pengadilan negara telah menjatuhkan hukuman, tidak kemudian pengadilan adat pun memberikan hukuman adat. 

“Jadi jangan sampai double hukuman,” ujarnya di Gedung DPR beberapa hari lalu saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III.

Anggota Aliansi, Anggara Suwahju, berpandangan perlu jalan tengah agar tidak terjadi double hukuman bagi pelanggar. Apalagi, penerapan hukum adat tak dapat dihilangkan di semua daerah. Sumatera Utara dan Papua misalnya, hukum adat sedemikian kental dijaga penerapannya. Bahkan sudah mengurat akar sekalipun adanya KUHP.

Dalam rangka mencari jalan tengah itulah, Anggara mengusulkan agar ada koneksitas antara peradilan adat dengan peradilan negara. Anggara berpandangan, dengan terhubungnya antara peradilan adat dengan peradilan negara, setidaknya dapat saling mengontrol.

Misalnya, kata Anggara, ketika peradilan adat menjatuhkan hukuman terhadap seseorang untuk membayar 10 babi, maka dibutuhkan pengawas. Pengawas tersebut adalah peradilan negara yang tugasnya memastikan pihak terhukum membayar 10 babi.

“Pengadilan adat bisa mengkoneksitaskan dengan peradilan negara. Kalau pidana adat diharuskan membayar 10 babi, tapi butuh peradilan negara untuk memastikan dia membayar sanksi tersebut,” ujar Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu.

Sebagaimana diketahui, dalam Bab XXXVII Pasal 774 mengatur tentang tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal 774 Ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang diancam dengan pidana”.

Kemudian, ayat (2) menyebutkan, “Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf e jo Pasal 101”. Sedangkan  Pasal 68 ayat (1) menyebutkan, “Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Anggota Komisi III Wenny Warouw mengatakan,masuknya hukum adat ke dalam RKUHP masih wacana. Kendati pun telah dituangkan dalam draf RKUHP Pasal 774, perlu dipertimbangkan tepat tidaknya penerapan hukum adat di nusantara. “Tapi kalau tidak pas, kita jangan memaksakan untuk masuk dalam RKUHP,” ujarnya.

Anggota Panja RKUHP itu lebih lanjut berpandangan, Indonesia merupakan negara kepulauan. Tak sedikit suku adat yang bercokol di masing-masing pulau. Nah, setiap adat memiliki aturan yang berbeda-beda. Misalnya, Papua terdiri dari  banyak adat. Begitu pula misalnya,  dengan Dayak, Minahasa dan Mentawai.

Politisi Partai Gerindra itu khawatir RKUHP tak mampu mencover sedemikian banyak hukum adat. Makanya dalam pembahasan RKUHP  ia menengarai bakal  terjadi banyak perdebatan terkait dengan pembahasan khusus  living law. Wenny pun menilai bukan tidak mungkin pasal yang mengatur hukum adat bakal dicabut dari RKUHP.

“Ingat, Indonesia begitu banyak adat, apa bisa mencover itu semua. Jadi agak susah. Bisa-bisa di out itu dicabut dari RKUHP,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait