Delik Korupsi Masuk RUU KUHP, NasDem Jamin KPK Tetap Eksis
Berita

Delik Korupsi Masuk RUU KUHP, NasDem Jamin KPK Tetap Eksis

Aliansi menengarai argumentasi hanya sebatas politis untuk mengkudeta upaya pemberantasan korupsi.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
KUHP dan KUHAP. Foto: RES
KUHP dan KUHAP. Foto: RES
Masuknya delik korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi kekhawatiran bagi sebagian kalangan. Namun bagi Fraksi Nasional Demokrat, Komisi Pemberantasan Korupsi dijamin bakal tetap eksis di kancah pemberantasan tindak pidana korupsi.

Anggota Komisi III DPR Taufikulhadi berpandangan, publik tak perlu khawatir terhadap masuknya delik korupsi dalam draf RUU KUHP. Sebab tak ada yang berubah lantaran eksistensi KPK dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tetap menganut lex spesialis seperti halnya yang digunakan saat ini.

Dalam rangka memastikan itulah, kata Taufikulhadi, bakal ada penambahan pasal-pasal pendukung. Tujuannya, sebagai bagian kanalisasi dari KUHP terhadap pasal yang berada di luar KUHP.

“Nanti akan dikanalisasi ke dalam UU Tipikor delik pidana korupsi seperti yang sekarang ini, karena itu masyarakat tidak perlu khawatir. Tidak tumpang tindih karena KUHP, KPK dan Tiipikor itu adalah pidana khusus. Nanti lex spesialis korupsi di UU khusus atau undang-undang mandiri, akan tetapi ada cantolannya di UU KUHP,” ujarnya di Gedung DPR, Rabu (30/9).

Politisi Nasdem itu memastikan fraksinya bakal mengawal penuh pembahasan RUU KUHP. Tujuannya, agar kekhawatiran publik terkait masuknya delik korupsi ke dalam RUU KUHP tidak melemahkan KPK.

Dalam konsepsi kodifikasi total yang diusulkan pemerintah, seluruh pasal mengenai tindak pidana korupsi rencananya akan masuk ke dalam buku besar KUHP. Konsepsi inilah yang kemudian dikhawatirkan akan berkontribusi pada tercabutnya fungsi dan kewenangan KPK ke depan.

Menurutnya, RUU KUHP  nantinya akan merangkum seluruh tindak pidana tanpa terkecuali. Taufiq menganggap kegaduhan yang muncul antara pendukung kodifikasi total dan parsial sebenarnya tidak perlu diperluas.  “Kalau mau dikhususkan kembali nanti dibuat UU KPK dan RUU Tipikor. Kan gak ada masalah itu,” ujarnya.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) itu berpandangan  saat ini setidaknya terdapat 15 pasal mengenai korupsi di dalam KUHP. Makanya, delik korupsi ini bukan merupakan hal baru lagi. Ia juga membenarkan bahwa ke depannya akan banyak delik korupsi yang akan masuk dalam kategorisasi korupsi. Dia lebih mengedepankan pentingnya pembahasan yang komprehensif baik secara filosofis maupun praktis dari rencana revisi KUHP.

“Akan banyak pasal-pasal korupsi yang akan masuk dalam RUU KUHP supaya lebih komprehensif. Bicara KUHP itu jangan setengah-setengah karena KUHP harus tetap dipakai seratus bahkan seribu tahun lagi,” imbuhnya.

Terpisah, anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP Erwin Natosmal menilai pandangan delik korupsi sebagai lex spesialis meski masuk dalam RUU KUHP merupakan argumentasi rancu dan contradictio interminis. Menurutnya, adalah hal mustahil delik korupsi tetap menjadi lex spesialis  jika tetap dimasukan dalam RUU KUHP.

“Saya melihat argumen yang contradictio interminis itu lebih sebagai argumen politik dari pada argumen hukum. Menyatakan ingin tetap memperkuat pemberantasan korupsi, namun pada intinya malah melemahkan pemberantasan korupsi. Itu hanya akal-akalan untuk mengkudeta upaya pemberantasan korupsi,” ujar peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) itu.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Easter menilai, jika DPR dan pemerintah tetap membahas RKUHP yang memuat delik korupsi, maka telah melakukan inkonsistensi dalam menjalankan rencananya. Sepatutnya, pembahasan dan perbaikan UU Pemberantasan Tipikor menjadi prioritas, ketimbang memasukan delik korupsi dalam RKUHP.

Ia berpandangan pengaturan delik Tipikor tetap dibuat di luar RUU KUHP. Pasalnya, RUU KUHP hanya mengatur tindak pidana yang bersifat umum. Menurutnya, jika ke depan terdapat perkembangan modus kejahatan korupsi baru, maka proses pembaharuan peraturannya akan sangat menyulitkan ketika delik korupsi masuk dalam KUHP.

Lebih jauh, Lola berpandangan delik korupsi yang masuk dalam RUU KUHP tidak secara otomatis membuat KPK misalnya, tetap berwenang menangani perkara korupsi. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 779 dan 780 RKUHP, sejak diberlakukannya RUU KUHP menjadi KUHP, maka seluruh tindak pidana diatur dalam peraturan di luar RUU KUHP akan menjadi bagian dari RUU KUHP.

“Artinya, setiap undang-undang pidana yang muncul kemudian akan menjadi bagian tidak trerlepas dari RUU KUHP, selama hal tersebut tidak diatur dalam RKUHP. Jika sudah ada pengaturannya dalam RUU KUHP, maka pasal pidana dalam RUU KUHP lah yang akan digunakan sebagai dasar,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait