Kebakaran Hutan ‘Sampai’ ke Ruang Pengadilan
Berita

Kebakaran Hutan ‘Sampai’ ke Ruang Pengadilan

Kebakaran hutan menimbulkan kerugian ekologis dan ekonomis.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: www.dephut.go.id
Foto: www.dephut.go.id
Kasus kebakaran hutan yang terjadi di kawasan Sumatera dan Kalimantan memberi dampak negatif kepada masyarakat sekitar. Bukan hanya merusak lingkungan, kebakaran hutan baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak, bisa merusak kesehatan. Ironisnya, peristiwa semacam ini kerap terjadi setiap tahun. Bahkan, beberapa peristiwa kebakaran hutan kerap ‘masuk’ ke ruang persidangan.

Dari sejumlah kasus tersebut, berikut beberapa putusan pengadilan yang berhasil dirangkum hukumonline:

1.    Putusan PT Pekan Baru, 2013
Perkara pidana pembakaran hutan di Desa Pangkalan Panduk, Riau ini menyeret Suheri Terta serta Fachruddin Lubis, masing-masing Direktur Utama dan Kepala Proyek perusahaan kelapa sawit PT Mekarsari Alam Lestari (PT MAL). Keduanya didakwa sejak tahun 2008 telah membakar hutan dalam rangka membuka dan menyiapkan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Pembakaran itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kadar keasaman tanah agar cocok ditanami kelapa sawit. Mereka disinyalir sengaja melakukan pembakaran itu dengan cara membuat kanal-kanal yang berfungsi sebagai pembatas petak lahan perkebunan sekaligus untuk melokalisir kebakaran agar api tetap berada di jalur penanaman yang telah direncanakan. Kerugian ekologis dan ekonomis yang terjadi akibat peristiwa itu ditaksir lebih dari Rp87 miliar.

Selain itu, ternyata perusahaan tersebut diketahui tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), Ijin Usaha Perkebunan (IUP), sarana dan prasarana serta sumber daya manusia maupun prosedur dalam penanggulangan kebakaran hutan. Padahal, di tahun 2007 PT MAL telah mendapat teguran mengenai hal itu dari Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Riau setelah terjadi kebakaran di lahan perkebunan mereka.

Suheri dan Fachrudin pun dituntut hukuman satu tahun penjara dan denda RP100 juta. Pada tanggal 11 September 2012, Pengadilan Negeri Pelalawan melalui putusan nomor: 08/PID.B/2012/PN.PLW, menyatakan keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana ”Karena Lalainya Melakukan Perbuatan yang Mengakibatkan Kerusakan Lingkungan Hidup”.

Keduanya pun dihukum membayar denda masing-masing Rp133 juta. Atas putusan tersebut, tiga hari kemudian Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Kemudian pada 31 Januari 2013, PT Pekanbaru menghukum keda terdakwa penjara enam bulan dengan masa percobaan satu tahun dan denda masing-masing Rp100 juta.

2.    Putusan PN Meulaboh, 2014
Pada 8 November 2012, Menteri Lingkungan Hidup menggugat PT Kallista Alam, yang salah satu kuasa hukumnya adalah Luhut MP Pangaribuan, karena lahan perkebunannya berada di kawasan konservasi Leuser. Selain itu, selama Januari-November 2011 juga ada indikasi kebakaran di lahan perusahaan tersebut. Pihak perusahaan pun mengakui telah terjadi kebakaran lahan, namun hanya berlangsung selama tiga hari di pertengahan bulan Maret. Pihak Menteri Lingkungan Hidup juga mensinyalir pembukaan lahan dengan membakar hutan dari laporan keuangan perusahaan.

Menurut Menteri, untuk membuka satu hektar lahan secara normal dibutuhkan sekitar Rp40 juta,namun perusahaan melaporkan biaya pembukaan seratus hektar lahan hanya sekitar Rp8 juta. Akibat perbuatannya, perusahaan dinilai telah menurunkan kualitas lingkungan hidup dengan menghilangkan fungsi tanah gambut dan merusak keanekaragaman hayati.

Perusahaan pun digugat untuk tidak menanami kelapa sawit di atas lahan seluas seribu hektar yang telah terbakar. Sebaliknya, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan itu sekitar Rp250 miliar. Selain itu, perusahaan diminta membayar ganti rugi sebesar lebih dari Rp114 miliar.

Pada tanggal 8 Januari 2014, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh yang terdiri dari Rahmawati, Rahma Novatiana, dan Juanda Wiajaya mengabulkan sebagian gugatan Menteri Lingkungan Hidup. Perusahaan dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus membayar ganti rugi materiil secara tunai melalui rekening kas negara sekitar Rp114 juta. Perusahaan juga tidak boleh menanami lahan gambut seluas seribu hektar yang izinnya telah dimiliki itu. Ditambah pula, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan sesuai permintaan penggugat. Jika perusahaan terlambat melaksanakan putusan nomor: 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO tersebut, dikenakan uang paksa Rp5 juta per hari.

3.    Putsan PN Jakarta Pusat, 2014
LSMWahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang diwakili Ketua, Sekretaris, dan Bendaharanya mengajukan gugatan kepada Negara Republik Indonesia pada bulan Oktober 2013. Ada Sembilan belas instansi kementerian maupun pemerintah daerah yang menjadi tergugat. Di antaranya, Presiden, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kapolri, Gubernur Riau, Gubernur Jambi, dan Bupai/Walikota di kedua provinsi itu.

Walhi menggugat pemerintah atas maraknya kebakaran hutan yang besar dan terus menerus sejak tahun 1980-an di Indonesia. Pemerintah dinilai tidak mampu dan tidak berhasil mengatasi, menegakkan hukum dan melakukan penanggulangan dini peristiwa itu. Dengan demikian, pemerintah dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil.

WALHI pun mengajukan beberapa tuntutan, antara lain membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional. Kedua, mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan. Ketiga, menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Keempat, menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan. Kelima, membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran.

Keenam, menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran. Pemerintah juga dituntut melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Khusus untuk Kementerian Lingkungan Hidup, dituntut melakukan audit lingkungan terhadap semua izin Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri di Propinsi Riau dan Propinsi Jambi. Selain itu, semua tergugat diminta menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada seluruh rakyat Indonesia melalui media masa.

Namun, pada 25 November 2014 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan gugatan WALHI tidak dapat diterima. Majelis hakim yang diketuai Nani Indrawati menerima eksepsi para tergugat. Dengan demikian, menurut majelis hakim, gugatan yang diajukan oleh WALHI kurang subjek dan kabur (obscuur). Akibatnya, pokok perkara gugatan tidak perlu dipertimbangkan dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Tags:

Berita Terkait