Lagi, Aturan Daluwarsa PHK Minta Dibatalkan
Berita

Lagi, Aturan Daluwarsa PHK Minta Dibatalkan

Pemohon diminta memperbaiki uraian kerugian konstitusional dan alasan-alasan permohonan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Lagi, Aturan Daluwarsa PHK Minta Dibatalkan
Hukumonline
Aturan daluwarsa (lewat waktu) pengajuan penetapan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, Edwin Hartana Hutabarat, seorang penyandang disabilitas (difabel). Erwin mengajukan uji materi Pasal 82 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Edwin yang menderita tuna rungu dan tuna wicara ini merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 82 UU PPHI. Sebab, dia terancam kehilangan hak pesangon dan hak-hak lain lantaran proses PHK yang dialaminya di perusahaan percetakan Abidin sejak 12 September 2014 tidak bisa digugat ke Pengadilan Hubungan Indutrial (PHI) karena melewati waktu setahun.

“Sisa waktu proses PHK yang ada saat ini, pemohon kehilangan hak karena tidak memungkinkan menuntut permasalahan ini ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial,” ungkap Pendamping Edwin, Barita Lumban Batu dalam sidang pemeriksaan pendahuluan lewat video conference dari Universitas Sumatera Utara Medan, Selasa (06/10).

Pasal 82 UU PPHI menyebutkan gugatan oleh pekerja/buruh atas PHK seperti dimaksud Pasal 159 dan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 tahun sejak diterima atau diberitahukannya keputusan (PHK) dari pihak pengusaha.

Seperti dituturkan Barita, Edwin mengaku kecewa dengan besaran uang pesangon dan penghargaan yang ditawarkan perusahaan sejak di-PHK September tahun lalu. Tak terima, ia mengajukan surat kepada Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Pemkot Medan pada 6 Oktober 2014.

Kedua pihak sempat berunding difasilitasi mediator. Hasilnya, berbentuk surat anjuran Dinsosnaker, dinilai Edwin sangat merugikan dirinya. “Mediator Dinsosnaker tidak netral karena mereka tidak bisa memperjuangkan hak-hak pemohon sebagaimana mestinya,” tutur Barita.

Lalu pada Desember 2014, pemohon kembali mengadukan nasibnya ke Kepala Disosnaker Kota Medan mengenai permohonan bantuan tanggung jawab, sanksi dan keadilan. Namun, surat keberatan tidak ditanggapi. Lalu, pemohon melayangkan surat yang sama kepada Walikota Medan terkait tanggung jawab dan sikap tidak netral  Kepala Dinsosnaker Pemkot Medan.

“Dinsosnaker berpihak kepada perusahaan percetakan Abidin dan mengabaikan hak-haknya. Hingga kini, surat yang dikirim ke Walikota Medan belum mendapatkan tanggapan,” lanjutnya pendamping lainnya, Septya Maulid Siregar, pendamping lainnya.

Menurutnya, pemohon sebagai difabel merasa mendapatkan perlakuan secara diskriminatif yang dijamin Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.  Menurutnya, Pasal 82 UU PPHI sangat menguntungkan pimpinan perusahaan untuk lepas dari kewajibannya kepada pemohon terkait uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak, kekurangan upah, THR, dan ganti rugi lainnya sejak 2006-2012.

“Saya berharap pasal itu dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2), Pasal 28G, Pasal 28H ayat (2), (4), dan Pasal 28I (2), (4), (5) UUD 1945,” pintanya.

Fokus alasan permohonan
Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Maria Farida Indrati menilaisistematika permohonan sudah benar. Sebab, permohonan sudah mencantumkan identitas pemohon, kedudukan hukum pemohon, kewenangan MK, uraian alasan permohonan, dan petitum permohonan. Namun, dalam uraian permohonan lebih banyak menguraikan kasus konkrit yang dialami pemohon sebagai korban PHK.

“Ini kasus kongkrit karena ada surat-surat permohonan dan pengaduan ke Walikota dan proses mediasi di Dinsosnaker Pemkot Medan yang merugikan pemohon. Uraian permohonan juga terlalu panjang seperti termuat dalam bagian legal standing. Ini harus diperpendek lagi,” saran Maria.

Maria juga menyarankan agar pemohon fokus pada alasan-alasan permohonan mengapa Pasal 82 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945. “Ini yang seharusnya dijelaskan dalam uraian permohonan,” pintanya.

Hal senada disampaikan anggota Panel, Aswanto, yang menilai uraian permohonan terlalu panjang dan lebih banyak menguraikan kasus konkrit. Hakim konstitusi ini meminta pemohon fokus pada uraian ringkas potensi atau kerugian konstitusional atas berlakunya Pasal 82 PPHI.

“Jangan terlalu uraian kasus, seperti uraian kerugian materil. Ini tidak terlalu penting diurai panjang lebar. Tetapi, fokuskan pada apakah ada pertentangan normanya dengan pasal-pasal UUD 1945. Ini yang penting untuk diperbaiki, sehingga permohonan lebih ringkas dan jelas kerugian konstitusionalnya”.

Sebelumnya, sekitar sepuluh buruh juga mempersoalkan aturan daluwarsa pengajuan PHK ini. Sepuluh buruh yang berasal dari Jabotabek yakni Muhammad Hafidz, Wahidin, Chairul Eillen Kurniawan, Solihin, Labahari, Afrizal, Deda Priyatna, Muhammad Arifin, Abdul Ghofar, dan Surahman. Hanya saja, mereka memohon pengujian Pasal 171 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU PPHI.

Mereka beralasan, ketentuan itu dinilai merugikan hak buruh, seperti kehilangan hak pesangon dan hak-hak lainnya. Sebab, praktiknya aturan daluwarsa ini ditafsirkan keliru oleh hakim agung dengan cara menolak dan memukul rata semua jenis PHK dengan alasan gugatan daluwarsa. Menurut pemohon, aturan daluwarsa PHK hanya terbatas pada tiga hal.

Pertama, pelanggaran berat (pidana) dalam Pasal 158 ayat (1) yang telah dibatalkan MK. Kedua, PHK setelah 6 bulan sejak pekerja ditahan oleh polisi yang diatur Pasal 160 ayat (3). Ketiga, PHK karena mengundurkan diri seperti diatur Pasal 162 UU Ketenagakerjaan. Hanya dengan tiga kondisi ini setelah satu tahun, pengajuan PHK bisa daluwarsa. Di luar itu, tidak dianggap daluwarsa.

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU PPHI karena bertentangan dengan UUD 1945. Dengan begitu, para pemohon berharap PHK dengan alasan apapun tidak ada daluwarsa untuk mengajukan gugatan ke PHI.
Tags:

Berita Terkait