Analisis Persoalan Seleksi Hakim dalam Putusan MK: Distribusi atau Sentralisasi?
Kolom

Analisis Persoalan Seleksi Hakim dalam Putusan MK: Distribusi atau Sentralisasi?

Pasca putusan MK, amanat paket UU Peradilan yang meminta agar pengangkatan hakim tingkat pertama harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif, akan menjadi tantangan yang besar.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Lima tahun sudah seleksi hakim terbengkalai akibat tidak adanya kata sepakat antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Hingga kemudian di bulan Mei 2015 perwakilan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) menggugat keterlibatan KY dalam seleksi hakim melalui permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang dipermasalahkan oleh IKAHI adalah Pasal 14A UU No. 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan rumusan serupa dalam UU No. 50 Tahun 2009 (Perubahan UU Peradilan Agama) dan UU No. 51 Tahun 2009 (Perubahan UU Peradilan Tata Usaha Negara). IKAHI mendalilkan bahwa proses seleksi hakim yang dimandatkan UU, agar dilakukan oleh MA bersama KY, merupakan intervensi pada independensi peradilan dan menyebabkan MA bergantung pada KY untuk melaksanakan seleksi hakim.

Pada awalnya saya melihat permohonan uji materiil tersebut, terlepas dari argumentasi hukum yang diajukan IKAHI, merupakan peluang untuk menyelesaikan problem ketidakpastian hukum akibat ketidakjelasan pembagian kewenangan dalam seleksi hakim. Namun nyatanya putusan MK, yang diketok Rabu lalu (7/10), justru gagal melihat akar permasalahan. MK alih-alih melihat ini adalah persoalan independensi peradilan yang diselesaikan dengan cara membatalkan kewenangan KY dalam seleksi hakim.

Sebelum kita mengkritisi lebih jauh putusan MK tersebut, mari kita coba melihat permasalahan seleksi hakim ini secara lebih jernih. Perubahan atas paket UU Peradilan Umum, Agama dan TUN di tahun 2009 mengamanatkan agar proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertamadilakukan secara “bersama” oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Tetapi UU tidak mengatur dan menjelaskan bagaimana kata “bersama” tersebut diejawantahkan di tataran praktis. Setidaknya ada dua persoalan yang muncul akibat ketidakjelasan ketentuan tersebut: Pertama, bagaimana pembagian kewenangan tersebut dilaksanakan di tataran praktis?; Kedua, bagaimana cara menyelesaikan jika ada perbedaan pendapat dan penafsiran yang berdampak pada tidak dapat disahkannya peraturan bersama yang dikehendaki UU tersebut?

Dampak ketidakjelasan pembagian kewenangan tersebut seketika muncul dalam pelaksanaan seleksi hakim di tahun 2010. MA menyatakan telah mencoba melibatkan KY dalam proses seleksi tersebut namun tidak mendapatkan respon yang patut dari KY; dan belakangan KY menyatakan bahwa hasil seleksi tahun 2010 tersebut inkonstitutional karena tidak melibatkan KY. Rentetan peristiwa ini dijelaskan secara gamblang dalam Putusan MK utamanya dalam keterangan pemohon dan KY. Selanjutnya pasca gesekan tersebut dan sebagai amanat dari UU yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut proses seleksi diatur bersama oleh MA dan KY, maka disusunlah Peraturan Bersama (PERBA) MA dan KY Nomor 1 Tahun 2012.

Namun ternyata proses menyusun kesepakatan bersama tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penyusunan PERBA tidak menyelesaikan perbedaan pendapat antara KY dan MA tentang ‘siapa melakukan apa’. Kedudukan dua lembaga dimana salah satu tidak dapat dikatakan lebih tinggi dari yang lain menyebabkan sulitnya pemecahan masalah apabila terjadi deadlock. Kebuntuan ini berdampak dari belum pernah diimplementasikannya PERBA tahun 2012 tersebut hingga kini.  Meskipun telah ada kesepakatan melalui PERBA namun pola relasi yang buruk antara dua lembaga menyebabkan kesepakatan yang telah diambil pun dapat dimentahkan kembali jika tiba-tiba hubungan dua lembaga memburuk. Dan tibalah kita pada persoalan kedua: apabila tidak ada kata sepakat antara MA dan KY bagaimana menyelesaikan perbedaan tersebut? UU sendiri tidak memberikan jawaban dan menyatakan ‘sudah jelas’. Problematika ini menyebabkan tertundanya proses seleksi hakim sejak 2010. Penundaan ini jika terus dibiarkan dapat berdampak pada kesulitan proses regenerasi dan pembinaan karir hakim karena kesenjangan antar generasi hakim.

Ini bukan kali pertama DPR menyusun ketentuan yang mendorong terjadinya ketidakpastian dan bahkan konflik antara MA dan KY. Permasalahan yang sama terjadi dalam ketentuan mengenai kewenangan pengawasan hakim yang menjadi yurisdiksi bersama dua lembaga. Konflik kewenangan yang diakhiri dengan pengajuan uji materiil sekelompok hakim ke MK di tahun 2006, menyebabkan pelaksanaan fungsi pengawasan oleh KY sempat vacuum selama beberapa tahun.Ketidakpastian yang diciptakan oleh UU bukan hanya menyebabkan masalah internal kelembagaan, tetapi juga memantik konflik antar lembaga yang kian hari kian tajam. 

Jika dilihat dari uraian permasalahan di atas, maka seharusnya menjadi jelas bahwa akar persoalan seleksi hakim terletak pada ketidakjelasan distribusi kewenangan dalam UU yang menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum. Disinilah seharusnya para hakim konstitusi mengambil peluang untuk meluruskan kembali ketidakpastian hukum dalam proses seleksi hakim, dan meminta para legislator merumuskan kembali pembagian kewenangan definitif antara MA dan KY.

Namun alih-alih menjawab akar masalah tersebut, MK justru menyatakan bahwa KY tidak lagi memiliki kewenangan melakukan seleksi hakim. Pertimbangan MK yang menyatakan bahwa “wewenang lain” dalam Pasal 24B (1) UUD 1945 tidak dapat memberi dasar bagi pemberian kewenangan ‘lain’ dalam hal ini seleksi hakim, tidak memiliki dasar yang kuat. Kalimat ‘wewenang lain dalam menegakkan keluhuran dan menjaga kehormatan martabat hakim’ justru memerlukan tafsir lebih lanjut, yang oleh karenanya dalam UU Peradilan dan UU KY dirumuskan beberapa kewenangan lainnya.

Lebih lanjut MK berpendapat bahwa sistem satu atap merupakan dasar untuk menyatakan bahwa pengangkatan hakim tingkat pertama adalah kewenangan MA (Putusan MK No. 43/PUU-XIII/2015 hal 120). Tetapi dalam pertimbangannya tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan khususnya tentang satu atap, MK tidak menberikan konklusi yang mendukung kesimpulan tersebut. Paparan yang diberikan cenderung teoritis namun tidak memiliki kaitan langsung dengan permasalahan seleksi hakim. Seharusnya prinsip independensi peradilan dimaknai bukan hanya merdeka dari intervensi pihak eksternal, tetapi dimaknai sebagai: independensi personal, konstitusional dan institusional (Simon Shetreet, 1985). Dalam organisasi satu atap potensi intervensi independensi justru muncul dari dalam birokrasi peradilan karena sistem administrasi, organisasi dan keuangan terpusat di MA. Disinilah peran Komisi Yudisial sebagai mekanisme check & balance dan akuntabilitas menjadi penting.

Dalam berbagai teori independensi, seleksi hakim adalah faktor kunci. Berbagai Negara yang menganut sistem rekrutmen tertutup atau sistem karir (seperti Indonesia), mulai menyadari bahwa tekanan dari organisasi peradilan akan lebih besar, daripada Negara yang menggunakan sistem rekrutmen hakim terbuka. Oleh karena itu praktek internasional mendorong proses rekrutmen hakim yang lebih terbuka dan akuntabel antara lain dengan pelibatan komisi independen. Jerman, Austria dan Belanda adalah contoh Negara dengan sistem rekrutmen karir yang melibatkan Komisi Yudisial dalam rekrumen hakim tingkat pertama. Sistem satu atap yang memberi otonomi pada pengadilan untuk mengelola dirinya sendiri merupakan model independensi peradilan yang sangat jarang dianut karena memiliki potensi masalah akuntabilitas yang besar. Namun alih-alih mendorong kemandirian peradilan yang bertanggunggung jawab melalui distribusi kewenangan yang tepat, MK justru mengambil alih argumentasi pemohon dan menyatakan bahwa keterlibatan KY dalam seleksi hakim adalah intervensi terhadap kemandirian pengadilan.

Pasca putusan MK, amanat paket UU Peradilan yang meminta agar pengangkatan hakim tingkat pertama harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif, akan menjadi tantangan yang besar. Sistem organisasi satu atap di satu sisi memang telah menjauhkan intervensi eksternal, dalam hal ini Pemerintah, yang pernah terjadi di masa lalu. Namun dalam praktiknya, organisasi satu atap memiliki potensi permasalahan independensi yang berbeda. Sistem organisasi yang tersentralisasi rentan terhadap permasalahan independensi personal dan kelembagaan. Seharusnya MK lebih bijak dalam melihat peluang untuk mendorong keseimbangan antara independensi dan akuntabilitas peradilan. Namun tampaknya peluang tersebut  telah tersia siakan dan jalan reformasi peradilan makin tampak terjal.

* Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Mahasiswa Program PhD pada Tilburg University
Tags:

Berita Terkait