Pembatasan Pengajuan Grasi Jamin Kepastian Hukum
Berita

Pembatasan Pengajuan Grasi Jamin Kepastian Hukum

Jika tidak dibatasi, permohonan grasi semakin menumpuk dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Pemerintah menganggap pembatasan pengajuan grasi dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi menjamin adanya kepastian hukum. Jika pengajuan tidak dibatasi,  pengajuan grasi justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak yang menginginkan dan membutuhkan kepastian.

“Demi kepastian hukum, ketentuan pengajuan grasi perlu dibatasi, sehingga Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 sudah tepat,” ujar Direktur Litigasi Kemenkumham, Nasrudin, saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam sidang pengujian UU Grasi di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (12/10).

Nasrudin menegaskan pembatasan pengajuan grasi maksimal satu tahun semata-mata demi kepastian hukum. Menurutnya, pembatasan pengajuan grasi ini untuk menekan atau mengurangi beban pengajuan grasi yang selama ini menumpuk. Pembatasan itu juga perlu untuk mencegah penyalahgunaan.

“Grasi yang tidak memberi batasan waktu seperti dalam UU Grasi sebelumnya dapat menyebabkan eksekusi atau pelaksanaan pidana mati menjadi tertunda sampai waktu yang tidak terbatas. Karena itu, ketentuan ini perlu diatur mengenai batasan waktu pengajuan permohonan grasi kepada presiden bagi terpidana mati,” lanjutnya.

Menurutnya, dengan adanya pembatasan waktu ini ketidakpastian hukum terhadap seorang terpidana dapat dihilangkan. Dia juga menganggap gugatan Suud Rusli tidak tepat karena bukan uji materi undang-undang, melainkan konstitusional komplain (pengaduan konstitusi).

“Kalau pengajuan grasi tidak dibatasi pengajuan, penyelesaian grasi akan semakin menumpuk dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegasnya.

Suud Rusli, terpidana mati kasus pembunuhan Dirut PT Asaba Budyharto Angsono, dan mahasiswa FH Universitas At-Thahiriyah Marselinus Edwin Hardian mempersoalkan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi yang membatasi pengajuan grasi maksimal setahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Aturan itu dinilai menciderai rasa keadilan karena pengajuan grasi lebih dari 1 tahun sejak putusan inkracht dianggap daluwarsa.

Pemohon menilai hak pengajuan grasi merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Karena itu, hak pengajuan grasi yang ditujukan kepada presiden sebagai kepala negara seharusnya tidak boleh dibatasi waktunya karena bertentangan dengan prinsip keadilan (sense of justice) yang dijamin UUD 1945.

Menurutnya, grasi tidak termasuk kebijakan terbuka pembentuk Undang-Undang (open legal policy) yang diserahkan kepada pembuat Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut dengan cara membatasi. Karena itu, pemohon minta Pasal 7 ayat (2) UU Grasi dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.

Su’ud sendiri sudah menjalani hukuman selama kurang lebih 12 tahun ini dan masih mendekam di Lapas Porong Sidoarjo sejak 2008. Sebelumnya, eks Marinir berpangkat Kopral Dua ini dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada Februari 2005 lantaran dianggap terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Asaba Budyharto Angsono pada 2003.

Putusan itu dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta pada Agustus 2005 dab putusan Mahkamah Agung RI No. PUT/34-K/MIL/2006 Pid/2010 tanggal 07 Juli 2006. Su’ud tercatat pernah melarikan diri di masa awal perkara, yang mengaku semata-mata perlakuan yang tidak manusiawi (petugas Rutan Militer), dikencingi oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kepada Majelis, Su’ud mengaku perkara pembunuhan terjadi semata-mata atas pengaruh dan perintah atasan yaitu Letda Syam Ahmad Sanusi. Pemohon dikenakan sanksi pidana tersebut dikarenakan dirinya tidak pernah berani mengungkapkan peristiwa yang sebenarnya.Tetapi, dia berharap pengajuan grasi yang diajukan tahun 2014 bisa diproses (presiden) agar tetap diberi kesempatan mengabdi dan berbakti kepada negara.
Tags:

Berita Terkait