Efektivitas Kompetensi Peradilan antara Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri terhadap Gugatan Actio Pauliana
Kolom

Efektivitas Kompetensi Peradilan antara Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri terhadap Gugatan Actio Pauliana

Untuk menjamin adanya kesatuan pandangan dan tindakan di antara para hakim pengadilan dalam menyikapi gugatan actio pauliana, maka perlu ada pengaturan dalam suatu PERMA sebagai pedoman bagi para hakim.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Pasal 1341 KUHPerdata, Pasal 41 s/d Pasal 51 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) telah meletakkan hak dan dasar bagi para kreditur untuk melakukan tuntutan hukum terhadap tindakan hukum para debitur yang dianggap merugikan harta pailit sebelum keluarnya putusan pernyataan pailit. Hal ini dikenal dengan istilah . Sutan Remy Sjahdeni mengatakan bahwa ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 51 UU KPKPU merupakan pelaksanaan dan ketentuan dalam Pasal 1341 KUH Perdata.)   Dalam praktiknya, ada gugatan yang diajukan pada pengadilan negeri, ada pula yang diajukan pada pengadilan niaga. Berhadapan dengan dualisme kewenangan itu, maka penting bagi setiap insan peradilan dalam proses kepailitan, terutama bagi kreditur maupun kurator, untuk mengetahui pengadilan manakah yang lebih efektif untuk mengadili serta memutus gugatan .   Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan gugatan pada pengadilan niaga berlaku hukum acara sebagaimana sebagaimna diatur dalam UU KPKPU, Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: “.   Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyatakan: “.”   “Hukum acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk “hal-hal lain” adalah sama dengan hukum acara yang berlaku bagi permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaiannya.”   Pasal 8 ayat (5) UU KPKPU menyatakan: “”. Jadi, penanganan perkara relatif singkat dengan tenggat waktu 60 hari. Ini berlaku secara pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali pada Pengadilan Niaga, sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (2) UU KPKPU. Lain halnya jika gugatan diajukan melalui pengadilan negeri. Di sini berlaku hukum acara perdata umum sebagaimana diatur dalam HIR dan RBG. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara dalam angka 1 huruf (a) menyebutkan jangka waktu penyelesaian suatu perkara perdata umum adalah enam bulan.   Dari perbandingan jangka waktu tersebut, terlihat proses gugatan akan lebih menghemat waktu jika diajukan pada pengadilan niaga, karena proses pemeriksaan jauh lebih singkat, menghemat waktu dan tidak berlarut-larut. Bandingkan dengan proses jika diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri.   Pemungutan biaya perkara diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pemungutan Biaya Perkara. Pada Pengadilan Niaga, biaya perkara meliputi biaya pendaftaran sebesar Rp5.000.000, kasasi Rp6.500.000 dan peninjauan kembali (PK) Rp11.500.000. Untuk biaya pemanggilan,setiap penambahan satu pihak dikenakan biaya Rp200.000. Sedangkan biaya untuk permohonan sita ditetapkan sebesar Rp2.000.000.   Adapun biaya gugatan yang diajukan di Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut: gugatan Rp647.000, banding Rp800.000, kasasi Rp1.030.000, dan PK Rp3.330.000.   Jadi, nominal biaya resmi perkara di Pengadilan Niaga relatif lebih besar dibanding biaya perkara di Pengadilan Negeri.   Membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. UU KPKPU memberikan syarat bahwa gugatan yang diajukan ke Pengadilan Niaga harus dapat dibuktikan secara sederhana.   Sifat pembuktian gugatan yang diajukan melalui pengadilan negeri akan berbeda dengan sifat pembuktian sederhana seperti dalam gugatan kepailitan di Pengadilan Niaga. Pengajuan gugatan actio pauliana yang dilakukan melalui pengadilan negeri dapat disebabkan oleh karena tidak dapat dibuktikan secara sederhana dimana syarat “dapat dibuktikan secara sederhana” ini merupakan syarat pembuktian di pengadilan niaga.   Hal yang perlu diingat pula adalah bahwa selalu berhubungan dengan kepentingan pihak ketiga, yaitu pihak dimana si debitur yang hendak pailit melakukan perbuatan hukum keperdataan sebagai upaya untuk mengalihkan harta kekayaan si debitur kepadanya. Oleh karena itu, mengingat melibatkan kepentingan pihak ketiga yang harus diberikan kesempatan untuk membela kepentingannya dengan baik berdasarkan asas Makanya, seringkali pembuktian sederhana tidak dapat dilakukan, sehingga suka ataupun tidak kreditur akan menempuh gugatan melalui pengadilan negeri dengan konsekuensi menjadi perkara perdata umum yang pembuktiannya mengikuti HIR dan RBG.   Terhadap putusan hakim menyangkut gugatan pada Pengadilan Niaga dapat dilakukan upaya hukum sebagaimana upaya hukum terhadap permohonan pernyataan pailit dalam perkara kepailitan, yakni perlawanan yang dikhususkan bagi pihak ketiga yang berkepentingan, kasasi dan PK, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 14 UU KPKPU. Tata cara mengajukan perlawanan atau lebih jauh diatur dalam Pasal 1917 BW, 378, 379 dan 382 Rv. Sedangkan upaya hukum terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri meliputi perlawanan (), (perlawanan) dari pihak ketiga, banding, kasasi dan PK. Secara umum upaya hukum atas kedua putusan tersebut di atas sama, hanya pada putusan pengadilan niaga tidak terdapat upaya banding.   UU KPKPU secara tegas menyatakan kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh harta kekayaan debitor yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator. Sita umum berlaku terhadap seluruh harta debitor, yaitu harta yang telah ada pada saat pernyataan pailit ditetapkan dan harta yang diperoleh selama kepailitan.   Di samping sita umum, UU Kepailitan juga mengenal sita jaminan ()yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan debitur dan kreditur. Lalu bagaimana dengan penyitaan dalam ? Mengenai hal ini, Penulis berpandangan bahwa dalam rangka kepailitan berlaku sita umum secara sepanjang diperiksa dan diputus oleh pengadilan niaga oleh karena berada dalam rezim hukum kepailitan yang tunduk di bawah UU KPKPU, Sedangkan yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri, maka hanya berlaku sita jaminan () oleh karena sifat gugatannya menjadi seperti perdata umum.   Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita, namun hanya disimpan () oleh pengadilan, supaya tidak dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Berbeda dengan sita umum yang akan dilelang untuk pelunasan utang kreditur.   Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa di antara dua kompetensi peradilan dalam mengadili , lebih efektif jika dilakukan oleh pengadilan niaga, namun demikian, dari segi waktu perlu ada penyempurnaan aturan dengan memberikan waktu yang cukup bagi semua pihak baik Kreditur, Debitur, maupun Pihak Ketiga yang bekepentingan untuk diakomodir dengan mendapat kesempatan waktu yang cukup, karena pembatasan 60 hari akan sulit untuk membuktikan sesuatu secara sederhana apalagi yang berhubungan dengan pihak ke tiga.   Sebagai contoh misalnya dalam suatu akta pengalihan aset jika salah satu pihak menyangkal keabsahannya maka pembuktiannya menjadi tidak sederhana, perlu ada pengujian keabsahan melalui lembaga terkait yang berwenang, uji laboratorium dan sebagainya. Berbeda halnya dengan permohonan pailit yang pembuktiannya cukup dengan menunjukan Debitur memiliki dua atau lebih Kreditur yang salah satu di antaranya jatuh tempo dan dapat ditagih.   Untuk menjamin adanya kesatuan pandangan dan tindakan di antara para hakim pengadilan dalam menyikapi gugatan maka perlu ada pengaturan dalam suatu PERMA sebagai pedoman bagi para hakim. PERMA tersebut dimaksudkan untuk mengatur kewenangan hakim khususnya dalam mengadili , mengatur pula hukum acara dan sifat pembuktian dalam , serta waktu yang ideal bagi semua pihak yang terlibat dalam baik Kreditur, Debitur maupun Pihak Ketiga yang berkepentingan.     Footnote
[ii]Lilik Mulyadi, “Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan”. PT. Alumni, Bandung. 2009, Hal, 308.
[iii]Rahayu Hartini, “Sengketa Kepailitan di Indonesia, Dualisme Kewenangan PengadilanNiaga & Lembaga Arbitrase”, Kencana Prenada Media Group, 2009, hal. 106.
[iv]Pasal 19 Faillissementsverordening dan Undang-undang Nomor 4 tahun 1998, serta pasal 21 Undang-undang nomor 37 tahun 2004.
UU Nomor 37 Tahun 2004actio paulianaactio pauliana[i]

actio pauliana actio pauliana

Hukum Acara Pemeriksaan
actio paulianaputusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan atau diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum Debitur"


Yang dimaksud dengan hal-hal lain adalah antara lain actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap pernyataan pailit, atau perkara dimana debitur, kreditur, kurator atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya



Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkanmutatis mutandis

actio pauliana

actio paulianaactio pauliana

Biaya Perkara
[ii]

actio pauliana

actio paulianaactio pauliana

Sifat Pembuktian
actio pauliana

actio paulianaactio paulianaactio pauliana

actio paulianaactio pauliana audi et alteram partem.actio pauliana

Upaya Hukum
actio pauliana[iii]derdenverzetverzetderdenverzet

Penyitaan
[iv]

conservatoir beslag, actio paulianaactio paulianamutatis-mutandisactio paulianaconservatoir beslag,

conserveer

Penutup
actio pauliana



actio pauliana,actio paulianaactio paulianaactio pauliana

* Praktisi hukum perusahaan dan kepailitan, Founder & Managing Partner of Law Office Suhardi La Maira & Associates



[i]Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordering Junto Undang-Undang No.4 Tahun1998, hal.298-299, yang dikutip kembali oleh: Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, 2006,  PT. Alumni, Bandung. Hal.124. 
Tags:

Berita Terkait