Empat Profesor Hukum Komentari SKMA Sumpah Advokat
Berita

Empat Profesor Hukum Komentari SKMA Sumpah Advokat

Dampak yang timbul pasca Surat KMA No .73 tahun 2015 perlu diantisipasi.

Oleh:
CR19
Bacaan 2 Menit
Empat Profesor Hukum Komentari SKMA Sumpah Advokat
Hukumonline
Belum genap satu bulan pasca diterbitkan pada akhir September lalu, Surat KMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015sudah menuai pro dan kontra. Mereka yang mendukung menganggap Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) itu merupakan solusi terbaik mengatasi persoalan advokat saat ini. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi Ketua Pengadilan Tinggi menolak pengambilan sumpah advokat baik yang dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) maupun Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jawahir Thantawi, mengatakan secara umum tidak sepakat terhadap langkah MA yang mencoba mengatasi permasalahan sumpah calon advokat.

Ia melihat penerbitan SKMA dari tiga aspek. Pertama, Jawahir menilai landasan filosofis SKMA  bermasalah karena dalam proses pembahasan surat, Ketua MA diduga tidak melibatkan organisasi profesi, yakni Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).

”Keputusan yang baru ini ternyata dibuat tidak sama kedudukannya dengan surat KMA sebelumnya. Dihadirkan oleh MA di situ ada PERADI, ada KAI, duduk bersama. Yang kedua ini tidak dilakukan itu,” katanya dalam diskusi bertema ”Implementasi SKMA No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 Serta Implikasinya Terhadap Organisasi Profesi dan Profesi Advokat” di Crowne Plaza Ballroom, Jakarta, Jumat (16/10).

Kedua, SKMA mengandung kelemahan karena kurang mengantisipasi dampak yang mungkin muncul. Menurutnya, secara sosiologi politik, pasca diterbitkan terlihat bahwa SKMA ini memunculkan goncangan-goncangan dalam organisasi profesi advokat.

Ketiga, Jawahir juga melihat akibat yang secara langsung dirasakan setelah SKMA ini terbit adalah munculnya penyumpahan advokat-advokat yang tidak memiliki kompetensi.

Keempat, kelemahan dari aspek yuridis formal. Menurutnya, kalau objek yang diatur lebih dari satu seharusnya dilakukan melalui unilateral act atau kesepakatan bersama.

”Ini pelanggaran terhadap penegakan hukum yang tidak menimbulkan ketentraman dan insecure terhadap eksistensi kelembagaan. Kalau ada permasalahan yang menyangkut lebih dari satu objek, harus dibangun dengan kesepakatan bersama. Agar putusan itu legitimate,” jelasnya.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Amzulian Rifai, berpendapat langkah MA tidak tepat. Salah satunya karena MA memiliki peran sebagai mediator dalam meredakan kisruh di organisasi profesi advokat. Amzulian mengatakan MA juga pernah punya sejarah dalam menyatukan PERADI dan KAI melalui Surat KMA No. 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010 sebelumnya. ”Surat KMA No 73 tahun 2015 itu bertentangan sekaligus menunjukkan inkonsistensi MA dengan Surat KMA No. 89 tahun 2010,” katanya.

Dikatakan Amzulian, SKMA ini juga punya sejumlah implikasi buruk terhadap kelangsungan profesi advokat. Misalnya, bisa dikatakan SKMA ini mengakui bermacam-macam organisasi profesi advokat. Hal itu nantinya berdampak terhadap kualitas advokat yang dihasilkan. Padahal, salah satu tujuan konsep singlebar adalah agar mekanisme mengkontrol kualitas para advokat itu bisa terstandarisasi dengan seragam.

”Padahal selama ini melalui seleksi ketat saja, kualitas para advokat kebanyakan masih belum memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat,” kritik Dekan Fakultas Hukum Unsri itu.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sudjito, menilai salah satu alasan terbitnya SKMA terkesan begitu dipaksakan. Sudjito melanjutkan, alasan Ketua MA yang menyebutkan bahwa untuk menjamin hak untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak mendapatkan imbalan, dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) adalah tidak kuat.

”Argumentasinya itu terkesan dipaksakan sehingga argumentasi itu secara akademik dipertanyakan. Karena ini masalah pekerjaan sehingga kalau advokat ini disamakan dengan buruh ini kayanya tidak layak,” ujar Sudjito.

Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Syafruddin Kalo, justru memuji langkah Ketua MA yang menerbitkan SKMA ini. Melihat latar belakang perpecahan di organisasi advokat, Syafrudin menilai bahwa dengan SKMA itu berarti MA menjalankan fungsi MA sebagai fungsi keseimbangan. Meski dia menilai bahwa SKMA ini bertolak belakang dengan SKMA sebelumnya, namun Syafrudin meminta agar organisasi profesi advokat mengikuti dan menghormati langkah Ketua MA tersebut.

 ”Kalau tidak dibuat ini (SKMA No. 73 Tahun 2015,- red) mungkin entah apa yang terjadi di dunia advokat dan Pemerintah punya alasan yang cukup untuk mengambil alih kewenangan advokat ini,” katanya.

Tapi yang pasti, katanya organisasi profesi advokat mesti mulai mencoba untuk menyatukan diri untuk mewujudkan konsep singlebar sejati sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003tentang Advokat. ”UU Advokat ini jangan diubah karena ini satu-satunya untuk meninggikan derajat advokat. Multibar ini sebenarnya membikin kita mundur. Ikuti dulu kesempatan ini, baru kita berjuang untuk kembali menyatukan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait