Kasus Ini Dianggap Bukan Kewenangan MK
Berita

Kasus Ini Dianggap Bukan Kewenangan MK

Dalil-dalil yang dikemukakan pemohon sebenarnya dinilai ranah penerapan hukum pidana.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kasus Ini Dianggap Bukan Kewenangan MK
Hukumonline
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Komariah Emong Sapardjaja, menilai uji materi Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang diajukan mantan Kapuspenkum Kejaksaan Agung RJ Soehandoyobukan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, kasus yang dialami pemohon menyangkut kasus konkrit yang merupakan kewenangan pengadilan umum.

“Perkara TPPU yang dituduhkan pemohon yang predicate crime-nya (tindak pidana asal) saja diputus bebas merupakan hasil pembuktian di persidangan, sehingga bukan kewenangan MK,” ujar Prof. Komariah saat memberi pandangan sebagai ahli yang diajukan PPATK sebagai pihak terkait pengujian UU TPPU di ruang sidang MK, Senin (19/10).

Komariah menjelaskan dalih pemohon Pasal 69 dianggap bertentangan dengan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 UU TPPU terutama unsur “diketahui atau patut dapat diduga” mengandung asas pro parte dolus pro parte culpa (kesengajaan dan kelalaian pelaku). Artinya, pelaku (TPPU) tak perlu mengetahui dulu harta kekayaan yang diterima dari orang lain berasal dari kejahatan. Hal ini telah dipertimbangkab melalui putusan MK No. 77/PUU-XII/2014.

“Ini menunjukkan tidak perlu adanya hubungan perbuatan antara pelaku dengan orang lain, seperti yang dialami pemohon. Kasus ini sebenarnya masuk ranah pembuktian di pengadilan umum yang bukan kewenangan MK,” tegas mantan hakim agung ini.

Lagipula, lanjutnya, tidak semua tindak pidana (asal) dapat dijerat dengan TPPU. Hanya beberapa tindak pidana asal yang berpengaruh terhadap perekonomian yang bisa dijerat dengan TPPU termasuk tindak pidana perbankan, seperti disebutkan Pasal 2 UU TPPU. “Jadi, seluruh dalil yang mendasari permohonan ini seharusnya ditolak MK,” harapnya.

Ahli lainnya, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Nyoman Serikat Putra Jaya menilai Pasal 69 UU TPPU tidak mengandung persoalan konstitusionalitas norma. Dia mengingatkan pelaku TPPU dan tindak pidana asal bisa dilakukan orang yang berbeda atau sama. Makanya, sesuai Pasal 75 UU TPPU, seorang pelaku dapat dijerat tindak pidana asal dan TPPU sekaligus dengan dakwaan kumulatif (berlapis).

“Dalil-dalil yang dikemukakan pemohon sebenarnya ranah penerapan hukum pidana (bukan kewenangan MK, red),” ujar ahli yang sengaja diajukan MK ini.

Melalui kuasa hukumnya, RJ Soehandoyo yang berstatus sebagai tersangka ketika menjadi Komisaris PT Panca Lomba Makmur mempersoalkan Pasal 69 UU TPPU. Soalnya, Polda Sulawesi Tenggara telah menetapkannya sebagai tersangka pada Juni 2014 atas tuduhan Pasal 69 UU TPPU atas laporan Falahwi Mudjur Saleh W alias Seli.

Pemohon diduga memindahbukukan dana perusahaan yang telah digelapkan direktur dan manajer keuangan terdahulu dari rekening manajer keuangan ke rekening PT Panca Logam Makmur untuk menyelamatkan aset perusahaan.

Sebelumnya, direktur (Tomi Jingga) dan manajer keuangan (Falahwi Mudjur) perusahaan ini diduga telah melakukan penggelapan dalam jabatan. Keduanya, telah dijatuhi hukuman pidana penjara selama tiga tahun berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Bau Bau-Bau No. 363/Pid.B/2014/PN.Bau tertanggal 6 Mei 2015.

Padahal, merujuk putusan PN Bau-Bau dalam perkara yang sama, pertimbangan halaman 58 menyebutkan yang berhak membuka blokir rekening manajer keuangan yang telah berstatus terpidana, adalah Komisaris PT Panca Logam Makmur. Menurutnya, perkara TPPU dan predicate crime (Perbankan) masing-masing berdiri sendiri. Hal ini dianggap persoalan hukum baru yang menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi pemohon.

Pemohon menganggap penyidik tidak dapat menetapkan pemohon menjadi tersangka TPPU. Sebab, perkara ini awalnya bukanlah TPPU, tetapi tindak pidana perbankan dan yang menjadi tersangka pun bukan pemohon. Karena itu, pemohon minta agar Pasal 69 UU TPPU dihapus karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)  UUD 1945.
Tags: