Pelanggaran HAM Berat Sebaiknya Tidak Masuk RUU KUHP
Berita

Pelanggaran HAM Berat Sebaiknya Tidak Masuk RUU KUHP

Butuh mekanisme khusus untuk menangani kejahatan luar biasa.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
KUHP dan KUHAP. Foto: RES
KUHP dan KUHAP. Foto: RES
Elemen masyarakat sipil meminta pembentuk undang-undang, DPR dan Pemerintah, tidak memasukkan tindak pidana HAM berat ke dalam RUU KUHP. Permintaan itu disampaikan mengingat draf RUU saat ini sudah memasukkan pelanggaran HAM berat sebagai bagian dari KUHP masa depan.

Yati Andriyani, Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, menilai pasal-pasal pelanggaran HAM berat dalam Pasal 400-4006 RUU KUHP belum selaras dengan konsep dan asas pidana yang diperlukan dalam penindakan pelanggaran HAM berat.

Penjelasan UU No. 26 Tahun 2000  tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menegaskan pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Pelanggaran berat HAM diakui pembentuk undang-undang kala itu sebagai kejahatan yang berdampak luas baik di tingkat nasional maupun internasional. Konsekuensinya, proses hukum terhadap pelanggaran HAM berat membutuhkan mekanisme khusus, lain daripada mekanisme pidana umumnya. “RUU KUHP tidak dapat mengakomodasi kekhususan itu,” kata Yati dalam jumpa pers di kantor KontraS di Jakarta, Rabu (21/10).

Yati menunjuk masalah lain. KUHP mengatur batas daluarsa tindak pidana dan menggunakan asas nebis in idem. Padahal dalam pemidanaan kasus pelanggaran HAM berat ketentuan tentang daluarsa tidak berlaku. Pidana pelanggaran HAM berat juga menganut asas non-rektoaktif  karena sifat kejahatannya yang luar biasa.

Praktiknya, asas nebis in idem sering digunakan sebagai dalih agar kasus pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan di Pengadilan HAM ad hoc tapi menggunakan mekanisme pengadilan umum atau Mahkamah Militer. Argumen ini muncul dalam kasus Semanggi I dan II. “Asas nebis in idem bisa memperpanjang rantai impunitas yang selama ini terjadi dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” ujar Yati.

Yati menuturkan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan sangat serius yang menjadi musuh manusia (hostis humanis generis). Prinsip universal jurisdiction berlaku, yang berarti membolehkan otoritas internasional melakukan penghukuman jika negara yang bersangkutan gagal atau tidak mampu menuntaskan masalah. Dengan demikian, daluarsa dan asas nebis in idem tidak dapat diterapkan dalam kasus pelanggaran HAM berat. Selain itu dalam mekanisme hukum pelanggaran HAM berat mengatur perlindungan untuk saksi dan korban serta pemberian kompensasi dan rehabilitasi.

Yati berpendapat RUU KUHP  lebih baik mengatur pemidanaan terhadap pelanggaran HAM yang tidak masuk kategori pelanggaran HAM berat. Seperti pelarangan melakukan demonstrasi, penyebaran kebencian terhadap golongan tertentu, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan. Ia mengingatkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur norma-norma HAM yang harus ditegakkan. Bagaimanapun RUU KUHP harus selaras dengan UU HAM.

Staf Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS, Satrio Wirataru, mengatakan KUHP itu ditujukan untuk melindungi masyarakat sipil. Namun, jika mencermati pasal-pasal dalam RUU KUHP dapat disimpulkan perlindungan terhadap masyarakat sipil tidak signifikan. RUU KUHP, kata Satrio, masihlebih banyak menguntungkan pemerintah seperti terlihat dari pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat. Menurutnya ketentuan itu tidak jelas karena kata “keonaran” berpotensi jadi pasal karet. “RUU KUHP lebih banyak mengatur ketentuan yang menguntungkan pemerintah daripada masyarakat sipil,” papar pria yang disebut Wira itu.

Walau begitu Wira melihat ada ketentuan yang melindungi masyarakat sipil seperti pasal 286 RUU KUHP. Namun pasal itu harus diperbaiki karena berpotensi menjadi pasal karet sebab tidak memiliki defenisi jelas mengenai pembatasan konteks pemidanaan. Kualifikasi “penghinaan terhadap golongan” juga mengaburkan tujuan pemidanaan. Ia meminta ketentuan ini dicabut jika tidak jelas.

Pasal lain, tidak ada unsur “agama” dalam pasal pidana terkait diskriminasi sebagaimana tercantum dalam pasal 287-288 RUU KUHP. Pasal-pasal itu tidak menjamin antidiskriminasi atau perlindungan dari tindakan diskriminasi dengan latar belakang agama. “Pasal-pasal yang menindak pelaku syiar kebencian (hate speech) dalam RUU KUHP harus diperkuat karena itu melindungi masyarakat sipil,” urainya.
Tags:

Berita Terkait