Alasan Soepomo Menolak ‘Banding Undang-Undang’ ke Balai Agung
Berita

Alasan Soepomo Menolak ‘Banding Undang-Undang’ ke Balai Agung

Balai Agung tak seharusnya hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: www.pustokum.org
Foto: www.pustokum.org
Salah satu titik penghubung nama dua pendiri bangsa, Muhammad Yamin dan  Soepomo, adalah judicial review alias pengujian undang-undang. Yamin dikenal sebagai tokoh yang menggagas pentingnya judicial review, sedangkan Soepomo sebaliknya. Ia menolak gagasan Yamin. Tetapi benarkah Soepomo benar-benar menolak?

“Sebenarnya tidak eksplisit menolak kok,” kata Saldi Isra di sela-sela ‘Konperensi Pemikiran Soepomo dan Yamin’ yang diselenggarakan Pusat Kajian Tokoh dan Pemikiran dengan FH Unisba di Bandung, Jum’at (30/10).  

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menguraikan Soepomo beralasan saat itu pengujian undang-undang hasil kerja legislatif belum layak karena jumlah ahli hukum di Indonesia masih sedikit. Soepomo juga beralasan panitia penyusun konstitusi sudah sepakat sistem ketatangaraan yang akan dianut bukan pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, sehingga tak mungkin memberikan kewenangan kepada satu cabang kekuasaan untuk membatalkan produk cabang kekuasaan lain.

Yamin melihat pentingnya checks and balances antar lembaga negara. Karena itu ia mengusulkan agar Balai Agung tak hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman belaka. Balai Agung juga harus bisa membanding undang-undang produk DPR jika undang-undang itu melanggar konstitusi. Balai Agung yang dimaksud Yamin adalah Mahkamah Agung.

Sebaliknya, Soepomo khawatir jika diberi wewenang pengujian itu akan muncul kesan Balai Agung lebih tinggi dibanding legislatif dan yudikatif. Padahal sistem ketatanegaraan yang sudah disepakati para pendiri negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif sama-sama lembaga tinggi negara. Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR.

Gagasan Yamin itu pada akhirnya memang tidak mendapat tempat dalam konstitusi UUD 1945. Balai Agung (Mahkamah Agung) tak diberi wewenang ‘membanding undang-undang’ produk DPR.

Puluhan tahun kemudian, gagasan Yamin itu baru terlaksana. Amandemen UUD 1945 memperkenalkan lembaga baru, Mahkamah Konstitusi, yang bertugas antara lain menguji Undang-Undang terhadap UUD. Sedangkan Mahkamah Agung berwenang melakukan pengujian peraturan yang lebih rendah terhadap Undang-Undang.

Bagi Saldi pemikiran Soepomo tidak statis, tetapi terus berkembang sesuai kebutuhan zamannya. Dalam soal hak asasi manusia, misalnya. Dulu ia berdebat dengan Yamin perlu tidaknya masuk pasal-pasal HAM dalam konstitusi. Gagasan Yamin tentang HAM memang tak sepenuhnya mentok karena penolakan Soepomo. Ada kompromi.

Tetapi pada fase berikutnya perjalanan Soepomo, ketika ia ditunjuk jadi panitia perancangan konstitusi pasca kemerdekaan, Soepomo malah mengakomodasi isu-isu HAM. Saldi Isra menunjuk bukti, UUD RIS dan UUD 1950, yang ikut disusun Soepomo, bertabur dengan pasal-pasal HAM. “Jadi, saya kira Soepomo juga tidak menolak (ide-ide Yamin—red),” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait