Tak Ada Pelanggaran Konstitusi dalam Sertifikasi Guru
Berita

Tak Ada Pelanggaran Konstitusi dalam Sertifikasi Guru

Putusan MK ini dinilai tidak menggali syarat kualifikasi dan persyaratan sertifikasi guru lebih mendalam.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak uji materi Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU No. 14 Tahun 2005  tentang Guru dan Dosen terkait sertifikasi guru, sertifikat pendidik, penerimaan gaji dan tunjangan profesi. Dalam putusannya, Mahkamah menganggap pengujian pasal-pasal tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau konstitusional.

“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 10/PUU-XIII/2015 di gedung MK, Rabu (4/11).

Pengujian UU Guru dan Dosen ini dimohonkan enam guru non-PNS yang telah bertahun-tahun mengajar di sekolah negeri di Banyuwangi antara lain Fathul Hadie Utsman, Sanusi Afandi, Saji, Ahmad Aziz Fanani. Ketentuan itu dinilai diskriminatif dan menimbulkan ketidakadilan antara guru PNS dan guru non-PNS terkait hak mendapatkan sertifikasi guru, sertifikat pendidik, penerimaan gaji dan tunjangan profesi. Masalahnya, hanya guru PNS yang bisa memperoleh hak-hak itu, sementara guru non-PNS tidak berhak.

Mahkamah menilai tidak setiap guru serta merta dapat menikmati fasilitas dan/atau keuntungan seperti diatur UU Guru dan Dosen. Justru, bertentangan dengan UUD 1945 jika pengertian guru diartikan mencakup juga guru-guru seperti didalilkan para pemohon.  

“Jika diartikan demikian, segala persyaratan kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, dan persyaratan lainnya itu menjadi tidak ada gunanya. Padahal persyaratan itu sangat dibutuhkan karena berkait langsung dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional yang visi, misi, dan strateginya telah ditentukan UU Sisdiknas,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan pertimbangan putusan.

Menurut Mahkamah pengaturan berbeda antara guru-guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, dan persyaratan lain dengan guru-guru lain (non-PNS) yang belum memenuhi persyaratan itu justru memberi pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Persyaratan kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, agar para guru dapat menikmati hak-hak keprofesionalannya juga tidak dapat dikatakan bertentangan dengan hak memajukan diri pemohon secara kolektif. Sebab, persyaratan itu tidaklah mengada-ada, tetapi lahir karena kebutuhan mencapai tujuan pendidikan nasional,” lanjutnya.

Selain itu, persyaratan pemenuhan kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, dan persyaratan lainnya itu yang berakibat para pemohon tidak dapat menikmati keuntungan dan/atau fasilitas juga bukan ketentuan yang diskriminatif. Sebab, selain tuntutan kebutuhan, pembedaan ini bukan didasari pertimbangan ras, suku bangsa, agama, jenis kelamin, status sosial, status ekonomi, yang layak dijadikan parameter diskriminasi.

Meski begitu, Mahkamah memandang betapa memprihatinkannya nasib dan keadaan guru-guru kualifikasi seperti halnya para Pemohon. Karenanya, sangatlah penting bagi Pemerintah menempuh langkah-langkah segera dan memadai, sehingga para guru dimaksud setidak-tidaknya dapat hidup dengan standar kehidupan yang layak.

Usai persidangan, salah satu pemohon, Fathul Hadie Utsman mengatakan kecewa atas putusan MK. Meskipun begitu, dia mengapresiasi sikap MK yang meminta pemerintah memperhatikan kesejahteraan nasib para guru non-PNS agar bisa hidup layak. “Walaupun ditolak, tetapi saya puas karena mulai saat ini pemerintah harus memikirkan kesejahteraan gaji dan tunjangan guru non-PNS,” kata Fathul.

Dia mengkritik putusan MK ini yang tidak menggali syarat kualifikasi dan persyaratan sertifikasi guru lebih mendalam. Sebab, faktanya guru non-PNS atau honorer ini secara kualifikasi telah memenuhi persyaratan sama halnya dengan guru PNS, seperti syarat jenjang pendidikan minimal strata 1 atau strata 2.

“Kualifikasi akademik para pemohon semuanya terpenuhi, tetapi tidak mendapatkan sertifikasi guru karena SK Pengangkatannya tertulis guru tidak tetap atau guru honorer. Padahal, guru apa saja seharusnya berhak sertifikasi guru dan pendidik, dan memperoleh tunjangan profesi,” katanya.
Tags:

Berita Terkait