Putusan MK Perkuat Peran Pengawas Ketenagakerjaan
Berita

Putusan MK Perkuat Peran Pengawas Ketenagakerjaan

Sangat tergantung pada hakim, apakah benar-benar memperhatikan nota pemeriksaan yang dilakukan pengawas.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Putusan MK Perkuat Peran Pengawas Ketenagakerjaan
Hukumonline
Putusan MK No:7/PUU-XII/2014 memungkinkan peralihan status pekerja PKWT menjadi PKWTT melalui penetapan pengadilan. Putusan ini dianggap bisa mendorong penguatan peran Pengawas Ketenagakerjaan. Pengawas perlu sungguh-sungguh menjalankan tugasnya.

Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan, Muji Handaya berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi itu menegaskan kepada pemberi kerja untuk melaksanakan nota pemeriksaan pengawas ketenagakerjaan. Selain memperkuat peran pengawas ketenagakerjaan, putusan itu memberikan tantangan bagi petugas pengawas ketenagakerjaan untuk bekerja lebih cepat. Sebab nota pemeriksaan yang dihasilkan akan digunakan oleh pekerja untuk mendapat kepastian hukum terutama berkaitan dengan statusnya.

Dijelaskan Muji, putusan MK itu memberi peluang jika pemberi kerja tidak melaksanakan nota pemeriksaan pekerja bisa minta penetapan ke pengadilan negeri. “Itu memperkuat peran petugas pengawas karena selama ini nota yang mereka terbitkan seolah tidak bisa dieksekusi, tapi sekarang bisa dieksekusi lewat pengadilan,” ujarnya kepada hukumonline, Jumat (13/11).

Muji menjelaskan perkara yang berkaitan dengan masalah PKWT masuk ranah perdata. Ketika petugas pengawas melakukan pemeriksaan, hasil pemeriksaan itu akan dituangkan dalam nota pertama. Jika nota pemeriksaan pertama itu tidak dijalankan pemberi kerja, pengawas menerbitkan nota kedua. Jika pemberi kerja tidak melaksanakan nota kedua itu pengawas berharap agar majelis hakim di pengadilan hubungan industrial (PHI) dapat memperhatikan nota itu dalam memutus perkara.

Sesuai amanat UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), penyelesaian perkara terkait PKWT harus didahului dengan proses bipartit antara pengusaha dan pekerja. Kalau tidak tercapai mufakat, prosesnya berlanjut ke mediasi yang difasilitasi mediator di Dinas Ketenagakerjaan. Ketika mediator menerbitkan anjuran dan salah satu pihak keberatan, prosesnya dapat berlanjut ke PHI.

Selama ini Pengawas Ketenagakerjaan mencermati perkara ketenagakerjaan yang berkaitan dengan unsur pidana. Untuk perkara yang bersinggungan dengan perdata seperti peralihan status PKWT, pengawas dapat mengeluarkan nota. Seringkali nota pengawas dalam perkara perdata itu tidak dilaksanakan. “Namun lewat putusan MK nota itu diperkuat agar dipatuhi,” paparnya.

Memang, dalam beberapa kasus di PHI, hakim memerhatikan nota yang dibuat Pengawas Ketenagakerjaan. Misalnya, dalam perselisihan terkait peralihan status PKWT buruh kontainer di pelabuhan Tanjung Priok majelis mempertimbangkan nota pengawas. Alhasil dalam putusan majelis menyatakan para buruh PKWT beralih statusnya jdi PKWTT.

Putusan MK berlaku dengan sendirinya. Karena itu, Kementerian Ketenagakerjaan, kata Muji,  tidak perlu menerbitkan peraturan perundang-undangan pelaksananya. Sebab selama ini petugas pengawas telah melaksanakan fungsinya dan menerbitkan nota pemeriksaaan. Kementerian mungkin hanya akan menerbitkan Surat Edaran kepada petugas pengawas di seluruh Indonesia agar mereka lebih mencermati pasal-pasal terkait aturan PKWT dan lebih berani menerbitkan nota pemeriksaan. “Nota itu nanti digunakan untuk penetapan di pengadilan,” paparnya.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menilai putusan MK itu memberi kepastian hukum bagi pekerja berstatus kontrak (PKWT) termasuk outsourcing. Selama ini banyak pekerja berstatus PKWT bekerja secara terus-menerus di sebuah perusahaan. Padahal Pasal 59 UU Ketenagakerjaan membatasi pelaksanaan PKWT. Jika ketentuan itu dilanggar, pekerja PKWT demi hukum menjadi PKWTT atau pekerja tetap.

Sayangnya, kata Timboel, ketentuan itu sulit dilaksanakan. Untuk mendapat kepastian hukum harus melalui putusan yang berkekuatan hukum tetap. Prosesnya pun tidak sebentar. Pekerja harus menunggu sampai tiga tahun untuk mendapat putusan berkekuatan hukum tetap.

Begitu pula pelaksanaan Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang mengatur status pekerja kontrak di perusahaan penerima pemborongan dan di perusahaan penyedia jasa pekerja (vendor). Jika melanggar ketentuan ini, status kedua jenis pekerja itu beralih menjadi pekerja di perusahaan pemberi pekerjaan (user). “Pasal-pasal ini juga susah untuk dilaksanakan mengingat UU PPHI memberi ruang untuk proses perselisihan ke PHI dan MA yang memakan waktu lama,” tegas Timboel.

Bagi Timboel putusan MK telah mengembalikan kewenangan pengawas ketenagakerjaan terkait norma-norma kerja, khususnya tentang PKWT dan status pekerja outsourcing. Selama ini kewenangan petugas pengawas diamputasi UU PPHI karena seluruh pelanggaran terkait norma kerja bisa dijadikan obyek perselisihan ketenagakerjaan. Putusan MK itu menguatkan nota pengawas karena bisa langsung dimintakan eksekusi ke pengadilan negeri.

Mengingat peran pengawas yang sangat penting, Timboel mengusulkan agar petugas pengawas berkomitmen untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan tidak ragu menerbitkan nota. Putusan MK itu harus dijalankan dengan baik oleh pengadilan negeri terutama bagian eksekusi. Timboel mengeluhkan proses eksekusi di pengadilan negeri yang rumit dan panjang sehingga menghambat buruh mendapatkan hak-haknya. Guna membenahi hal itu MA layak untuk menerbitkan petunjuk pelaksanaan (juklak) khusus bagi proses eksekusi terkait perselisihan hubungan industrial.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M. Hadi Subhan, menilai putusan MK itu memberi dampak positif, antara lain menyederhanakan proses peralihan status pekerja PKWT jadi PKWTT. Selama ini prosesnya dilakukan lewat pengadilan, untuk sampai pada putusan berkekuatan hukum tetap membutuhkan waktu lama. Melalui putusan MK, peralihan status bisa dilakukan lewat penetapan atau pengesahan di pengadilan negeri. Jika pemberi kerja tidak melaksanakan penetapan, bisa meminta eksekusi.

Namun, penetapan atau pengesahan itu harusnya tidak langsung ke pengadilan negeri tapi ke PHI pada pengadilan negeri. Menurut Subhan penetapan itu seperti penetapan perjanjian bersama (PB) antara pemberi kerja dan pekerja lewat PHI. Ketika ada salah satu pihak wanprestasi maka bisa dilakukan eksekusi.

Selain itu Kementerian Ketenagakerjaan menurut Subhan perlu menindaklanjuti putusan MK itu dengan menerbitkan peraturan teknis seperti Peraturan Menteri atau Surat Edaran (SE). Isinya menegaskan petugas pengawas berwenang menerbitkan nota, terutama berkaitan dengan peralihan status pekerja PKWT jadi PKWTT. Kemudian, menegaskan penetapan nota itu dilakukan di PHI pada pengadilan negeri. Berikutnya, memuat mekanisme eksekusi jika pemberi kerja tidak mau melaksanakan penetapan.

“Bisa juga memuat sanksi administratif misalnya pengusaha yang tidak melaksanakan nota yang sudah ditetapkan pengadilan tidak mendapat pelayanan publik tertentu,” usul Subhan.
Tags:

Berita Terkait