Minim Terobosan, Aktivis Usulkan Penggantian Jaksa Agung
Utama

Minim Terobosan, Aktivis Usulkan Penggantian Jaksa Agung

Dinilai tidak ada prestasi dan terobosan selama setahun memimpin Kejaksaan Agung.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung M Prasetyo. Foto: RES
Jaksa Agung M Prasetyo. Foto: RES
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan yang terdiri MaPPI FH UI, PSHK, YLBHI, ICW dan KontraS menilai Jaksa Agung, HM Prasetyo, layak diganti. Sebab,  setahun memimpin korps adhyaksa  Prasetyo dianggap tanpa prestasi dan terobosan signifikan.

Peneliti MaPPI FH UI, Dio Ashar Wicaksana, mengatakan lembaganya sejak awal menolak HM Prasetyo jadi Jaksa Agung karena berlatar belakang partai politik (parpol). MaPPI khawatir tidak memberi dampak positif yang signifikan untuk Kejaksaan Agung, terutama dalam hal penegakan hukum.

Minimnya prestasi HM Prasetyo dalam memimpin Kejaksaan Agung menurut Dio dapat dilihat dari kinerja aparat Kejaksaan Agung khususnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama satu tahun ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan MaPPI tahun 2014 ditemukan 199 penyimpangan dari 392 persidangan. Bentuk pelanggaran yang ditemukan ada yang sifatnya etik dan pelaksanaan hukum acara pidana. Misalnya, ketika persidangan dimulai, pihak terdakwa sama sekali tidak mendapat salinan surat dakwaan dan berkas perkaranya. Padahal, mengacu pasal 143 ayat (4) KUHAP mengatur penuntut umum wajib memberikan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan kepada tersangka atau penasehat hukumnya.

Hal itu diperburuk dengan absennya evaluasi kinerja aparat Kejaksaan Agung. Dio menilai evaluasi itu mestinya digunakan sebagai parameter untuk memutuskan promosi atau mutasi jabatan. Sayangnya selama setahun kepemimpinan HM Prasetyo sistem evaluasi kinerja itu belum dibentuk. Minimnya anggaran untuk menangani perkara juga memperburuk kinerja Kejaksaan Agung. Akibatnya, banyak jaksa mengeluh karena anggaran yang tersedia tidak cukup untuk menyelesaikan perkara.

"Harusnya Jaksa Agung bisa memperjuangkan kenaikan anggaran untuk menangani perkara. Tapi sampai saat ini hal itu belum dilakukan Jaksa Agung, HM Prasetyo," kata Dio dalam jumpa pers di kantor YLBHI di Jakarta, Rabu (18/11).

Peneliti ICW, Lalola Easter, menilai kinerja Kejaksaan Agung di bawah Prasetyo dalam pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi sangat tidak memuaskan. Sampai sekarang Kejaksaan Agung belum melakukan eksekusi terhadap aset Yayasan Supersemar sebesar Rp4,4 triliun. Begitu pula dengan eksekusi uang pengganti dalam perkara korupsi sebesar Rp11 triliun.

Kemudian, dikatakan Lalola, kerja Satgasus Tipikor yang dibentuk Kejaksaan Agung untuk menangani perkara korupsi tidak maksimal. Sayangnya dari berbagai kasus yang ditangani tidak ada satu pun menyangkut perkara besar. Apalagi kasus korupsi kelas kakap yang di SP3 lalu dibuka kembali oleh Kejaksaan. Beberapa perkara yang diklaim akan diselesaikan oleh tim Kejaksaan diantaranya korupsi UPS DKI Jakarta dan dana Bansos provinsi Sumatera Utara, tapi sampai sekarang perkara itu belum tuntas.

Bahkan tahun 2015 Kejaksaan tercatat menghentikan perkara korupsi besar seperti pengadaan 5 unit mobil pemadam kebakaran di PT Angkasa Pura senilai Rp63 miliar dan kepemilikan 'rekening gendut' 10 kepala daerah berdasarkan temuan PPATK akhir 2014 lalu.

Proses reformasi birokrasi di Kejaksaan Agung juga mandek. Mengacu Inpres No. 7 Tahun 2015 dan program Nawacita Lalola menjelaskan Kejaksaan Agung diamanatkan untuk melakukan lelang jabatan strategis pada lembaga penegak hukum dan pembentukan regulasi terkait penataan aparat penegak hukum. Namun sampai sekarang mekanisme lelang jabatan itu belum dilakukan Kejaksaan Agung. Alih-alih menggelar lelang jabatan, Kejaksaan Agung malah melakukan rotasi jabatan secara penunjukan langsung.

Selain itu Kejaksaan Agung menarik jaksa Yudi Kristiana secara mendadak ketika menangani perkara yang melibatkan mantan Sekjen partai Nasdem, Patrice Rio Capella. Lalola mencatat masa kerja Yudi harusnya berakhir pada 2019. "Hal ini tidak bisa dianggap biasa, penarikan dan promosi jabatan yang diberikan kepada Yudi Kristiana dilakukan saat dia sedang menangani perkara suap yang melibatkan gubernur non aktif Sumatera Utara (Gatot Puji) dan politisi partai Nasdem (Patrice Rio Capella)," tegasnya.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Feri Kusuma, mencatat tidak ada kemajuan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu oleh Kejaksaan Agung. Padahal Komnas HAM sudah lama menyerahkan 7 berkas hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada Kejaksaan Agung.

Feri mengingatkan dalam Nawacita, Presiden Joko Widodo ingin kasus pelanggaran HAM berat diselesaikan secara berkeadilan dan menghapus impunitas. Presiden Jokowi juga menyebut pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak selesai akan terus jadi beban bangsa Indonesia. Kalau Jaksa Agung tak bisa menjalankan Nawacita itu, Presiden sebaiknya mencari pengganti yang lebih layak.

Indonesia, menurut Koalisi, membutuhkan Jaksa Agung yang punya rekam jejak bersih dan bebas dari kepentingan politik, berkompeten dan punya visi dalam pemberantasan korupsi; mampu memperbaiki sistem SDM Kejaksaan, dan dapat memperbaiki sistem anggaran penanganan perkara di Kejaksaan serta berkomitmen menegakan hukum dan HAM.
Tags:

Berita Terkait