Mengupas Kesulitan Penerbitan Obligasi Daerah
Fokus

Mengupas Kesulitan Penerbitan Obligasi Daerah

OJK punya peran sangat vital atas keberhasilan penerbitan obligasi daerah oleh pemda. Lewat MoU, diharapkan setiap pihak (stakeholder) punya pandangan yang sama tentang pentingnya obligasi daerah bagi pembangunan di daerah.

Oleh:
NANDO NARENDRA
Bacaan 2 Menit
OJK. Foto: SGP
OJK. Foto: SGP
Hingga penghujung tahun 2015, belum ada satupun pemerintah daerah (pemda) yang berhasil menerbitkan obligasi daerah. Padahal tahun 2015 ini direncanakan menjadi tahun pertama penerbitan obligasi daerah bagi pemda. Sampai-sampai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepanjang tahun 2015 pun terus berupaya untuk mendorong penerbitan obligasi daerah.

Sejumlah upaya telah dilakukan oleh OJK. Bahkan, sejak awal tahun 2015, OJK sudah concern memacu pertumbuhan perekonomian khususnya di sektor pasar modal. Saat itu, OJK mengarahkan industri jasa keuangan pada tiga hal, yang mana salah satunya adalah dalam hal mendukung pembangunan berkelanjutan serta meningkatkan akses keuangan dan kemandirian finansial masyarakat dalam mendukung pemerataan pembangunan.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad mengatakan bahwa dalam rangka mendorong penerbitan obligasi daerah, OJK mengambil peran dengan merevitalisasi peran Bank Pembangunan Daerah (BPD) serta mengidentifikasi potensi-potensi penerbitan obligasi daerah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di daerah.

“Untuk mengoptimalkan peran sektor jasa keuangan dalam meningkatkan perekonomian nasional, OJK mengharapkan pelaku jasa keuangan memanfaatkan momentum reformasi struktural yang sudah dimulai di Pemerintahan Presiden Joko Widodo,” kata Muliaman sebagaimana dikutip dalam siaran pers, Jakarta (16/1).

Selain itu, pada pertengahan tahun, tepatnya Juli 2015, OJK juga mengeluarkan beberapa kebijakan. Dari total 35 kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka mendorong stimulus perekonomian, ada satu kebijakan OJK yang berkaitan dengan upaya mendorong penerbitan obligasi daerah, yakni pengembangan obligasi daerah dalam rangka mendukung program pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur.

Untuk diketahui, obligasi daerah merupakan salah satu sumber pinjaman daerah jangka menengah dan/atau jangka panjang. Yang membedakannya dengan obligasi biasa (bond), yakni obligasi daerah diterbitkan untuk tujuan mendapatkan modal yang diterbitkan oleh pemda melalui penawaran umum (Initial Public Offering/IPO). Dari sisi regulasi, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan peluang kepada pemda untuk menggali dana (fund raising) lewat obligasi daerah.

Banyak ‘Kamar’
Proses persiapan penerbitan obligasi daerah, pada prinsipnya dibagi dalam dua proses besar, yakni proses di pemda dan Kementerian Keuangan. Pada tahap proses di pemda, usulan rencana penerbitan obligasi daerah harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan prinsip dari komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang menangani bidang keuangan.

Setelah disetujui DPRD, selanjutnya Gubernur, Bupati, atau Wali Kota menyampaikan surat usulan rencana penerbitan obligasi daerah ke Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Hasil akhirnya, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana penerbitan obligasi daearah.

Berkaitan dengan hal itu, beberapa waktu belakangan, langkah OJK kian intensif dalam upaya mendorong penerbitan obligasi daerah. Sekitar Oktober 2015 lalu, OJK telah melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak, antara lain Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), serta sejumlah Kepala Daerah.

“Koordinasi dengan pihak BPK dalam rangka membicarakan peran akuntan publik dari Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mana merupakan profesi penunjang di pasar modal. Dimana Akuntan Publik punya peran dalam melakukan studi kelayakan dan kemampuan keuangan dari pemda,” kata Muliaman, pada Oktober 2015.

Beberapa waktu setelah itu, selain pihak OJK, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro juga telah melonggarkan aturan persyaratan penerbitan obligasi daerah, salah satunya dengan menghapus persyaratan tentang studi kelayakan. Kelonggaran itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.07/2015 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah.

Selain dilonggarkan dalam hal studi kelayakan, dalam aturan yang sama, yakni Pasal 9 ayat (2) huruf b yang mengatur tentang aturan mengenai penyertaan laporan penilaian studi kelayakan oleh penilai yang terdaftar di OJK juga dihapus. Namun, di sisi lain, peran serta kewenangan Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan justru diperkuat. Keduanya, diberi tugas untuk menilai secara administrasi atas dokumen rencana penerbitan obligasi daerah.

Prosedur Panjang
Jika dilihat, proses persiapan tersebut banyak melibatkan beberapa ‘kamar’. Sebagaimana diketahui, salah satu daerah, yakni Provinsi Jawa Barat juga ‘terganjal’ oleh DPRD ketika ingin memenuhi syarat persetujuan prinsip dari komisi di DPRD. Padahal, tahapan-tahapan serta syarat yang mesti dipenuhi pemda masih sangat panjang.

Belum lagi, pemda harus memenuhi sejumlah syarat sebelum diizinkan ‘bermain’ di pasar modal. Secara umum, penerbitan obligasi daerah di pasar modal menurut UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal harus melalui tahapan persiapan, penelaahan oleh OJK, periode bookbuilding, IPO atau penawaran umum, hingga proses penyelesaian (settlement) dan pencatatan (listing).

Seperti korporasi go public pada umumnya, pemda mesti melewati tahapan yang kurang lebih sama. Antara lain, penunjukan profesi penunjang pasar modal, seperti konsultan hukum, notaris, wali amanat, penjamin pelaksana emisi efek, dan lainnya. Yang menarik, bagaimana konsultan hukum melakukan legal due diligence (‘LDD’) terhadap pemda yang di dalamnya mencakup pemeriksaan status hukum pemda hingga memberikan legal opini dan pendataan atas perjanjian, perijinan, dan sebagainya.

‘LDD’ merupakan kegiatan menganalisa untuk memperoleh informasi soal status hukum atau penjelasan hukum terhadap dokumen yang diaudit atau diperiksa; memeriksa legalitas, memeriksa tingkat ketaatan suatu badan hukum, dan memberi pandangan hukum atau kepastian hukum dalam suatu kebijakan yang dilakukan perusahaan. Dalam suatu workshop, Partner Kantor Hukum Siahaan Irdamis Andarumi & Rekan (S.I.A.R), Laksmita Andarumi mengatakan bahwa proses LDD oleh konsultan hukum memerlukan waktu yang tidak sebentar. Paling tidak, kata Laksmita, proses dari awal hingga menghasilkan suatu legal opini minimal memakan waktu enam bulan kerja.

Tahapan lainnya, rencana penerbitan itu mesti ditelaah oleh OJK. OJK menelaah perjanjian-perjanjian, prospektus, laporan keuangan audit, legal audit dan legal opini dari konsultan hukum hingga laporan lainnya. Nantinya OJK mengirimkan tanggapan untuk dijawab oleh pemda. Kalau sesuai, maka akan dikeluarkan persetujuan OJK atas publikasi prospektus ringkas di Koran kurang lebih 30-40 hari.

Belum lagi, tahapan bookbuilding untuk pembentukan harga perdana. Ini bertujuan untuk menjajaki kekuatan pasar terhadap harga emisi baru. Pada tahap ini, dilakukan finalisasi dokumen oleh OJK. Kalau lengkap maka Ketua Dewan Komisioner OJK akan mengeluarkan pernyataan efektif dalam rangka penawaran umum.

Artinya, proses penerbitan obligasi daerah memasuki tahap penawaran umum dan pencatatan di pasar modal. Hingga yang terakhir, proses penyelesaian dan pencatatan meliputi pembayaran ke emiten, distribusi efek secara elektronik, pencatatan, penyerahan Laporan Penjatahan ke OJK serta audit penjatahan.

Kesiapan Daerah
Yang menjadi ‘penanggung jawab’ penerbitan obligasi daerah oleh pemda adalah Unit Pembantu Sekretaris Daerah. Unit ini bertanggung jawab dalam menyelenggarakan perumusan kebijakan umum, koordinasi, pembinaan dan pengendalian, fasilitasi, serta pengembangan kerjasama pada bidang perijinan dan penaman modal.

Pemda sepertinya masih terkendala terkait dengan audit laporan keuangan pemda oleh akuntan publik. OJK dan BPK sendiri belum sepakat mengenai hal itu. Sebab, nantinya hal itu berdampak kepada kesulitan dalam proses pengadaan lembaga profesi penunjang. Dimana, pemda mesti taat pada Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah dan Standar Biaya Belanja (SBB) Pemerintah Daerah.

Kendala teknis lainnya, adalah soal pengalaman dalam pengelolaan utang baik secara administrasi maupun organisasi di pemda. Dan yang tidak kalah penting adalah pemda juga harus membuat Peraturan Daerah yang isinya minimal memuat ketentuan tentang jumlah nominal obligasi daerah yang akan diterbitkan, penggunaan dana obligasi daerah dan tanggung jawab atas pembayaran pokok, bunga, dan biaya lainnya yang timbul sebagai akibat penerbitan obligasi daerah.

Sebagai contoh, belakangan Provinsi Jawa Barat digadang-gadang akan menjadi daerah pertama yang menerbitkan obligasi daerah. Namun, sebetulnya jauh sebelum itu, Pemprov DKI Jakarta sejak 2008 telah lebih dulu berinisiatif menerbitkan obligasi daerah. Meski inisiatif datang dari Menteri Keuangan, namun langkah Pemprov DKI layak diapresiasi.

Bahkan langkahnya ketika itu sudah sampai pada Financial Management Assesment (FMA) dan telah dilakukan pemeringkatan atau rating oleh Pefindo tahun 2012 dengan hasil idAA+. Selain itu, juga telah menyiapkan Unit Pengelola Keuangan atau Debt Management Unit untuk mengelola obligasi daerah dengan menunjuk underwriter, Konsultan hukum, dan profesi penunjang lainnya.

Jika dibandingkan, Pemprov Jawa Barat dan Pemprov DKI Jakarta sama-sama telah sampai pada tahap penilaian rating dan FMA oleh Pefindo. Namun, Pemprov Jawa Barat belum sampai pada underwiter dan penunjukan profesi penunjang pasar modal. Selain itu, rencana penerbitan obligasi daerah di Jawa Barat juga masih terganjal ‘restu’ DPRD.

Lewat ‘MoU’
OJK sebetulnya punya peran vital dalam ‘memuluskan’ penerbitan obligasi daerah oleh pemda. Salah satunya melalui penandatangan Memorandum of Understanding (‘MoU’) dengan para stakeholder dalam rangka penerbitan obligasi daerah. Sebagai contoh, OJK sempat mewacanakan ‘MoU’ dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Ketika Rapat Kerja Strategis OJK 2015, di Menara Merdeka, Desember 2014 lalu. Muliaman mengatakan bahwa wacana ‘MoU’ dengan DPD dalam rangka meminimalisir hambatan penerbitan obigasi daerah. Selain itu, OJK berharap DPD dapat membantu mensosialisasikan manfaat penerbitan obligasi daerah ke daerah-daearah.

Pola serupa sebetulnya bisa digunakan OJK untuk meng-approach pihak-pihak lain, seperti BPK, Kemenkeu, Kemendagri, dan pemda. Dengan dilakukan ‘MoU’, paling tidak pihak-pihak memiliki pemahaman dan pemaknaan yang sejalan terhadap upaya penerbitan obligasi daerah ini.

Langkah lainnya, OJK juga dapat memberdayakan enam Kantor Regional OJK (KROJK) dan 29 kantor OJK (KOJK) di daerah dalam rangka membantu sosialisasi tentang pentingnya obligasi daerah bagi pembangunan di daerah. KROJK dan KOJK di daerah berfungsi sebagai pusat informasi mengenai sektor jasa keuangan.

Sebab, pada prinsipnya, penerbitan obligasi daerah hanya diperuntukan untuk pembiayaan kegiatan investasi sektor publik. Dimana, pengasilan atau penerimaan itu akan dikembalikan lagi untuk sebesar-besarnya memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi domain pemda.
Tags:

Berita Terkait