Ada Penyelundupan Hukum dalam Aturan Jamsos ASN
Berita

Ada Penyelundupan Hukum dalam Aturan Jamsos ASN

Harmonisasi petaturan jaminan sosial untuk ASN mendesak dilakukan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ada Penyelundupan Hukum dalam Aturan Jamsos ASN
Hukumonline
Pasal 28 H ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan setiap orang berhak atas jaminan sosial. Ketentuan itu yang menjadi salah satu dasar diterbitkannya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Selama ini ada lima program jaminan sosial yang diselenggarakan yakni Jaminan Kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Kemudian BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kematian (JKM).

Sejak 1 Januari 2014, pengelolaan jaminan sosial (jamsos) pekerja pada penyelenggara negara seperti PNS, Polri dan TNI dialihkan ke BPJS Kesehatan. Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan mengamanatkan pemberi kerja penyelenggara negara wajib mendaftarkan pekerjanya pada program JKK, JHT, JP dan JKM secara bertahap ke BPJS Ketenagakerjaan. Penahapan itu dimulai paling lambat 1 Juli 2015 untuk program JKK dan JKM. Sementara untuk program JHT dan JP paling lambat selesai pada 2029.

Anggota DJSN, Ahmad Ansyori, menjelaskan program serupa yang diselenggarakan saat ini oleh PT Asabri dan PT Taspen seperti JHT dan JP harus dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Pengalihan itu paling lambat 2029. “Itu amanat UU BPJS,” katanya dalam seminar yang diselenggarakan di kantor BPHN Jakarta, Selasa (24/11).

Kemudian, 15 Januari 2014 Pemerintah mengundangkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengatur pengelompokan aparatur sipil negara (ASN) menjadi dua golongan yakni PNS dan pegawai pemerintah yang bekerja dengan perjanjian kerja (PPPK). UU ASN juga mengatur penyelenggaraan jaminan sosial untuk ASN mengacu pada SJSN. Merujuk ketentuan itu Ansyori berkesimpulan penyelenggaraan jamsos untuk ASN mengacu pada UU SJSN dan UU BPJS.

Pemerintah telah menerbitkan PP No. 70 Tahun 2015 tentang JKK dan JKM bagi ASN. Ansyori berpendapat peraturan itu mengatur apa saja jaminan sosial yang diperoleh PNS dan PPPK. Cuma, PP ini mengamanatkan penyelenggaraan jaminan sosial, khususnya program JKK dan JKM, untuk ASN bukan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan melainkan oleh PT Taspen. “Di situ terjadi disharmoni. Mengacu UU BPJS mestinya dikelola BPJS Ketenagakerjaan,” urainya.

Ansyori mengatakan itu sebagai bentuk penyelundupan hukum. Padahal penyelenggaraan jaminan sosial yang ada saat ini harus mengacu UU SJSN dan UU BPJS. Guna memperbaiki persoalan itu ia mengusulkan agar PP No. 70 Tahun 2015 itu direvisi agar sesuai dengan amanat Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan SJSN.

Walau Ansyori melihat manfaat JKK dan JKM yang diberikan dalam PP No. 70 Tahun 2015 cenderung lebih baik daripada yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan tapi yang penting apakah regulasi itu sudah sinergis atau belum dengan peraturan terkait lainnya. Seperti UU SJSN dan UU BPJS serta peraturan turunannya.

Asisten Deputi Kesejahteraan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Salman Sijabat, berpendapat tidak ada disharmoni antara UU SJSN dan UU ASN karena masing-masing peraturan itu punya tujuan yang sama yakni memberi kesejahteraan kepada pekerja baik PNS dan non PNS. Menurutnya, untuk menciptakan ASN yang profesional maka kesejahteraannya harus terjamin. Salah satunya bisa diwujudkan lewat jaminan sosial seperti JP.

Saat ini Pemerintah masih membahas  enam peraturan pelaksana UU ASN, antara lain RPP JP dan JHT untuk PNS. Sistem gaji untuk ASN harus dibenahi sehingga gaji yang digunakan untuk menghitung besaran manfaat JP bisa menunjang kesejahteraan ASN secara riil. Peningkatan kesejahteraan bagi ASN, khususnya PNS itu diperlukan dalam rangka meningkatkan profesionalisme.

Salman berharap badan penyelenggara jaminan sosial bagi ASN dilakukan oleh pemerintah atau kementerian/lembaga yang bersangkutan, tidak diserahkan kepada badan penyelenggara yang berdiri sendiri. Menurutnya, itu yang dilakukan dalam sistem jaminan sosial yang berlangsung di Amerika Serikat (AS). Lewat mekanisme itu ia yakni kesejahteraan ASN bakal meningkat karena iuran yang dibayar untuk program jaminan sosial tidak dipotong untuk biaya operasional badan penyelenggara. “Kalau mau PNS profesional maka mereka harus sejahtera,” tukasnya.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN, Pocut Eliza, melihat ada disharmonisasi dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial terutama yang menyangkut ASN. Oleh karenanya, ia menekankan penting dilakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait. “Evaluasi terhadap peraturan yang disharmonis bisa dilakukan. Bentuknya bisa perubahan atau pergantian terhadap peraturan tersebut,” paparnya.

Pocut mengatakan dalam beberapa kesempatan Presiden Joko Widodo dan Menkumham Yasona Laoly, menekankan egosektoral kementerian atau lembaga negara dalam membentuk peraturan harus dihilangkan. Egosektoral itu salah satu faktor yang menyebabkan munculnya peraturan yang disharmonis.
Tags: