Polri Gandeng Pakar Kaji Rekaman Freeport
Berita

Polri Gandeng Pakar Kaji Rekaman Freeport

Ruki menilai rekaman beda dengan penyadapan.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Kapolri Badrodin Haiti. Foto: RES
Kapolri Badrodin Haiti. Foto: RES
Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menyatakan pihaknya akan meminta tanggapan dari para pakar terkait transkrip rekaman percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto dengan petinggi PT Freeport yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden. Secara umum, ia menilai, tindakan merekam sah-sah saja.

"Saya sendiri ingatannya kan bisa setahun, dua tahun atau lima tahun sehingga saya sendiri bisa saja lupa dengan apa yang saya bicarakan, jadi saya harus merekam apa yang harus saya bicarakan, kan itu boleh," ujar Badrodin di Jakarta, Jumat (27/11).

Menurut Badrodin, sebuah rekaman itu tidak sama dengan penyadapan. "Tapi tidak tahu kalau menurut para pakar. Misalnya, kalau kita membicarakan sesuatu kepada orang tetapi tidak ada arsipnya, nah kalau lima tahun lagi ditanya akan lupa, di mana kita akan cari datanya?" katanya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki enggan berkomentar terkait transkrip rekaman percakapan antara Setya Novanto dengan petinggi Freeport. "Maaf saya tidak mau berkomentar mengenai kasusnya Setya Novanto," katanya.

Meski begitu, Ruki menyatakan bahwa harus bisa dibedakan terlebih dahulu antara penyadapan dan rekaman. Ia menyatakan, penyadapan bisa dilakukan oleh semua pihak yang memiliki kewenangan secara hukum. "Kalau merekam itu apa yang saya bicarakan sekarang disebutnya saya direkam, kalau penyadapan itu tidak ada satu orang pun yang tahu kalau ia disadap," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said melapor kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait dugaan adanya pencatutan nama Presiden dan Wapres. Presiden Joko Widodo sendiri telah mengajak semua pihak untuk menghormati proses di MKD dalam kasus ini.

Sementara itu, Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, DPR bisa membentuk panel gabungan dalam memeriksa Setya Novanto yang diduga melakukan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam perpanjangan kontrak Freeport Indonesia. Ia menilai, dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya Novanto masuk kategori pelanggaran etik berat dan bisa berdampak pada sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.

"Pelanggaran itu juga berdimensi pidana penipuan dan pemerasan. Bahkan potensial juga mengarah pada tindak pidana gratifikasi-korupsi," kata Hendardi.

Menurut Hendardi, untuk memeriksa pelanggaran dengan kategori berat ini, Peraturan DPR RI No 1/2014 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (Tatib DPR) mengharuskan pembentukan panel gabungan yang terdiri dari tiga orang anggota MKD dan empat orang unsur eksternal DPR yang kredibel.

Ketentuan waktu pembentukan panel juga diatur secara limitatif pembentukan panel paling lama 10 hari terhitung sejak MKD memutuskan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang bersifat berat terhadap anggota. Mengacu pada mandat legal sebagaimana dituangkan dalam Tata Tertib DPR itu, kata Hendardi, sudah semestinya setelah MKD memutuskan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya Novanto dan akan memeriksanya secara terbuka.

"Tokoh-tokoh yang berintegritas dapat direkrut untuk menyelamatkan kredibilitas dan integritas DPR," ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua MKD Junimart Girsang mengimbau pimpinan DPR agar tidak mengintervensi proses persidangan etik dengan memberikan komentar-komentar di media terkait penanganan perkara dugaan pelanggaran etik dari Setya Novanto. "Pimpinan DPR RI terus menyampaikan komentar-komentar di media yang isinya cenderung membela Ketua DPR RI. Komentar-komentar ini secara tidak langsung mengintervensi kerja MKD," tandasnya.
Tags:

Berita Terkait