Tarik Ulur Aturan Hukuman Mati dalam RUU KUHP
Berita

Tarik Ulur Aturan Hukuman Mati dalam RUU KUHP

Menjadikan hukuman mati sebagai pidana alternatif dinilai jalan tengah yang meragukan karena bakal menimbulkan persoalan baru.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Panja RUU KUHP, Arsul Sani. Foto: RES
Anggota Panja RUU KUHP, Arsul Sani. Foto: RES
Hukuman mati dalam hukum positif masih berlaku. Praktiknya, penerapan hukuman mati kerap menuai pro kontra. Tak saja  KUHP, revisi terhadap kitab hukum pidana itu pun menuai polemik. Sebagian kalangan fraksi  partai di DPR masih berpandangan hukuman mati masih layak diterapkan dalam sistem hukum pidana nasional khusus tindak pidana luar biasa.

Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP, Dossy Iskandar, mengatakan pemerintah beserta Panja belum masuk dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait dengan hukuman mati. Pasalnya pembahasan DIM hukuman mati dimungkinkan bakal menuai perdebatan alot.

Namun, melihat perkembangan penegakan hak asasi manusia, terdapat pihak yang meminta agar hukuman mati tidak masuk dalam RKUHP. Selain itu juga terdapat pihak moderat dengan menerapkan dan memberlakukan hukuman mati masuk dalam RUU KUHP menjadi pidana pokok. “Tetapi kekhususan, jadi diancamkan sebagai alternatif terhadap pidana tertentu,” ujarnya kepada hukumonline di Gedung DPR, Rabu (2/12).

Anggota Komisi III itu mengakui masuknya pasal hukuman mati atas usul pemerintah. Namun dimungkinkan bakal terjadi perdebatan pemikiran konsep hukuman mati. Menurutnya. terdapat kubu yang menginginkan ketentuan pidana mati dicantumkan dalam RUU KUHP. Sementara kubu lain menginginkan pidana mati dikeluarkan dari RUU KUHP.

“Tapi kan tidak bisa, karena untuk mengakomodir pluralitas kehidupan kebangsaan kita. Pidana mati itu tetap penting,” ujarnya.

Politisi Partai Hanura itu mengatakan, fraksinya menyetujui aturan hukuman mati masuk dalam RKUHP untuk kemudian diterapkan dalam sistem hukum pidana nasional. Menurutnya meski penerapannya dimungkinkan alternatif, tetap pidana mati diperlukan terhadap tindak pidana kejahatan berat. Seperti pelanggaran ham berat, teroris dan narkotika.

“Yang pasti akan terlihat perdebatan panjang seperti hukum adat. Kita memang menerapkan prinsip keadilan dan kehati-hatian. Di satu sisi menyangkut nasib orang, lain sisi kita melindungi negara dan rakyatnya jangan sampai tidak setimpal,” katanya.

Anggota Panja Arsul Sani enggan berkomentar terkait  hukuman mati dalam RUU KUHP. Pasalnya antara Panja dan pemerintah belum melakukan pembahasan DIM terkait aturan hukuman mati. Namun begitu, kata Arsul, hukuman mati berdasarkan konsep RKUHP terdapat beberapa fraksi yang memberikan catatan.

Misalnya, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Demokrat. Menurut Arsul, catatan kristis kedua fraksi itu  terkait dengan hak asasi manusia. Bagi sebagian pegiat hak asasi manusia, hukuman mati sudah tidak layak diterapkan dalam sistem hukum pidana.

“Catatannya terkait dengan HAM, karena dianggap bertentangan dengan HAM jadi diharapkan dirumuskan dengan hati-hati sekali,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Supriyadi Widodo Eddyono, berpandangan mayoritas fraksi di Komisi III memang sudah sepakat dengan aturan hukuman mati sebagai pidana alternatif masuk dalam RUU KUHP. Dikatakan Supri, jika pemerintah menilai menjadikan hukuman mati sebagai pidana alternatif menjadi jalan tengah, justru menjadi meragukan. 

“Soalnya tidak sesuai dengan semangat reformasi KUHP terkait dengan reformasi pemidanaanya,” ujarnya.

Terlebih, kata Supri, jalan tengah yang ditempuh pemerintah dan DPR itu justru bakal menimbulkan persoalan baru. Misalnya, daftar tunggu selama kurun waktu sepuluh tahun yang terbilang lama. “Jalan tengah ini menimbulkan masalah turunan, juga soal mekanismenya yang problematik,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait