Mengenang Profesor Herman Sihombing, Orang Batak di Ranah Minang
Berita

Mengenang Profesor Herman Sihombing, Orang Batak di Ranah Minang

Di kalangan akademisi hukum tata negara, khususnya yang menggeluti bidang hukum tata negara darurat, nama Prof. Mr. Herman Sihombing sering disebut.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Prof. Herman Sihombing. Foto: FH UNAND
Prof. Herman Sihombing. Foto: FH UNAND
Pria Batak kelahiran 22 Agustus 1922 itu lebih banyak lagi dikenal di Sumatera Barat, persisnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang. Nama Prof. Herman Sihombing terpatri khusus di kalangan alumni seperti terlihat pada peringatan 60 tahun Fakultas Hukum Unand, 17 Agustus 2011 silam. Nama Herman Sihombing disebut bersama-sama dua alumnus lain, M. Zen Djamil, dan Prof. Syahmunir.

Saat berlangsung acara Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-2 di Padang, September lalu, hukumonline berkesempatan mengenal lebih jauh  sosok salah seorang akademisi yang pernah mengenyam profesi guru SD, guru SMA dan staf bidang adat Pemkot Padang ini. Berbekal informasi dari kalangan akademisi dan tulisan-tulisan yang relevan, sosok dan pemikiran Prof. Herman bisa lebih dikenal.

Herman memang bukan saja sebagai akademisi yang disegani di kampusnya. Ia termasuk alumnus awal (ketiga) dari Unand, meraih gelar Meester in de rechten (Mr) pada 1959. Lulusan pertama dari FH Unand adalah Mr Rudito Rahmad. Karena itu, menelusuri kiprah Mr. Herman Sihombing tak ubahnya menelusuri masa-masa awal kampus FH Unand.

Kampus hukum ini sebelumnya bernama Balai Perguruan Tinggi Hukum Pancasila (BPTHP) yang didirikan pada 17 Agustus 1951 oleh Yayasan Sriwijaya. Kemudian BPTHP bersama empat fakultas lain melebur menjadi Universitas Andalas sejak diresmikan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 13 September 1956. Kampusnya berpusat di Bukittinggi.

Mantan Dekan FH Unand Yuliandri menyebut Herman Sihombing salah satu tokoh yang turut menyumbang kontribusi pemikiran positif dalam dunia hukum di Indonesia. Meskipun berdarah Batak dan beragama Protestan, Herman bukan saja bisa menempatkan dirinya di tengah masyarakat Minangkabau yang mayoritas Muslim, tetapi juga berhasil mendalami hukum adat Minang. Pendapat-pendapatnya banyak didengar kalau bicara tentang hukum adat Minangkabau.

Dalam suatu seminar hukum adat Minang di Padang, Juli 1968, Herman didaulat menjadi salah seorang pembicara. Ia memang aktif di Lembaga Pendidikan Hukum Universitas Andalas. Tak mengherankan kalau Herman mengenal dekat masalah-masalah waris di sana dengan konsep-konsep dan ‘fatwa’-nya: baruang-ruang bak durian, banabu-nabu bak cubadak, bak sajarieh bak satampo, bak sadapo, bak saheto, bak sajangka. Kajiannya antara lain bisa dibaca lewat makalah ‘Pembinaan Hukum Waris dan Hukum Tanah Minangkabau’.

“Dia pakar hukum tata negara beragama Kristen Protestan, tetapi dia pakar bidang kajian hukum adat, khususnya adat Minangkabau,” kata Yuliandri kepada hukumonline di Kampus Unand, Padang, Sumatera Barat, Sabtu (12/9) lalu.

Seperti dikutip dari makalah dosen Hukum Tata Negara Unand, Ilhamdi Taufik, berjudul, “Mengenang Pak Hombing Pembimbing Saya”, Prof Sihombing merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) pertama yang dimiliki Unand. Salah satu warisan akademis yang ditinggalkan Herman Sihombing adalah buku Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia. Buku ini diterbitkan PT Djambatan beberapa bulan sebelum Herman wafat pada September 1996 dalam usia 74 tahun.

Warisan lain yang bisa ditelusuri adalah tulisannya Beberapa Pokok Pikiran dalam Pembaharuan Hukum Nasional  (1978). Bersama Mahyudin Salim, Herman membukukan ‘Putusan Adat Minangkabau dalam Putusan Pengadilan Negeri di Sumatera Barat’. Juga beberapa anotasi putusan pengadilan yang berbau hukum adat, dan Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Nagari (Desa) di Sumatera Barat yang dihimpun bersama Sjamsulbahri.

Ilhamdi juga menguraikan beberapa kajian Prof. Hrman Sihombing menyangkut struktur kelembagaan termasuk sistem kekeluargaan Nagari di Sumatera Barat malah menjadi rujukan orang-orang Minangkabau sendiri. “Naskah-naskah penelitian dan tulisannya itu masih tersebar dimana-mana,” kata dia.

Dibanding dosen dan guru besar di era 1970-an, kiprah Prof Herman Sihombing dapat dikatakan cukup membanggakan di tingkat nasional. Beberapa bahan seminar, simposium, dan kegiatan ilmiah, terutama di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), nama beliau sering tercatat sebagai pemakalah dan peserta aktif menyumbangkan pemikirannya. “Dia sering diundang BPHN sekaligus tenaga ahli tetap di BPHN khusus bidang hukum adat,” kenang Yuliandri yang pernah menjadi mahasiswanya di era 1980-an.

Dalam makalahnya, Ilhamdi menuturkan Pak Hombing menjadi mahasiswa hukum pada 1951 ketika masih bernama BPTHP. Pada 1959, beliau meraih gelar Meester in de Rechten terdaftar alumni nomor urut 3. Di tahun yang sama, diamengawali kariernya menjadi dosen di almamaternya untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Hukum Tata Negara, Filsafat Pancasila, Filsafat Hukum hingga diangkat menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara pada 1976 saat berusia 54 tahun.

“Beliau pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan I tahun 1967, Pembantu Dekan III 1962, Sekretaris Fakultas 1984 dan Ketua Jurusan HTN 1984,” sebutnya dalam makalahnya yang dipaparkan saat Peringatan 60 tahun FH Unand di Kampus Pancasila, Padang, pada 17 Agustus 2011 lalu.

Sebelum purna tugas sebagai guru besar tahun 1987, beliau menjadi promotor JCT Simorangkir meraih gelar doktor ilmu hukum yang sidang promosinya dilaksanakan Kampus Pancasila pada 26 November 1983. JCT Simorangkir ini juga dikenal ahli hukum yang dikenal aktif menulis buku. Salah satu bukunya, berjudul Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara, terbitan PT Gunung Agung (Jakarta, 1984).

Advokat
Sebagai bekas mahasiwanya di era 1975-1980-an, Ilhamdi mengaku sangat berkesan terhadap sosok Pak Hombing yang memiliki keunggulan mengajar dan mudah dipahami mahasiswa/i-nya. “Cara penyajian, ditopang suara bariton, berat, serak dan diiringi gerakan tangan menekankan sesuatu yang penting, membuat mahasiswa respek kepada beliau. Penguasaan kelas beliau tidak perlu diragukan lagi, karena umumnya mahasiswa tacingangak dibuatnya,” kenangnya.

Tak hanya mahir mengajar, Hombing juga dikenal seorang Advokat yang memiliki kecakapan praktik litigasi sebagai penasehat hukum. Pengalaman berpraktik litigasi punya nilai tersendiri saat beliau memberi kuliah, sehingga doktrin law in book dan law in action bukan barang baru. ”Kemampuan legal skill seharusnya dimiliki setiap sarjana hukum, begitu pesan yang bisa ditangkap,” ujar Ilhamdi.

Herman Sihombing memiliki Kantor Advokat/Pengacara yang tetap dijalankan hingga beliau pensiun. Beberapa alumni FH Unand sempat menjadi asisten dan ikut terjun berpraktik litigasi ke pengadilan menimba pengalaman. Seorang asisten pernah menceritakan pengalamannya mendampingi Herman beracara di sebuah pengadilan. “Dalam satu malam Prof Herman Sihombing berhasil membuat sebuah gugatan, yang tadinya dikerjakan hampir dua atau tiga minggu oleh asistennya tidak selesai,” tuturnya mengutip cerita sang asisten, seperti tertuang dalam makalah Ilhamdi.

Dalam pengamatan sang asisten, saat bersidang, Herman tampil sangat meyakinkan, terutama ketika mengeluarkan pernyataan dan berargumentasi menyerang pihak lawan secara spontan. Seolah-olah pemikiran yang dilontarkan sudah lama disiapkan. Pola seperti itu membuat pertahanan pihak lawan menjadi ‘oleng’.

“Predikat first class lawyer layak disandangnya, beliau bertitik tolak sebuah hipotesa, bahwa berperkara bagaimana sebuah proses meyakinkan hakim versi kita. Saya termasuk beruntung mengambil manfaat dari apa yang beliau lakukan,” kesannya.
Tags: