Ini Potensi Penyelewengan Incumbent dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak
Berita

Ini Potensi Penyelewengan Incumbent dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak

Penggunaan dana bansos, kucuran dana desa hingga melalui pemberian izin.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Diskusi
Diskusi "Pilkada Serentak dan Perilaku Koruptif Kepala Daerah" di Jakarta, Senin (7/12). Foto: NNP
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak putaran pertama yang di gelar lusa, 9 Desember 2015 mendatang dikhawatirkan rawan penyelewengan. Kekhawatiran itu berangkat dari banyaknya praktik penyelewengan dalam pelaksanaan Pilkada pada beberapa waktu belakangan.
Koordinator Divisi Jaringan ICW, Abdullah Dahlan, menyebutkan, bahwa sejak tahun 2010 berdasarkan catatan ICW, tren penyelewengan yang dilakukan oleh calon kepala daerah masih terkait dengan penyelewengan terhadap dana bantuan sosial (bansos). “Penelitian ICW tahun 2010, tren penyalahgunaan ada pada dana Bansos yang menjadi modal politik,” katanya dalam suatu diskusi di Jakarta, Senin (7/12).

Menurutnya, penyalahgunaan dana bansos itu justru dilakukan oleh pasangan calon incumbent atau petahana yang kembali maju dalam pemilihan kepala daerah. Menurutnya, calon pasangan incumbent punya akses yang sangat luas dan memang menjadi kewenangannya untuk memutuskan penggunaan dana tersebut.

Selain itu, Dahlan juga melihat bahwa penyalahgunaan dana bansos tersebut di satu sisi sangat menguntungkan pasangan calon incumbent. Sebab, dana bansos adalah program populis yang bisa menjadi ‘alat’ bagi pasangan calon tersebut dalam membangun citra terhadap masyarakat yang menjadi konstituennya. “Ruang bansos rawan dibajak oleh calon kepala daerah,” sambungnya.

Selain penyalahgunaan dana bansos, Dahlan juga melihat bahwa pasangan calon incumbent juga diuntungkan lewat kucuran dana desa yang telah cair sebanyak tiga kali pada April, Juni, dan Oktober 2015 kemarin. Ia khawatir kucuran dana desa itu disalahgunakan oleh pasangan calon sebagai ‘modal politik’ untuk memuluskan jalannya untuk terpilih kembali.

Sebagai contoh, pasangan calon incumbent melakukan kampanye terselubung dengan memanfaatkan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Misalnya, pembangunan infrastruktur daerah seperti pembangunan jalan yang dilaksanakan menjelang penyelenggaraan Pilkada Serentak. 

Sumber lain yang digunakan sebagai modal politik, lanjut Dahlan, adalah praktik pemberian izin yang dilakukan oleh pasangan calon incumbent. Ia menilai, sumber dana melalui perizinan ini banyak terjadi di detik-detik menjelang pelaksanaan Pilkada. “Sumber lainnya, banyak keluar izin jelang Pilkada,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil melihat, banyak terjadi penyelewengan dalam proses penyelenggaraan Pilkada Serentak lantaran sistemnya sendiri. Misalnya, dalam hal pencalonan. Proses pencalonan ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal itu berdampak terhadap pasangan calon tersebut ketika telah terpilih.

Menurut Fadli, ketika dana tersebut merupakan dana pribadi maka pasangan calon kepala daerah akan mencari cara untuk mengembalikan biaya tersebut. “Biaya pelaksanaan kampanye yang sangat besar juga beri ruang Kepala Daerah untuk mencari uang banyak dalam proses pencalonan Kepala Daerah,” katanya.

Direktur Eksekutif Legality, Sexio Nur Sidqi, mengatakan, jika proses penyelenggaraan Pilkada Serentak banyak terjadi penyelewengan, dikhawatirkan dalam rentan waktu kepala daerah itu menjabat akan rentan terkena kasus akibat dalam proses pemilihannya dilakukan secara tidak benar.

Hal itu, lanjut Sexio, akan merugikan masyarakatnya sendiri. Ketika kepala daerah menjadi ‘pasien’ penegak hukum, baik itu Kejaksaan atau KPK, maka di daerah tersebut terjadi vakum kekuasaan yang mengakibatkan kesejahteraan daerah menjadi terabaikan. Menurutnya, jika hanya dipimpin oleh Pelaksana Tugas (Plt), tugas serta wewenang yang dimiliki Plt sangat terbatas terutama dalam hal mengeluarkan kebijakan.

“Saya khawatir kepala daerah rentan terhadap penegak hukum. Selain itu, ketika Plt yang memimpin, dia terbatas dalam membuat kebijakan. Sehingga daerah menjadi terabaikan dan biaya Pilkada yang mahal menjadi sia-sia,” ujar Sexio.

Jalan Keluar
ICW menilai, permasalahan penyelewengan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak sumbernya berasal dari regulasi yang tidak mengakomodir semua aspek. Menurut Dahlan, paket undang-undang tentang pemilihan umum tidak bisa menjawab ketika ada konflik atau sengketa yang muncul selama proses penyelengaraan Pilkada Serentak.

“ICW kritik regulasi yang ada misalnya belum atur soal dana kampanye secara tegas,” sebutnya.

Dahlan mengatakan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) paling tidak bisa bentuk Peraturan Menteri (Permen) yang atur soal pembatasan penggunaan dana bansos yang punya potensi besar digunakan oleh pasangan calon incumbent yang kembali maju dalam pemilihan. Permen itu, paling tidak mengatur tentang pengetatan mata anggaran untuk dana bansos.

“Mendagri bisa tutup mata anggaran untuk lebih ketat mengatur soal dana bansos. Dana bansos terbukti paling banyak kasusnya,” katanya.

Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua juga sepakat bahwa untuk mengatasi permasalahan ini perlu dilakukan revisi terhadap paket undang-undang terkait dengan pemilihan umum. Menurutnya, ke depan revisi aturan yang ada perlu fokus pada tiga aspek utama, yakni tentang persyaratan calon, tentang persyaratan pengusung calon, dan juga tentang proses pelaksanaan pemilihan.

“Kalau undang-undang tidak diubah maka tidak akan berubah. Persyaratan tersebut mesti jadi fokus revisi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait