Soal Virtual Office, PTSP Jakarta Tunggu “Sinyal” Kemendag
Berita

Soal Virtual Office, PTSP Jakarta Tunggu “Sinyal” Kemendag

Alasannya karena regulasi mengenai virtual office berada di Kemendag, sedangkan PTSP hanya sebagai operator saja.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Forum Dialog Himpi terkait polemik regulasi virtual office, Kamis (10/12). Foto: Easybiz
Forum Dialog Himpi terkait polemik regulasi virtual office, Kamis (10/12). Foto: Easybiz
Munculnya Surat Edaran (SE) Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Jakarta Nomor. 41/SE/2015 tentang Surat Keterangan Domisili Badan Usaha untuk Badan Usaha yang Berkantor Virtual (virtual office) dan Izin Lanjutannya, terus menuai kecaman. Alasannya, karena SE itu menyebutkan bahwa surat keterangan domisili badan usaha yang berkantor virtual dapat diterbitkan dengan ketentuan penandatangan dilakukan paling lama sampai 31 Desember 2015.

Terkait hal ini, PTSP DKI Jakarta pun ikut angkat bicara. Perwakilan Badan PTSP DKI Jakarta, Ahmad Ghifari, mengatakan, pihaknya tengah menunggu balasan surat dari Direktorat Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Menurutnya, Kemendag merupakan pihak yang menjadi regulator terkait virtual office ini.

Ia menuturkan, beberapa waktu lalu, PTSP Jakarta pernah membicarakan virtual office dengan Kemendag. Saat itu, Kemendag menilai bahwa virtual office bukanlah sebuah kantor sesuai peraturan menteri perdagangan (Permendag). Atas dasar itu, PTSP DKI Jakarta pun menyurati Kemendag untuk meminta penjelasan secara resmi mengenai virtual office.

Ghifari berharap, surat tersebut segera dibalas sehingga bisa memberikan kepastian bagi pelaku usaha yang menerapkan virtual office. “Kita tidak mau menghambat, kita ingin izin yang kita berikan itu bisa menolong. Makanya kita menunggu kementerian yang kita surati,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (10/12).

Mengenai deadline 31 Desember 2015 dalam SE tersebut, lanjut Ghifari, merupakan waktu “sementara” sebelum ada kepastian dari Kemendag selaku regulator. Posisi PTSP sama halnya dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang regulatornya adalah Dinas Penataan Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Kita ini hanya operator,” katanya.

Ia tak menampik bahwa belum ada regulasi yang menjelaskan secara detail mengenai virtual office. Meski begitu, ia tidak mau sembarangan memberikan izin sebelum ada kepastian dari regulator. Alasannya karena ada sanksi yang membayangi PTSP jika izin diberikan tak sesuai dengan ketentuan.

Di tempat yang sama, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M Sanusi, mengatakan, karena belum ada regulasi yang mengatur mengenai virtual office, maka sebaiknya izin terus diberikan. Menurutnya, PTSP hanya memberikan izin sesuai dengan yang diatur dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.

Misalnya, lanjut Sanusi, jika ada yang mengajukan izin di zonasi sesuai untuk usaha atau kantor (berwarna ungu), wajib diberikan. Sebaliknya, jika pengajuannya berada di zonasi berwarna kuning atau rumah tinggal, tidak boleh diberikan. Namun, terkait virtual office sendiri belum ada aturan yang detail mengaturnya. “Berarti itu wajib diberikan izin. Selama tidak ada aturan maka tidak melanggar,” ujarnya.

Menurutnya, Jakarta merupakan kota yang menarik sehingga memiliki fungsi kota yang paling banyak. Atas dasar itu, perencanaan terhadap Kota Jakarta juga harus matang. Bahkan, pengambil kebijakan juga harus bisa melihat perkembangan yang cepat terjadi. Ditambah lagi, virtual office merupakan bahasa baru yang belum ada pengaturannya.

Ketua Bidang Ekonomi Kreatif Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Yaser Palito, mengatakan, banyak pelaku usaha yang baru mulai terbantu dengan adanya virtual office. Namun, terbitnya SE Kepala Badan PTSP Jakarta itu berpotensi mematikan pelaku usaha startup tersebut.

“Ini langkah mundur dari Pemda, jangan cepat-cepat realisasikan aturan ini bisa mematikan usaha kecil menengah,” katanya.

Hal serupa juga diutarakan Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif, Hari Sungkari. Menurutnya, bisnis startup ke depannya berpotensi besar. Untuk itu, perlu dukungan dari para regulator. “Kalau dikasih peraturan (yang menghambat, red) bisa mengubur industri kreatif Indonesia,” katanya.

Deputi Bidang Pengkajian Kementerian Koperasi dan UKM, Meliadi Sembiring, siap mendukung kemajuan industri kreatif, startup maupun UKM di Indonesia. Bila perlu, pihaknya siap ikut mengkaji persoalan ini sehingga jumlah wirausaha di Indonesia semakin bertambah. “Tolong diberitahukan mana posisi yang bisa kita lakukan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait