Jeli Memilah Entertaint Sebagai Gratifikasi
Berita

Jeli Memilah Entertaint Sebagai Gratifikasi

Perlu membedakan antara gratifikasi dalam rangka silaturahmi dengan gratifikasi yang jadi roots of corruption.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Plt Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki. Foto: RES
Plt Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki. Foto: RES
Menjamu atau dijamu seolah menjadi hal ‘lumrah’ dilakukan di lingkungan lembaga atau institusi pemerintah. Namun, Ketua KPK Sementara Taufiequrachman Ruki mengatakan perlu dibedakan antara gratifikasi yang merupakan bagian dari ‘silaturahmi’ dengan gratifikasi dalam rangka ‘jabatan’ seseorang.

Hal itu diutarakannya saat membuka acara Forum Dialog Nasional Manajemen Pengendalian Gratifikasi: “Berbeda untuk Berubah” yang diselenggarakan oleh KPK, Kamis (10/12) di Gedung Sasana Budaya Ganesha ITB Bandung.

Ruki menambahkan bahwa hingga saat ini masih banyak orang yang selalu mempermasalahkan gratifikasi. Menurutnya hal itu wajar, lantaran perbedaan antara gratifikasi dalam rangka ‘silaturahmi’ dengan gratifikasi dalam rangka ‘jabatan’ sulit sekali dibedakan. Terlebih lagi, kata Ruki, perbedaan antara gratifikasi dengan suap juga sangat tipis. “Sebuah pemberian yang terkait dengan jabatan penerima, itulah gratifikasi. Kadang-kadang tidak terlalu beda antara gratifikasi dan suap,” kata Ruki, Kamis (10/12) di Bandung, Jawa Barat.

Ruki mencontohkan, misalnya ada seorang Menteri menerima amplop yang tidak terlalu tebal. Namun, isi amplop itu tidak kurang dari 10 ribu dollar Singapura. Menurut Ruki, hal itu jelas merupakan bentuk gratifikasi. Sebab, jika orang itu bukanlah seorang Menteri, dia menilai tidak akan ada yang memberi uang senilai jumlah itu. “Apakah yang bersangkutan kalau tidak jadi Menteri ada yang kasih? Nggak bakal. Itulah gratifikasi atau bahkan itu suap,” ujarnya.

Motif lainnya, lanjut Ruki bisa berupa ajakan makan malam ke restoran mahal. Namun, ajakan itu biasanya dilakukan di luar atau terlepas dari kegiatan utama yang sedang dilakukan. Sebagai contoh, kata Ruki, ketika tim dari KPK melakukan audit ke salah satu lembaga atau institusi misalnya. Institusi yang dikunjungi memberi jamuan makanan dan minuman kepada tim KPK. Nah, jamuan makan ini bukanlah gratifikasi. Sebab, jamuan itu dilakukan di kantor lembaga atau institusi secara bersama-sama. “Di sini kadang perlu common sense, perlunya hati nurani untuk menilai. Apakah sebuah pemberian itu memiliki potensi-potensi gratfikasi atau bukan,” ujarnya

Berbeda halnya ketika lembaga itu kemudian memberikan ‘jamuan’ atau entertain yang terlihat ‘tidak umum’ atau tidak sewajarnya. Ajakan untuk mendapatkan entertain berlebihan mesti ditolak tegas-tegas. Sebab, kata Ruki, hal itu dikhawatirkan akan menghasilkan konflik kepentingan. “Tapi kalau sudah berhubungan dengan jabatan, mari kita berusaha untuk menolak. Say No! itu bagian dari entertaint. Entertaint itu gratifikasi,” paparnya.

Sebelumnya, tiga pejabat Negara, yakni Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga berbagi kisah sukses dalam kendalikan gratifikasi di institusinya masing-masing.

Sudirman dinobatkan sebagai pegawan negeri/ penyelenggara Negara yang paling besar melaporkan gratifikasi. Nilainya mencapai Rp3.966.313.978 berupa berlian 5,5 karat, jam tangan, gelang, anting, dan manset. Gandjar mengangkat Jawa Tengah sebagai lembaga yang paling banyak melaporkan gratifikasi ke KPK sebanyak 31 laporan.

Berdasarkan data KPK, per 31 Oktober 2015, total jumlah keseluruhan pelaporan gratifikasi sebanyak 1.212 laporan. Antara lain, 324 laporan berstatus milik Negara, 46 laporan milik penerima, 45 laporan sebagian milik negara, 299 laporan masih dalam proses, dan 498 buah non SK.

Untuk diketahui, Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Jika dicermati Pasal diatas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat: “pemberian dalam arti luas”. Sementara kalimat setelah itu, merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari Pasal itu, bisa dilihat bahwa pengertian gratifikasi memiliki makna yang netral. Namun apabila Penjelasan itu dihubungkan dengan Pasal 12B, maka tidak semua gratifikasi bertentangan dengan hukum melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12B saja.

Jangan ‘Kaku’
Terlepas dari hal itu, Ruki berpesan bahwa menanggapi atau memaknai gratifikasi jangan dilakukan secara ‘kaku’. Terutama, ketika pemberian itu secara akal sehat tidak terkait dengan jabatan. Memang, UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 strict mengatur bentuk-bentuk gratifikasi yang dilarang. Akan tetapi, Ruki menegaskan jangan sampai karena aturan undang-undang, silaturahmi menjadi rusak.

“Jangan terlalu kaku menanggapi gratifikasi. Pemberian dalam rangka silaturahmi jangan ditolak. Maka harus bisa bedakan antara silaturahmi dengan roots of corruption,” pesannya.

Ada kalanya, kata Ruki, pemberian-pemberian itu dalam rangka silaturahmi secara murni. Bahkan, secara kultural, lanjutnya, pemberian seperti itu justru memperkuat ukhuwah. Karenanya, Ruki kembali berpesan, agar jeli dalam melihat pemberian yang dilakukan oleh seseorang.

“Tapi pemberian-pemberian dalam rangka silaturahmi, dalam rangka memperkuat ukhuwah, jangan serta merta ditolak. Mari kita biasakan yang benar, jangan membenarkan yang biasa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait