Tak Kuasai Hukum Acara, Capim KPK Ini ‘Digertak’ Tak Lolos Uji Kelayakan
Uji Kelayakan Capim KPK

Tak Kuasai Hukum Acara, Capim KPK Ini ‘Digertak’ Tak Lolos Uji Kelayakan

Pemahaman hukum acara dapat diberikan wawasan dan pelatihan oleh KPK. Lamanya waktu yang dibutuhkan tak terlamau lama, yakni dua pekan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Capim KPK Sujanarko. Foto: RES
Capim KPK Sujanarko. Foto: RES
“Kalau sesuai dengan Pasal 29 huruf D, secara normatif anda tidak memenuhi UU KPK untuk kami pilih,”. Kalimat itu meluncur dari bibir Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond Junaedi Mahesa, terhadap Capim KPK Sujanarko di Gedung DPR, Senin (14/12). Sujanarko merupakan Capim KPK pertama yang menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III.

Menurut Desmond, UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK sudah jelas mengenai persyaratan Capim KPK, yakni berijazah Sarjana Hukum. Sedangkan Sujanarko tidak memiliki latar belakang disiplin ilmu hukum. Sujanarko memiliki disiplin ilmu teknik elektro mulai sarjana hingga magister.

Pasal 29 huruf D UU KPK memang mensyaratkan, untuk dapat diangkat menjadi pimpinan KPK mesti memenuhi persyaratan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian. Selain itu, memiliki pengalaman minimal 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan.

Atas dasar itulah, Desmond menilai Sujanarko tidak memiliki kemampuan pengetahuan terhadap hukum acara pidana. Padahal, tugas keseharian komisoner KPK  lebih terhadap pemahaman pelaksanaan hukum acara dalam rangka melaksanakan fungsi penindakan pemberantasan korupsi.

“Saya melihat anda tidak punya kemampuan hukum acara,” ujar Desmond.

Politisi Gerindra itu khawatir dengan tidak memiliki kemampuan pemahaman hukum acara yang baik, bakal berpotensi tidak maksimalnya penegakan hukum. Bahkan, kata Desmond, harapan masyarakat dalam penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi tidak akan berjalan maksimal.

“Saya khawatir harapan masyarakat dalam penegakan hukum tidak akan terlalu bagus, karena anda tidak memahami hukum acara,” katanya.

Wakil Ketua Komisi III lainnya, Mulfahcri Harahap justru berpandangan seorang pimpinan KPK tidak mesti menjadi ahli hukum pidana. Pasalnya, bawahan komisioner KPK memiliki sejumlah penyidik yang memiliki pemahaman hukum acara yang cukup baik untuk dimintakan pendapatnya.

Lagi pula, dalam pengambilan keputusan dilakukan tidak secara sendiri melainkan melalui cara kolektif kolegial. Mulfahcri lebih menyoroti soal pemahaman capim KPK terhadap pemahaman fungsi dan kewenangan KPK, yakni fungsi supervisi, pencegahan dan penindakan.

“Capim KPK harus berkomitmen bagaimana fungsi KPK itu bisa dilaksanakan dengan secara sama rata dan sama maksimalnya,” ujar politisi PAN itu.

Menanggapi cecaran pertanyaan anggota dewan, Sujanarko yang menjabat Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi di KPK itu menepis penilaian Desmon. Dia  mengklaim memiliki pengalaman mumpuni di bidang kegiatan  pemberantasan korupsi. Misalnya, memiliki pengalaman selama 4 tahun sebagai Ketua Umum Sarikat Pekerja di BUMN yang mendorong dibentuknya tim pelacak aset. Begitu pula berbagai posisi pernah diembannya di KPK.

Terkait dengan pemahaman hukum acara pidana, kata Sujanarko, KPK kerap memberikan martikulasi dan penguatan pemahaman terhadap hukum acara. Lamanya waktu yang dibutuhkan tak terlamau lama, yakni dua pekan. Menurutnya, pemahaman hukum acara dapat diberikan wawasan dan pelatihan.

“Saya memahami KUHAP. Di KPK ada kelas dua minggu martikulasi hukum acara,” ujarnya.

Bukan pemadam kebakaran
Anggota Komisi III Bambang Soesatyo mengatakan, KPK semestinya tidak seperti polisi lalu lintas yang bersembunyi di balik pohon sebelumnya untuk kemudian menangkap pelanggar lalu lintas. Sebaliknya, KPK mesti sudah dapat mematahkan potensi terjadinya korupsi di berbagai sektor untuk kemudian dilakukan pencegahan.

“Saya ingin KPK tidak seperti itu. KPK melakukan penyadapan sudah dengan bukti, nah dengan mencegah sehingga tidak terjadi peristiwa penangkapan seperti polisi bersembunyi di balik pohon ketika ada yang melanggar ditangkap,” ujar politisi Golkar itu.

Namun, Sujanarko menampik pandangan Bambang Soesatyo. Menurutnya, KPK tidak boleh menjadi pemadam kebakaran dalam penanganan korupsi. Ia sependapat dengan pandangan Bambang bahwa KPK mesti dapat memetakan sektor-sektor yang dapat berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi.

“KPK memang harus memetakan dan membuat sistem secara jelas sehingga dilanjutkan dengan membuat profiling dan kita harapkan sindikasi kejahatan dapat diketahui dan terbongkar semua,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait