Ini Catatan RS Swasta tentang Dua Tahun JKN
Berita

Ini Catatan RS Swasta tentang Dua Tahun JKN

Di daerah, RS swasta masih kesulitan bermitra dengan BPJS Kesehatan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Salah satu konter BPJS Kesehatan. Foto: RES
Salah satu konter BPJS Kesehatan. Foto: RES
Usia program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan hampir genap dua tahun. Sebagai mitra (provider) BPJS, rupanya kalangan rumah sakit (RS) punya catatan tersendiri tentang pelaksanaan JKN.  

Manajer Pelayanan Asuransi dan Perusahaan RS Baptis Batu, Malang, Dita Prawita Sari, mengatakan RS Baptis sudah menjadi mitra BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2014. Sebelum BPJS Kesehatan beroperasi rumah sakit ini sudah melayani pasien yang jaminannya ditanggung lewat program Askeskin, Jamkesmas dan JPK Jamsostek.

Dita mengatakan selama ini nyaris tidak ada kendala. Kalaupun ada masalah, masih bisa diselesaikan karena RS Baptis sudah berkomitmen tidak membedakan pelayanan antara pasien umum dengan peserta JKN. Bahkan sejak November 2015 RS Baptis tidak menerapkan iur biaya bagi pasien JKN yang mengikuti aturan yang berlaku. Tetapi jika ada pasien JKN yang meminta obat tertentu, obat itu tidak ditanggung. Pasien harus membeli sendiri.

Dita mengatakan salah satu masalah  yang dialami RS Baptis adalah ketersediaan alat, tenaga medis dan ruangan. Gara-gara kekurangan itu, pasien harus mengikuti antrian. Selain itu, ada masalah besaran tarif yang tercantum dalam paket Indonesian Case Based Group (INA-CBGs). Misalnya, besaran tarif paket INA-CBGs untuk diagnosis penyakit anemia dipatok Rp1,5 juta. Padahal penyakit anemia yang dihadapi setiap pasien berbeda-beda, tergantung pada konsentrasi hemoglobin (Hb) yang dialami. Untuk Hb 2 dibutuhkan 8 kantong darah dan harga 1 kantong darah Rp375 ribu, dan berarti butuh Rp3 juta untuk melayani pasien demikian.

Begitu pula dengan besaran tarif untuk operasi (bedah) yang tergolong rendah daripada biaya riil yang diperlukan. Menurut Dita hal itu menuntut RS swasta untuk efektif dan efisien dalam memberi pelayanan kesehatan. Selain itu ia berharap agar besaran tarif INA-CBGs dibenahi agar sesuai dengan kebutuhan medis yang sebenarnya. Atau bisa juga dibentuk perbedaan tarif INA-CBGs antara RS swasta dan RS pemerintah untuk kelas yang sama.

Dita mencatat selama ini besaran tarif INA-CBGs untuk RS swasta dan RS pemerintah tidak dibedakan. Padahal kedua jenis RS itu menanggung beban yang berbeda dalam membiayai kegiatan operasionalnya. Misalnya, RS swasta harus menanggung sendiri biaya yang jadi bebannya seperti listrik, pajak dan gaji pegawai. Sementara RS pemerintah mendapat bantuan seperti gaji yang ditanggung oleh pemerintah. Ia berharap agar besaran tarif INA-CBGs bagi RS swasta itu menjadi perhatian para pemangku kepentingan.

Persoalan lain yang dihadapi adalah perbedaan kebijakan yang diterapkan masing-masing cabang BPJS Kesehatan. Misalnya, ada pasien JKN yang mendapat tindakan bedah sesar (SC) kemudian terjadi pendarahan dan diperlukan pengangkatan kandungan. Ada RS yang bisa memasukan semua tindakan itu dalam INA-CBGs sehingga paket tarif yang muncul relatif besar nominalnya. Tapi ada RS di daerah lain yang tidak bisa melakukan itu sehingga paket tarif yang diterima relatif lebih kecil.

Menurut Dita, ini terjadi karena verifikator BPJS Kesehatan yang bekerja melakukan verifikasi klaim RS berbeda-beda acuannya untuk setiap daerah, tergantung pada kebijakan BPJS Kesehatan di daerah setempat. Sebelumnya, pada masa Jamkesmas, verifikator independen terkoordinasi di Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK) yang berada di bawah naungan Kementerian Kesehatan. Sehingga kebijakan yang dijadikan acuan oleh verifikator berlaku untuk seluruh Indonesia. Saat ini standar yang digunakan verifikator BPJS Kesehatan tergantung kebijakan BPJS Kesehatan daerah terkait. “Hal itu yang sering menimbulkan dispute claim antara RS dengan BPJS Kesehatan,” paparnya.

Dita mengaku RS Baptis Batu pernah mengalami sengketa klaim (dispute claim) dengan BPJS Kesehatan tapi dapat diselesaikan dengan baik. Ia berharap kedepan agar semua pihak punya pandangan yang sama terhadap tindakan medis yang dimasukan dalam kode INA-CBGs guna mencegah dispute claim. Serta ada standar nasional yang jadi acuan verifikator BPJS Kesehatan dalam melaksanakan tugasnya melakukan verifikasi klaim.

Kendala lain yang dihadapi RS swasta selama menyediakan pelayanan bagi peserta JKN terkait ketersediaan obat-obatan. Dita mengatakan RS swasta khususnya Baptis Batu tidak bisa mengajukan pengadaan obat-obatan melalui e-catalog karena sistem itu hanya bisa diakses oleh institusi pemerintah. Padahal, obat-obatan yang digunakan untuk program JKN harus mengacu formularium nasional yang tercantum dalam e-catalog.

Untuk menyiasati masalah itu, Dita mengatakan pihaknya selalu mencari sendiri perusahaan farmasi yang bisa menyediakan obat-obatan yang harganya sama dengan e-catalog. Harga obat yang tercantum dalam e-catalog relatif lebih rendah dari harga pasar. “Selama ini kami harus mencari farmasi sendiri dan negosiasi dengan mereka agar harga obatnya sesuai dengan e-catalog,” urainya.

Terpisah, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Susi Rusli, menilai RS swasta sangat berperan dalam menyukseskan implementasi program JKN khususnya dalam memberikan pelayanan terhadap peserta. Susi menilai tarif INA-CBGs harus dibedakan antara RS swasta dan RS pemerintah untuk kelas yang sama. Itu perlu dilakukan karena beban investasi dan operasional ditanggung sendiri oleh RS swasta sedangkan RS pemerintah biasanya mendapat bantuan dana dari pemerintah. “Rasanya tidak fair ketika tarif INA-CBGs sama antara RS pemerintah dan RS swasta yang sama kelasnya,” tukas Susi.

Selain itu Susi mengeluhkan perbedaan kebijakan yang diterapkan antar cabang BPJS Kesehatan terkait persyaratan RS swasta untuk menjadi provider JKN. Masalah itu kerap diadukan anggota ARSSI karena mereka merasa kesulitan memenuhinya sehingga sampai saat ini belum bisa menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan cabang setempat. Pihak BPJS Kesehatan biasanya mengklaim kalau kuota untuk menjadi provider sudah penuh padahal dilapangan banyak pasien yang kesulitan mencari kamar perawatan.
Tags:

Berita Terkait