Masuki MEA, Perlindungan Tenaga Kerja Makin Penting
Berita

Masuki MEA, Perlindungan Tenaga Kerja Makin Penting

Revisi UU PPTKILN sebaiknya merujuk pada Konvensi PBB Tahun 1990.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Aktivitas TKI menjelang keberangkatan di bandara. Foto: SGP
Aktivitas TKI menjelang keberangkatan di bandara. Foto: SGP

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan bergulir akhir tahun ini diyakini bakal berdampak terhadap Indonesia, termasuk mobilitas tenaga kerja. Lalu lintas tenaga kerja asing ke Indonesia, atau sebaliknya TKI ke luar negeri kemungkin besar kian padat. Tantangan bagi TKI juga kian berat. Pemerintah juga ditantang untuk membuat kebijakan yang tetap melindungi pekerja Indonesia di luar negeri.

Selama ini, kebijakan perlindungan para TKI merujuk pada UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Namun, sudah lama muncul kritik terhadap aspek perlindungan di Undang-Undang ini karena dinilai belum optimal. Buruh migrant Indonesia masih sering menghadapi masalah di luar negeri, dan ketika ada masalah mereka kurang terlindungi.

Anggota Jaringan Buruh Migran (JBM) dari LBH Jakarta, Eni Rofiatul, menilai perlindungan terhadap buruh migran Indonesia belum optimal. Padahal, pemerintah telah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Ratifikasi itu tertuang dalam UU No. 6 Tahun 2012.

“Kenyataannya, sudah tiga tahun Konvensi itu diratifikasi tapi upaya perlindungan bagi buruh migran Indonesia belum menunjukkan hasil yang signifikan,” kata Eni dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Selasa (15/12).

Eni mencatat pemerintah melakukan moratorium penempatan buruh migran Indonesia sektor domestik ke beberapa negara penempatan. Namun, moratorium itu tidak otomatis menurunkan jumlah kasus yang menimpa buruh migran Indonesia diantaranya perekrutan non prosedural. Melansir data Kementerian Luar Negeri periode 2011-2015, kasus kenaikan perdagangan manusia (human trafficking) meningkat, dalam tiga tahun terakhir rata-rata kenaikannya 52,5 persen.

Data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menjelaskan dari 321 kasus yang ditangani rata-rata buruh migran Indonesia mengalami lebih dari satu kasus pelanggaran. Solidaritas Perempuan mencatat buruh perempuan lebih rentan terhadap perdagangan manusia. “Indikasi human trafficking terlihat jelas dari proses perekrutan dan penempatan tidak melalui PT, pemalsuan dokumen, penggunaan visa turis (bukan visa kerja) dan modus berpindah-pindah majikan,” ujar Eni.

Sekretariat Nasional JBM, Savitri Wisnuwardhani, mengatakan ketika MEA bergulir maka perpindahan orang dari satu negara ke negara lain lebih mudah. Namun, pembahasan antar negara ASEAN dalam melindungi buruh migran tergolong minim. Itu terlihat dari mandeknya pembahasan ASEAN Framework Instrument for the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Padahal, kerangka perlindungan untuk buruh migran di wilayah ASEAN itu sudah dilakukan sejak lahirnya deklarasi Cebu tahun 2007.

“Tanpa adanya perlindungan menyeluruh bagi buruh migran Indonesia maka yang terjadi nanti praktik kekerasan, eksploitasi dan perdagangan manusia yang menyasar buruh migran Indonesia akan meningkat,” papar perempuan yang disapa Vitri itu.

Atas dasar itu Vitri mendesak agar pembahasan revisi UU PPTKILN mengacu pada konvensi PBB Tahun 1990. Sehingga perlindungan yang diberikan kepada buruh migran Indonesia komprehensif, meliputi keluarganya. Sayangnya, draft revisi UU PPTKILN yang dibahas belum selaras dengan konvensi internasional itu. Misalnya, tidak mengatur secara detail penempatan buruh migran secara individu, G to G dan lewat PT atau agen. Selama ini mekanisme penempatan yang diatur UU PPTKILN hanya melalui G to G atau swasta (PPTKIS/PJTKI).

Vitri berharap seluruh formulir dan dokumen penempatan harus menggunakan format resmi yang diterbitkan Pemerintah sehingga ada keseragaman. Revisi UU PPTKILN juga perlu merinci kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam perlindungan  dan penempatan buruh migran Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf, mengatakan inti revisi UU PPTKILN adalah melindungi buruh migran Indonesia. Selama ini perlindungan itu dibebankan kepada pihak swasta lewat PPTKIS/PJTKI, ke depan kewajiban perlindungan itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah.

Dede menargetkan akhir Desember 2015 pemerintah sudah selesai menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) dan diharapkan segera direspon Presiden Joko Widodo dengan menerbitkan Surat Presiden (Surpres). “DPR RI segera menyelesaikan dan mengesahkan pada awal tahun 2016,” urainya.
Tags:

Berita Terkait