KPK Akan Bidik Swasta yang Terlibat Gratifikasi Sektor Farmasi
Berita

KPK Akan Bidik Swasta yang Terlibat Gratifikasi Sektor Farmasi

Lewat argumen karena dokter dan perusahaan menjalankan fungsi publik.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
KPK akan bidik swasta yang terlibat gratifikasi sektor farmasi. Foto: NNP
KPK akan bidik swasta yang terlibat gratifikasi sektor farmasi. Foto: NNP
Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono mengatakan kalau KPK tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penegakan hukum terkait dengan praktik gratifikasi yang dilakukan oleh sejumlah oknum dokter serta perusahaan farmasi. Menurutnya, KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan dalam praktik gratifikasi yang dilakukan di sektor farmasi itu.

“Tidak menutup kemungkinan kita akan lakukan penegakan hukum. Tapi kita tidak akan bilang kapan terjadi, tidak menutup kemungkinan,” katanya saat berdiskusi dengan media, di Jakarta, Selasa (15/12).

Namun, Giri menyebutkan kalau penindakan itu akan dilakukan setelah sebelumnya KPK melakukan pendekatan dengan memperbaiki sistem di sektor industri farmasi itu. Jika pendekatan sistem yang dilakukan KPK tidak berdampak signifikan, baru dilakukan penindakan untuk ‘mengingatkan’ para pelaku tersebut.

“Kalau kita mau terapkan sistem susah. Penindakan kita majukan dulu. Kalau perbaikan sistem tidak bisa dilakukan secara soft maka kita akan tindak,” ujarnya.

Sebagai gambaran, belakangan, muncul pemberitaan tentang praktik gratifikasi yang melibatkan dokter dengan perusahaan farmasi. Pemberian gratifikasi itu dimaksudkan agar resep yang disusun sang dokter ditulis dengan memakai obat yang diproduksi oleh perusahaan farmasi tertentu.

Jika oknum dokter yang melakukan tindakan itu adalah dokter pegawai negeri, maka KPK bisa menerapkan ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 juntcto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam aturan itu, tegas dinyatakan kalau pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan gratifikasi bisa ditindak oleh penegak hukum.

Namun hal sebaliknya menjadi kendala KPK. Jika dokter yang bukan pegawai negeri sipil melakukan tindakan tersebut, aturan yang akan diterapkan masih ‘abu-abu’. Terkait hal ini, lanjut Giri, KPK masih melakukan penelitian. “Makanya sempat ribut, dokter swasta masuk pegawai negeri atau tidak,” katanya.

Dari kajian KPK bersama sejumlah pakar hukum terungkap bahwa dokter ‘swasta’ tersebut bisa dianggap sebagai dokter pegawai negeri sipil. Ketika itu, Giri mengatakan, pakar hukum tersebut menilai, rasio yang bisa dipakai adalah dengan merujuk pada ketentuan di KUHP dan juga UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Antikorupsi (UNCAC/United Nations Convention Againts Corruption).

Berdasarkan dua aturan itu, dokter swasta itu bisa dianggap sebagai dokter pegawai negeri sipil lantaran fungsi yang dijalankan berkaitan dengan fungsi publik yang dilakukan oleh pejabat atau penyelenggara negara pada umumnya. Bukan cuma dokter, pihak perusahaan swasta pun juga sama karena melaksanakan kegiatan di sektor publik.

“Dari pasal 92 KUHP dan pakai ratifikasi UNCAC UU Nomor 7 Tahun 2006. Jadi kalau ada perusahaan swasta dia kelola air minum, dia menjalankan fungsi publik. Dia bisa jatuh pegawai negeri atau ambtenaar. Karena menjalankan fungsi publik dan menjalankan industri obat yang itu dibayar oleh orang se Indonesia,” paparnya.

Giri menilai, perlu ada kesamaan treatment antara dokter pegawai negeri dengan dokter swasta. Menurutnya, tanpa kesamaan treatment tersebut maka bisa tidak fair, bahwa dokter swasta dapat terbebas dari jerat gratifikasi dengan alasan regulasi yang ada, sedangkan dokter pegawai negeri mudah dijerat.

Tidak seimbangnya antara dokter swasta dan pegawai negeri ini juga terlihat dari ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Aturan itu jelas hanya bisa menundukkan para aparatur Kemenkes. Sementara, dokter swasta belum dibentuk aturan serupa.

Aturan lainnya, ada di Keputusan Kepala BPOM Tahun 2002 tentang Promosi Obat. Aturan itu mengatur kalau pemberian dan donasi tidak boleh dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat. Oleh karenanya, Giri menilai kalau selain peran penegak hukum, juga diperlukan peran dari organisasi profesi, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI). “IDI harus menjembatani dokter swasta, dokter negeri, dan lainnya,” katanya.

Di tempat yang sama, Peneliti Transparency International Indonesia Wahyudi M Tohar tak menampik kalau dari sisi regulasi seolah-olah dokter pegawai negeri diikat erat dengan regulasi yang ada, namun dokter swasta justru dibebaskan seluas-luasnya tanpa regulasi yang mengatur tentang pengendalian gratifikasi di sektor farmasi ini.

Dari penelitian yang dilakukan TII tahun 2015, Bribe Payer Index menunjukkan kalau sektor farmasi dan kesehatan masuk dalam peringkat ketujuh terburuk dari 19 sektor yang diteliti. Wahyudi menekankan seharusnya treatment yang diberikan bisa lebih seimbang atau fair. Sehingga, dokter swasta juga bisa diperlakukan sama dengan dokter pegawai negeri sipil.

“Jangan ikat erat pada dokter publik tapi di sisi lain karena kelemahan regulasi membebaskan seluas-luasnya dokter sektor swasta. Harusnya fair treatment sih,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait