Tuyul, Cermin Hidup ‘Korban’ Kerakusan Koruptor
Resensi

Tuyul, Cermin Hidup ‘Korban’ Kerakusan Koruptor

Tuyul digambarkan sebagai orang yang diperdaya oleh orang lain untuk menguntungkan orang lain itu.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Drama Musikal Anak “Tuyul Anakku” di Festival Antikorupsi di Bandung. Foto: NNP
Drama Musikal Anak “Tuyul Anakku” di Festival Antikorupsi di Bandung. Foto: NNP
Dari praktik korupsi yang terjadi, kebanyakan pelakunya merupakan para pemegang kuasa atau otoritas di masing-masing institusi atau lembaga. Tak jarang juga, korupsi pun juga turut melibatkan para ‘turut serta’ yang sebetulnya bukan merupakan aktor intelektual kejahatan ini.

Namun apa daya, regulasi yang ada sudah tegas mengatakan bahwa para ‘turut serta’ itu juga menjadi ‘bagian’ dalam rangkaian tindakan mengalihkan harta yang bukan haknya menjadi seolah-olah hak para koruptor serta kroni-kroninya. Ironisnya, bahkan sang aktor intelektual kadangkala tak tersentuh hukum. Sebaliknya, malah para ‘turut serta’ ini yang mesti menanggung dosa besar itu.

Paling tidak itulah gambaran yang muncul dari sosok Amin, tokoh utama dalam pentas Drama Musikal Anak  “Tuyul Anakku”, salah satu buah karya WS Rendra yang digelar di gedung Sasana Budaya Ganesha ITB Bandung, Kamis (10/12). Pentas yang masuk dalam kegiatan Festival Antikorupsi 2015 ini di Sutradarai oleh seniman Iman Soleh. Pementasan ini dilakukan oleh sejumlah pelajar dari SMA/K di wilayah Bandung serta diiringi oleh pengiring dari Komunitas Celah-Celah Langit (CCL).

Alkisah, pentas ini dimulai dari sebuah mimpi. Amin yang masih berusia remaja sempat iri dengan salah seorang teman mainnya yang merayakan ulang tahunnya dengan kue tart seharga jutaan rupiah. Dalam cerita itu, Amin bukanlah tergolong anak dari keluarga kaya, bahkan cenderung serba ‘cekak’.

Ayah Amin, hanyalah seorang supir angkutan umum. Sang ibu pun, bukan bagian dari ‘pejabat senayan’. Namanya anak-anak, tentu tidak mau kalah dengan teman sebayanya. Amin juga ingin dirayakan ulang tahun dengan kue seharga jutaan rupiah. Berangkat dari sana, Amin bertekad untuk menjadi orang kaya.

Kebulatan tekad Amin, sampai-sampai membuatnya memanjat pohon dan berteriak kepada Tuhan Yang Maha Esa dan meminta diberikan kehidupan yang baik dari sebelumnya. Dia pun sampai melamun jika benar nantinya akan kaya, benda dan barang-barang apa saja yang nanti akan dia beli sudah terbayangkan.

“Tuhan! Amin ingin kaya!,” teriaknya.

Lamunan Amin masih berlanjut, sampai teman-teman sebaya yang biasa main bersama menyadarkannya dari bawah pohon. Awalnya teman-temannya heran kenapa Amin melamun di atas pohon. Tetapi rasa penasarannya terjawab tatkala Amin menjelaskan soal mimpi dan lamunannya itu. Mendengar penjelasan Amin, sontak! Teman-temannya men-judge Amin sebagai Tuyul.

“Amin, jiwamu-jiwa Tuyul,” kelakar sang teman-teman.

Justifikasi ‘Tuyul’ yang dipredikatkan kepada Amin bukanlah tanpa sebab. Amin yang ingin kaya ternyata punya rencana licik. Dan secara kebetulan, desa tempat Amin tinggal punya jejak kelam. Dimana, ada satu mitos yang berkembang kalau di desa itulah pernah hidup perempuan yang akhirnya menjadi seorang Tuyul.
Desas-desus itu pun masih santer terdengar hingga ke generasi Amin dan teman-temannya. Walhasil, Amin pun mencoba mengikuti jejak kelam itu. Di dalam cerita itu, ada sosok ‘orang pintar’ yang bernama Mba Topeng. Konon, cerita yang beredar di sana, Mbah Topeng mampu menjadikan seseorang manusia menjadi Tuyul.

Amin yang ngebet ingin kaya itu pun mencari Mbah Topeng. Singkat cerita, Amin dan Mbah Topeng bertemu. Dalam pertemuannya itu disepakati kalau permintaan Amin yang ingin menjadi Tuyul disepakati oleh Mbah Topeng. Sejak saat itu, Amin, si anak remaja yang punya ‘lakon ganda’ sebagai Tuyul.

Semenjak menjadi Tuyul, kehidupan keluarga Amin mendadak berubah. Secara drastis, keluarga Amin punya banyak uang yang tak jelas asalnya. Selalu, secara tiba-tiba ada banyak uang di rumah Amin. Di awal-awal, keluarga Amin kebingungan dengan uang-uang sebanyak itu, hinga selalu bertambah dari waktu ke waktu.

Sampai pada suatu ketika, warga desa dihebohkan dengan banyaknya kehilangan uang atau tabungan yang disimpan. Isu itu pun sampai kepada teman-teman sepermainan Amin. Amin yang diceritakan pun seolah tidak tahu menahu sesuatu. Amin bertingkah bak tidak terjadi apa-apa dalam kasus kehilangan uang di desanya itu.

Hingga salah seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah tetangga Amin, yang bernama Bibi Pandan dipolisikan oleh majikannya yang bernama Pak Sobirin. Padahal, Bibi Pandan tidak tahu menahu soal kehilangan uang yang dialami oleh majikannya itu. Amin yang sebenarnya merupakan ‘dalang’ di balik semua ini telah berhasil mengelabui polisi sehingga Bibi Pandan menjadi tumbalnya sesuai rencana Amin. Sejak itu, Amin masih tetap melakukan praktik ‘pertuyulan’. Sampai pada suatu ketika, Amin akhirnya tersadar tentang kelakuannya yang salah.

Dia kembali menemui Mbah Topeng dan meminta kembali menjadi anak biasa. Permintaan itu awalnya tidak diamini oleh Mbah Topeng. Dalam adegan, negosiasi yang dilakukan antara Amin dengan Mbah Topeng cukup alot. Hingga akhirya Amin saat itu berubah kembali menjadi normal, seperti biasanya.

Walaupun tidak secara spesifik terlihat ada hubungannya dengan dunia hukum. Paling tidak, dari Drama Musikal Anak “Tuyul Anakku” bisa memberikan gambaran nyata tentang praktik korupsi yang terjadi di Indonesia. Karakter Amin yang digambarkan dengan sosok yang ingin kaya dengan jalan pintas itu cukup merefleksikan kehidupan nyata yang dilakukan para koruptor.

Kisah tentang ‘tumbal’ yang di-setting oleh Amin juga terjadi di kehidupan nyata. Dimana, meski belum bisa dibuktikan secara hukum, banyak aktor-aktor intelektual yang masih bebas berkeliaran serta merampok kekayaan negara. Namun, mereka yang ditangkap adalah para ‘turut serta’ yang mungkin tidak terkait lansung dengan kejahatan yang dilakukan sang aktor. 
Tags:

Berita Terkait