Sepanjang tahun 2015, Prasetyo melihat, Kejaksaan banyak menghadapi tantangan. Seperti, maraknya kritik serta anggapan dari masyarakat yang menilai bahwa Kejaksaan masih lemah dan belum mampu menegakkan hukum dengan baik. Menurutnya, kritikan tersebut justru jadi pemicu untuk lebih baik.
“Kritikan-kritikan yang kita terima mesti justru harus menyemangati kita untuk terus bekerja lebih baik dan lebih keras lagi,” ujarnya.
Lewat Rakernas ini, Prasetyo berharap agar jajaran Kejaksaan punya pemahaman dan fokus yang sama dalam rangka membawa Kejaksaan kembali mendapat public trust. Sebab dalam Program Refomasi Birokrasi Tahun 2015–2019, terdapat delapan area perubahan yang menjadi fokus pembenahan Kejaksaan. Antara lain, mental aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kelembagaan, tata laksana, SDM Aparatur, peraturan perundang-undangan dan pelayanan publik.
Agar program ini bisa berhasil, Prasetyo mengatakan, ada tiga fokus yang mesti dikedepankan. Ketiganya adalah penguatan Kejaksaan baik secara lembaga maupun legislasi, pembersihan penegakan hukum oleh Kejaksaan dari korupsi, serta transparansi publik sebagai tuntutan yang harus direspon oleh Kejaksaan. “Mesti ada pemahaman bersama dan perlu kita cermati bersama juga,” tuturnya.
Terlepas dari hal itu, Prasetyo juga berharap media masa bisa ikut mendukung langkah perbaikan yang dilakukan oleh Kejaksaan. Menurutnya, pemberitaan yang dilakukan mesti berangkat dari fakta atau bukti dan bukan berdasarkan opini dan persepsi semata. “Yang kita lakukan baik, tolong disampaikan. Tapi kritik yang masuk, kita harapkan kritik yang membangun bukan kritik yang sebaliknya yang bikin kesan kontraproduktif,” katanya.
Terpisah, Ketua Harian MaPPI FHUI Choky R Ramadhan mengatakan kalau Kejaksaan butuh banyak perbaikan terutama dari sisi kinerja jaksa saat menangani perkara yang secara tidak langsung berhubungan dengan masyarakat. Menurutnya, selama ini masih banyak Jaksa yang belum taat regulasi ketika melakukan persidangan.
Sebagai contoh, masih banyak jaksa yang tidak mengingatkan atau memberi rekomendasi penasihat hukum kepada terdakwa yang diancam pidana di atas lima tahun. “Citra Kejaksaan bisa meningkat ketika Jaksa bisa meningkatkan performa atau kualitas kerjanya untuk kerja yang berkaitan langsung dengan masyarakat,” kata Choky.
Namun, di sisi lain, Kejaksaan juga mesti memperbaiki sistem penganggaran penanganan perkara. Berdasarkan resume penelitian MaPPI tahun 2015, anggaran penanganan perkara pidana umum hanya sebesar Rp3,3 juta. Menurut Choky, jumlah itu sangat kecil ketika digunakan untuk menangani perkara. Untuk itu, ia mengusulkan dibuat klasifikasi perkara berdasarkan pada kebutuhan anggaran.
Skema lain yang mungkin bisa digunakan, lanjut Choky, dengan pencairan anggaran penanganan perkara dengan sistem actual cost/reimbursable seperti di KPK. Agar skema ini bisa berjalan lancar, anggaran disesuaikan dengan data jumlah perkara yang masuk sehingga kebutuhan anggaran bisa sesuai dengan jumlah perkara yang diterima Kejaksaan.
“Memang perkara tahun berikutnya tidak bisa diprediksi, tapi trend dan pola dua hingga tiga tahun terakhir bisa memperkecil selisih kekurangan anggaran,” tutupnya.