Isu-isu Perburuhan Populer Selama 2015
Refleksi 2015:

Isu-isu Perburuhan Populer Selama 2015

Perubahan fomula perhitungan upah bukan saja membuat buruh demo, tetapi juga melakukan upaya hukum ke MK dan MA. Pemerintah dan pengusaha satu suara.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Demo buruh. Foto: RES
Demo buruh. Foto: RES
Berbagai peristiwa dan wacana mewarnai isu perburuhan yang ramai diperbincangan sepanjang tahun 2015. Awal tahun 2015 pemerintah mulai merancang kebijakan yang diperlukan guna menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan bergulir akhir tahun ini diantaranya memperketat masuknya tenaga kerja asing (TKA).

1. Bahasa Indonesia untuk TKA
Di tengah meningkatnya jumlah TKA, pemerintah membuat syarat kemampuan berbahasa Indonesia. Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan TKA yang mau bekerja di Indonesia harus mahir bahasa. Ketentuan itu rencananya akan dimasukan dalam revisi Permenakertrans No. 12 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Seiring waktu berjalan ternyata Presiden Jokowi menginginkan agar segala peraturan yang menghambat masuknya TKA dihapus, termasuk kewajiban berbahasa Indonesia bagi TKA. Hal itu diutarakan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, ia menyebut Presiden ingin regulasi penghambat TKA dihapus. Usulan Presiden itu dikritik banyak pihak salah satunya DPR yang menilai dihapusnya kewajiban berbahasa Indonesia berpotensi melanggar UU Ketenagakerjaan.

Alhasil, pemerintah merevisi Permenakertrans No. 12 Tahun 2013 menjadi Permenaker No. 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Ada sejumlah ketentuan baru yang patut dicermati dalam peraturan itu diantaranya kemampuan berbahasa Indonesia dan tingkat pendidikan bukan syarat utama bagi TKA. DPR menyambut Permenaker TKA itu dengan sorotan tajam, mereka mendesak pemerintah untuk mencabut regulasi itu.

2. Perlindungan Buruh Migran Indonesia
Isu buruh migran Indonesia masih ramai diperbincangkan di tahun 2015. Perlindungan terhadap BMI paling banyak disorot publik. Untuk mewujudkan harapan itu Kementerian Ketenagakerjaan melakukan penindakan terhadap PJTKI/PPTKIS yang melanggar aturan. PJTKI/PPTKIS yang memperlakukan BMI tidak manusiawi juga dicabut.

BNP2TKI melakukan hal serupa, dalam rangka melindungi BMI Kepala BNP2TKI, Nusron Wahid, bertekad mengusut segala modus yang digunakan untuk menjerat BMI ke dalam human trafficking. Ia berjanji bukan sekadar mengusut sampai pelakunya bisa tertangkap tapi juga aktor intelektualnya.

Mengingat banyak BMI yang bekerja di sektor domestik, dalam rangka meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pemerintah menerbitkan Kepmenaker No.1 Tahun 2015 tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh TKI di Luar Negeri untuk Pekerjaan Domestik. Beleid itu mengatur tujuh pekerjaan domestik yang bisa dilakoni TKI.

3. Revisi  UU PPTKILN
Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKILN) masuk program legislasi nasional prioritas 2015.
Dalam merevisi peraturan itu DPR mengklaim berkomitmen melindungi BMI.

Menanggapi hal itu organisasi masyarakat sipil mengusulkan agar revisi UU PPTKILN merujuk konvensi internasional diantaranya konvensi PBB Tahun 1990. Itu perlu dilakukan agar perlindungan terhadap BMI dilakukan secara menyeluruh dan meliputi keluarganya. Perlindungan itu makin penting ketika Indonesia memasuki MEA. Hingga akhir tahun 2015 revisi UU PPTKILN belum selesai.

4. Pekerja Rumah Tangga
Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pemerintah berharap peraturan itu dapat menjadi terobosan hukum untuk melindungi PRT. Pasalnya, selama ini Indonesia belum punya UU khusus yang mengatur pekerja domestik atau PRT. Organisasi masyarakat sipil mengusulkan pemerintah untuk menerbitkan UU yang mengatur khusus perlindungan PRT. Permenaker itu diyakini tidak cukup kuat melindungi PRT oleh karenanya dibutuhkan payung hukum yang lebih tinggi  Perlindungan justru bisa memutus mata rantai kekeratasan terhadap PRT.

5. Program BPJS
Mulai 1 Januari 2015 perusahaan berskala besar, sedang dan kecil wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Bagi perusahaan yang tidak menunaikan kewajiban itu akan ada sanksi yang bisa dijatuhkan. DJSN berpendapat sanksi itu diberlakukan mulai Juli 2015. Sayang, tahun 2015 hampir berakhir, masih ada yang belum mendaftarkan pekerjanya.

6. Ancaman sanksi untuk perusahaan yang menolak aturan BPJS.
BPJS bersifat wajib sehingga ada ancaman sanksi kepada badan usaha yang tidak mematuhi kewajiban. Sanksinya termasuk sanksi administratif seperti tidak mendapatkan layanan. Untuk memperkuat penegakan hukum, BPJS meminta bantuan Kejaksaan. Kejaksaan memberi warning kepada badan usaha untuk patuh terhadap aturan terkait BPJS Kesehatan.
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, misalnya, memanggil 350 perusahaan yang menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan.

Sejak 2014-Agustus 2015 BPJS Kesehatan telah menegur dua ribuan perusahaan yang belum menaati aturan mengenai BPJS Kesehatan. Pelanggaran paling banyak dilakukan terkait belum didaftarkannya seluruh pekerja dan rutinitas membayar iuran. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan jaminan sosial di daerah, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan menjalin kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri. Salah satu hasil kerjasama itu berupa kesepakatan untuk menjadikan kepesertaan BPJS sebagai salah satu syarat bagi badan usaha untuk memperoleh izin.

7. Jumlah Peserta BPJS
Dua tahun BPJS Kesehatan berjalan, jumlah pesertanya  mencapai lebih dari 150 juta orang. Untuk program Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan sejak 1 Juli-Oktober 2015 jumlah pesertanya mencapai 3,9 juta. Organisasi masyarakat sipil mencatat selama dua tahun ini BPJS Kesehatan masih mengalami kendala.

8. Peraturan Pelaksana BPJS
Tahun 2015 pemerintah menerbitkan beberapa peraturan pelaksana untuk empat program yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (JKK-JKm), PP No. 45 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun (JP) dan PP No. 46 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Serikat buruh mengkritik PP JHT karena prosedurnya menyulitkan buruh. Pemerintah merespon positif tuntutan itu dan merevisi PP No. 46 Tahun 2015 menjadi PP No. 60 Tahun 2015 tentang JHT. Namun pemerintah tidak merespon positif tuntutan buruh yang mendesak PP JP direvisi pemerintah tetap mempertahankan besaran iuran JP 3 persen.

9. Revisi UU PPHI
Setelah mendapat desakan dari sejumlah pihak, salah satunya desakan serikat buruh, DPR mulai membahas revisi UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Serikat buruh mengusulkan pengadilan hubungan industrial (PHI) dirombak total, diganti dengan komisi yang sifatnya independen. Pengusaha dan akademisi juga sudah memberikan masukan kepada Panja RUU PPHI. Menjelang akhir tahun 2015 revisi UU PPHI belum tuntas.

10. Pengupahan
Pada Oktober 2015 pemerintah menerbitkan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Regulasi itu mengatur kenaikan upah minimum setiap tahun yang harus mengacu formula yang menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Serikat buruh menolak pemberlakuan PP Pengupahan dan menggelar demonstrasi besar yang berujung pada kekerasan polisi terhadap buruh. Buruh juga menempuh upaya hukum ke MA dan MK.
Tags:

Berita Terkait