Panduan untuk Orang Hukum Memasuki MEA
Resensi

Panduan untuk Orang Hukum Memasuki MEA

Diterbitkan dalam bahasa Inggris, buku karya Ricardo Simanjuntak ini penting untuk memahami mekanisme penyelesaian sengketa dalam rangka MEA.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Buku karya Ricardo Simanjuntak. Foto: MYS & SGP
Buku karya Ricardo Simanjuntak. Foto: MYS & SGP
Beragam cara orang untuk memperingati hari ulang tahunnya. Ada yang menggelar potong tumpeng sederhana bersama keluarga atau orang terkasih, ada yang pergi ke tempat-tempat wisata, dan ada pula yang menerbitkan hasil karya ke khalayak. Ricardo Simanjuntak memilih cara yang disebut terakhir. Dalam peringatan ulang tahunnya pada 2015, lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) itu menerbitkan bukunya Dispute Settlement Mechanism under the ASEAN Legal Frameworks.

Buku ini diterbitkan dalam momentum yang pas ketika Indonesia sedang mempersiapkan diri memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Per 1 Januari 2016, seluruh negara Asia Tenggara terikat pada rezim perdagangan bebas yang disepakati. Lalu lintas barang dagangan dan jasa diyakini akan lebih intens. Dengan penduduk sekitar 620 juta jiwa, ASEAN adalah region yang terus berkembang di berbagai sektor, dan negara anggotanya ‘bersaing’ mendapatkan manfaat dari perkembangan itu.

Teoritisnya, MEA akan menyediakan kesempatan tak terbatas bagi para pemain bisnis di negara-negara ASEAN untuk mengembangkan kerajaan bisnis, serta memperluas fokus investasi, produksi dan pasar mereka di seluruh kawasan Asia Tenggara karena ASEAN menjadi kawasan ekonomi tanpa batas atau economically borderless (hal. 165-166).

Siap atau tidak, Indonesia juga harus menjalankan kesepakatan bersama itu serta siap pula menghadapi kemungkinan resikonya. Salah satu resiko yang mungkin akan dihadapi adalah resiko hukum. Sebelum MEA, sebenarnya negara-negara ASEAN sudah punya agreement seperti AFTA untuk liberalisasi hambatan perdagangan, dan ACIA untuk atasi hambatan investasi. Dalam hubungan dagang dan jasa itu sangat mungkin terjadi perselisihan (dispute). Pertanyaannya, apakah hanya G to G yang terikat? Seharusnya, perjanjian di antara negara-negara ASEAN tak hanya mengikat negara anggota tetapi juga mengikat orang dalam pengertian sebagai corporate entity (hal. 65).

JudulDispute Setllement Mechanism Under the ASEAN Legal Frameworks: a Collective Commitment Creating the Rules-Based ASEAN Economic Community
Penulis Dr. Ricardo Simanjuntak, SH., LL.M., ANZIIF, CIP
Penerbit Kontan Publishing, Jakarta
Cet-1 Tanpa tahun
Halaman 237 + xxviii
Judul buku ini diambil dari salah satu subbab yang secara khusus menyinggung mekanisme penyelesaian sengketa. Melalui perjanjian, negara-negara ASEAN telah membentuk hukum kawasan dan membentuk mekanisme penyelesaian sengketa. Penulis percaya pembuatan aturan main sangat penting sebagai dasar yang jelas bagi setiap negara (dan pelaku usaha) memainkan peran. Kalau ada pelanggaran atas perjanjian, misalnya, maka penerapan asas pacta sunt servanda menjadi kata kunci.

Buku ini mencoba menjelaskan urgensi dan menelusuri upaya negara-negara ASEAN menyusun mekanisme penyelesaian sengketa. Pasal 24 Piagam ASEAN (ASEAN Charter) sudah memberikan panduan. Sengketa-sengketa yang terkait dengan instrument ASEAN tertentu wajib diselesaikan melalui mekanisme dan prosedur seperti diatur dalam instrumen tersebut. Sengketa yang tidak berkaitan dengan penafsiran atau penerapan setiap instrument ASEAN diselesaikan secara damai sesuai dengan Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara dan aturan pelaksananya.

Kecuali khusus diatur, sengketa berkaitan dengan penafsiran atau penerapan perjanjian-perjanjian ekonomi ASEAN wajib diselesaikan sesuai ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism yang diteken wakil-wakil negara ASEAN di Manila pada 20 November 1996 (hal. 133), yakni melalui tiga tingkatan yang disebut dalam Protokol (hal. 135).

Sebagai seorang praktisi di bidang kepailitan, Ricardo juga menyinggung tentang pengaturan kepailitan lintas negara (cross-border insolvency regulations). Ia memang sudah berkali-kali mengangkat isu ini di Indonesia, dan sangat kontekstual ketika nanti wilayah operasional perusahaan-perusahaan sudah lintas negara. Bagaimana mekanisme penyelesaiannya jika ada permohonan pailit?

Pertanyaan-pertanyaan penting mungkin saja bisa diajukan para praktisi dan akademisi hukum ketika memasuki MEA. Buku yang ditulis Ricardo salah satu karya yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kalangan hukum tersebut. Itu pula sebabnya buku pendiri Law Firm Ricardo Simanjuntak & Partners ini menjadi semacam pedoman bagi praktisi dan akademisi hukum memasuki MEA. Urgensinya bisa dibaca dari komentar delapan orang praktisi hukum –antara lain Prof. Mieke Komar, Prof. Rehngena Purba, Prof. Hikmahanto Juwana, Firdaus Djaelani dan Otto Hasibuan-- yang memberi endorsement di bagian awal buku bersampul putih ini.

Selamat membaca…
Tags:

Berita Terkait