Self-Correction Bagi Administrasi Pemerintahan yang Baik
Kolom

Self-Correction Bagi Administrasi Pemerintahan yang Baik

Self-correction tidak saja menjadi asas yang berlaku dalam UU Administrasi Pemerintahan akan tetapi harus diimplementasikan secara baik dan sesuai dengan asas pemerintahan yang baik.

Oleh:
Junaedi
Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Pendahuluan 
Beberapa minggu lalu penulis dikejutkan oleh sebuah kabar dari seorang sahabat tentang keberanian seorang Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Pertanahan Provinsi Bali membatalkan Sertifikat Hak Guna Bangunan  (SHGB). Alasan pembatalan, karena berdasarkan pemeriksaan dan penelitian secara internal diketahui bahwa penerbitan SHGB pada tahun 1996 tersebut telah cacat administrasi. Mungkin sekilas, hal tersebut biasa saja bagi sebagian kalangan, akan tetapi langkah berani yang diambil oleh Kakanwil tersebut hendaknya bisa menjadi suatu best practice yang juga bisa diambil oleh aparatur pemerintahan dalam lingkungan pemerintahan yang lain.

Atas pembatalan tersebut, kemudian SK Kakanwil Bali digugat di PTUN yang saat ini sedang disidangkan. Kakanwil Bali sendiri secara serius menanggapi gugatan tersebut. Tulisan ini akan membahas sisi pentingnya otokoreksi atau self-correction dari seorang Pejabat TUN bagi adminstrasi pemerintahan ketika didapati bahwa terdapat kesalahan atau cacat administrasi. Sebagaimana diketahui bahwa asas otokoreksi ini adalah salah satu asas yang terdapat dalam UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Tulisan ini juga bermaksud menggugah Pejabat TUN untuk secara berani mengoreksi sendiri dalam hal terdapat kesalahan atau cacat admnistrasi dalam penerbitan suatu keputusan TUN, khususnya bidang pertanahan. Terlebih jika ditemui terdapat tumpang tindih sertifikat diatas objek yang sama, dimana otokoreksi adalah langkah yang diambil secara mandiri untuk penyelesaian tumpang tindih sertifikat di atas objek tanah yang sama. Langkah mandiri ini tentu saja dilakukan melalui langkah yang taktis dan strategis jauh sebelum para pihak bersengketa di pengadilan, sehingga tidak semua sengketa hak harus bermuara ke pengadilan. Meskipun keputusan tersebut dapat saja digugat di PTUN, namun yang bersengketa tidak lagi di antara pemilik sertifikat hak akan tetapi antara Pejabat TUN dan pemilik sertifikat hak yang dibatalkan dan pemilik hak yang dianggap sah menjadi Tergugat II Intervensi. 

Self-correction vs Maladministrasi
Tidak banyak artikel Indonesia yang membahas tentang self-correction terkait administrasi pemerintahan, akan tetapi bahasan memang lebih banyak diarahkan pada maladminstrasi, yang dalam menurut penulis jelas jauh berbeda perspektifnya. Dalam hal mana maladministrasi lebih bermakna negatif sedangkan self-correction adalah langkah positif memperbaiki cacat adminsitrasi dalam penerbitan suatu keputusan TUN. Bahkan jika self-correction tersebut tidak diambil padahal secara nyata dalam pemeriksaan atau penelitian internal ditemukan cacat administrasi, sikap diam tersebut malah dapat dikatakan sebagai maladministrasi.

Parlemen Uni Eropa memberikan pengertian maladministrasi sebagai berikut:
”Maladministration means poor or failed administration. This occurs if an institution fails to act in accordance with the law, fails to respect the principles of good administration, or if violates human rights”.

Berdasarkan pengertian sebagaimana tersebut di atas maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada pokoknya maladministrasi adalah kelemahan atau kesalahan dalam administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara administrasi. Hal ini bermakna bahwa proses pengadministrasian tidak dilakukan secara tepat, terarah dan jujur sehingga menimbulkan kerugian baik bagi pengguna hasil administrasi maupun bagi sistem pelaksanaan penyelenggaraan administrasi.

Sebagaimana telah diungkapkan dalam pengertian maladministrasi, bahwa hal ini terjadi ketika institusi publik tidak berhasil menjalankan mandat yang diberikan padanya melalui peraturan perundang-undangan atau asas-asas yang mengikatnya. Jadi dalam hal ini terjadi penyimpangan kewenangan dalam konteks pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang dimandatkan padanya. Dengan begitu pejabat publik yang bersangkutan telah menjalankan administrasi secara buruk (to administer badly).

Berdasarkan pengertian tersebut, maladministrasi dinilai sebatas ketidakberhasilan institusi publik dalam memenuhi kewajibannya menurut undang-undang atau asas-asas yang mengikat pejabat publik. Setiap pejabat publik dapat dikategorikan telah melakukan maladministrasi apabila ia melakukan penyimpangan, pelanggaran, atau mengabaikan kewajiban hukum dan kepatutan masyarakat sehingga tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik (good governance). Indikator yang dapat dijadikan sebagai ukuran penyimpangannya adalah peraturan hukum, kepatutan masyarakat serta asas umum pemerintahan yang baik.

Jelaslah bahwa otokoreksi justru penting bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dimana jika telah ditemukan adanya cacat administrasi maka segeralah diambil tindakan agar tidak justru masuk dalam kategori maladministrasi. Sikap mengambil tindakan segera yang dilakukan oleh kakanwil dalam hal ini membatalkan SHGB perlu mendapatkan apresiasi yang positif, karena telah menyelesaikan tumpang tindih kepemilikan sertifikat dalam objek yang sama. Dengan mengambil tindakan segera tersebut maka dapat dikatakan bahwa kakanwil telah pula mengembalikan hak hakiki dari sejatinya si pemilik hak milik atas objek tanah tersebut. Kakanwil yang mengambil tindakan self correction tersebut justru telah menghindari dari tuduhan melakukan maladministrasi.

Self-Correction dalam UU Administrasi Pemerintahan
Lahirnya UU Administrasi Pemerintahan adalah upaya strategis dari negara untuk menjamin hak-hak dasar serta memberikan jaminan penyelenggaraan negara sesuai dengan hukum, hal mana sebagaimana diatur dalam Konstitusi Pasal 27 (1), Pasal 28 D ayat 3, Pasal 28 huruf F, serta Pasal 28 huruf I ayat 2. Berdasarkan pasal dalam konstitusi tersebut maka peran warga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi sebagai objek akan tetapi sebagai subjek yang aktif ikut serta. Mengingat hal tersebut, fungsi korektif warga negara atas penyelenggaraan kepemerintahan sangat penting, semisal dengan menyampaikan secara resmi atas suatu keputusan TUN yang tidak sesuai dengan hukum. Laporan warga negara tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh pejabat TUN untuk selanjutnya diambil tindakan terdapat alasan untuk itu semisal temuan cacat administrasi.

Dalam hal ditemukan suatu cacat administrasi yang dalam UU Administrasi Pemerintahan dijabarkan lebih jauh dengan memberikan kategorisasi yaitu meliputi dan terbatas pada cacat dalam wewenang, cacat prosedur ataupun cacat substansi (Pasal 66 UU 30/2014). Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya maka cacat dalam wewenang, dalam hal ini jika suatu keptusan TUN diterbitkan oleh pejabat yang tidak memiliki wewenang untuk itu atau melampaui kewenangannya. Sedangkan cacat prosedur dapatlah diartikan bahwa dalam penerbitan keputusan TUN tersebut tidak dilakukan secara cermat atau menyalahi prosedur dalam penerbitannya, dalam hal ini tumpang tindih sertifikat dalam objek yang sama masuk dalam katagori ini, dimana dalam penerbitan salah satu dari sertifikat tersebut menyalahi prosedur penerbitan atau menyalahi kecermatan dalam penerbitannya. Biasanya suatu keputusan yang prosedurnya tidak sesuai dengan hukum maka secara substansi terdapat cacat meskipun tidak semua cacat prosedur akan juga cacat secara subtansi atau isi dalam keputusan TUN tersebut.

Lebih jauh, UU UU Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa dalam hal ditemukan suatu alasan untuk melakukan pembatalan terhadap suatu keputusan maka self-correction itu harus segera dilakukan (vide Pasal 66 ayat 4), dimana UU menentukan bahkan paling lama lima hari kerja harus segera diputuskan. Dalam hal ini jelaslah bahwa koreksi mandiri benar-benar didorong oleh UU Administrasi Pemerintahan untuk menjamin hak warga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jadi dalam hal ini seorang pejabat TUN yang menemukan adanya cacat administrasi dan dalam hal mana diberikan wewenang untuk membatalkan maka harus segera menerbitkan pembatalan tanpa harus menunggu adanya keputusan pengadilan. Jadi dalam hal ini inisiatif pembatalan datang dari hasil pemeriksaan internal dan ditemukan cacat sehingga perlu diambil tindakan segera.

Berbeda halnya jika terdapat perintah pengadilan untuk membatalkan maka sikap membatalkan harus diambil dalam kurun waktu 21 hari kerja semenjak perintah pengadilan itu terbit sedangkan keberlakuannya semenjak adanya penetapan pembatalan melalui keputusan TUN. Jadi dalam hal ini keputusan pengadilan tidak dapat dikatakan sebagai putusan yang serta merta berlaku, karena tetap memerlukan adanya penetapan pembatalan dari pejabat TUN yang berwenang untuk itu. 

Berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan tersebut ruang untuk self-correction diberikan ruang yang sangat memadai atau berdasar atas hukum. Lebih jauh lagi dengan adanya pengaturan ini maka terdapat demarkasi yang relatif tegas antara wewenang eksekutif dan yudikatif dimana peran eksekutif untuk melakukan koreksi mandiri lebih dimajukan dan tidak memerlukan penetapan pengadilan terlebih untuk menerbitkan suatu keputusan TUN yang sifatnya membatalkan tersebut. Bahkan peran yudikatif tetap perlu tindak lanjut dari eksekutif untuk melaksanakan perintah pembatalan dari pengadilan dan diberikan ruang lebih lama daripada suatu koreksi mandiri.

Apresiasi untuk Kakanwil Bali
Sebagaimana yang disampaikan dalam bagian pendahuluan, bahwa ternyata pasca ditetapkan UU Administrasi Pemerintahan telah ada sikap berani yang dilakukan oleh kakanwil Bali dalam membatalkan SHGB (1996) yang ditemukan tumpang tindih dengan SHM yang terbit 10 tahun lebih dahulu (1986). Self-correction yang dilakukan oleh Kakanwil tersebut patut diapresiasi karena telah menerapkan administrasi pemerintahan yang baik (good governance), karena dalam pertimbangan SK tersebut telah lebih dahulu dilakukan berbagai upaya yang meliputi dan tidak terbatas pada memanggil para pihak pemilik hak dalam objek yang sama tersebut, melakukan penelitian dan pemeriksaan secara seksama atas prosedur penerbitan kedua sertifikat tersebut, serta melakukan gelar perkara internal dan eksternal.

Berdasarkan hal tersebut diatas, jelaslah bahwa Kakanwil dalam menerbitkan SK pembatalan tersebut telah sangat hati-hati dan sangat prosedural hingga memakan waktu lebih dari satu tahun bahkan untuk pada akhirnya mengambil langkah pembatalan terhadap SHGB tersebut. Bahkan langkah pembatalan melalui SK Kakanwil tersebut juga didahului dengan adanya legal opinion dari Kepala Kejaksaan Tinggi yang pada pokoknya mendukung penerbitan SK dan mendasarkan kewenangan kakanwil yang terdapat dalam Pasal 74 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasaional No. 3 tahun 2011, yang mengatur hal sebagai berikut:

Pasal 74
“Kakanwil mempunyai kewenangan untuk membatalkan:
Keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kakan yang terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya;”

Memperhatikan berbagai hal tersebut diatas maka langkah Kakanwil Bali yang membatalkan SHGB karena ditemukannya cacat administrasi yang menimbulkan tumpang tindih adalah langkah penyelesaian yang sangat cermat, fair serta berdasarkan atas hukum. Langkah ini tidak saja menyelesaikan masalah tumpang tindih sertifikat akan tetapi sekaligus mengembalikan hak dari pemegang SHM atas tanah yang tumpang tindih tersebut. Langkah ini ada baiknya patut diikuti oleh pejabat TUN dalam bidang pertanahan di berbagai daerah untuk tidak membiarkan para pihak bersengketa akan tetapi juga mengambil langkah yang strategis dan kritis guna mengakhiri silang sengketa diantara para pihak tersebut. Terlebih lagi jelas jelas bahwa terdapat cacat administrasi dalam penerbitan sertifikat yang menumpang dan menindih sertifikat yang lebih dahulu terbit dan diterbitkan telah sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat penerbitan.

Self-correction tidak saja menjadi asas yang berlaku dalam UU Administrasi Pemerintahan akan tetapi harus diimplementasikan secara baik dan sesuai dengan asas pemerintahan yang baik. Jika memang terdapat temuan akan adanya cacat administrasi segeralah diambil tindakan, bukan lah dibiarkan hingga para pihak bertikai di pengadilan. Jika pembiaran atas cacat administrasi dilakukan maka sikap diam tersebut masuk dalam katagori maladministrasi. 

Penutup
Sebagai implementasi nilai ideal dari suatu negara yang berdasarkan atas hukum yang demokratis (Democratische Rechtstaat) maka penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya. UU Administrasi Pemerintahan diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepada warga masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan warga masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat terwujud. UU ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, UU Administrasi Pemerintahan harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.

Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum. UU ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.

Untuk itu self-correction sebagai asas yang diatur dalam Pasal 66 dalam UU Administrasi Pemerintahan memiliki peran yang sangat strategis dalam penerapan tata kelola kepemerintahan yang baik serta membangun budaya administrasi yang baik yaitu aparatur pemerintahan yang responsif serta kritis dalam menyikapi permasalahan administrasi pemerintahan yang diadukan warga masyarakat. Dukungan terhadap penerapan asas ini sangat penting bagi pembangunan kepemerintahan yang lebih baik di masa datang, dukungan positif juga harus diambil oleh atasan (Menteri Agraria dan Kepala BPN) dengan mengapresiasi keputusan yang telah diambil oleh Kakanwil Bali tersebut.

* Dosen Tetap FHUI
Tags:

Berita Terkait