10 Peristiwa Menarik Iringi 'Jatuh Bangun' KPK di 2015
Fokus

10 Peristiwa Menarik Iringi 'Jatuh Bangun' KPK di 2015

Hiruk pikuk melanda KPK di awal 2015.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Tahun 2015 mungkin menjadi ujian terberat bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga anti rasuah ini hampir berada di titik nadir ketika dua pimpinannya, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian. Padahal, ketika itu, KPK hanya memiliki empat pimpinan.

Peristiwa tersebut terjadi pasca KPK menetapkan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka. Hiruk pikuk pun melanda KPK. Hubungan KPK dan Polri menjadi tegang. Hingga akhirnya KPK kembali menemukan ritmenya. Berikut 10 peristiwa menarik sepanjang 2015 yang mengiringi “jatuh bangun” KPK.

1. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka
Pada 13 Januari 2015, dua pimpinan KPK, Abraham dan Bambang mengumumkan penetapan tersangka Budi Gunawan (BG). BG diduga menerima hadiah atau janji saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan dan Karier Mabes Polri. “Penyematan” status tersangka ini terjadi saat BG akan menjalani fit and proper test calon Kapolri di DPR.

Sontak, hal ini menuai pro dan kontra. Bagi mereka yang kontra, tentu merasa tindakan KPK sewenang-wenang. Namun, banyak pula yang mendukung KPK. Upaya KPK menindaklanjuti kasus BG terganjal karena minimnya saksi-saksi dari kepolisian yang memenuhi panggilan KPK. Bahkan, BG pun tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK.

Tak lama, BG bersama tim pengacaranya yang terdiri dari pengacara pribadi dan tim divisi hukum Mabes Polri mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. BG menganggap penetapannya sebagai tersangka tidak sah. Sementara, di sisi lain, dengan berbagai risiko, KPK tetap melanjutkan penanganan perkara BG.

Sejumlah pegawai dan keluarga pegawai KPK disebut menerima ancaman dan teror. Tiba-tiba pula muncul foto mesra mirip Abraham dan Putri Indonesia. Rupanya, keberuntungan tidak berada di pihak KPK. Hakim Sarpin Rizaldi membatalkan penetapan tersangka BG karena perkara BG tidak masuk lingkup kewenangan KPK.

Adapun upaya KPK untuk mengajukan kasasi, ditolak sejak awal oleh PN Jakarta Selatan. Sebab, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.8 Tahun 2011 tentang Perkara yang Tidak Memenuhi Syarat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), putusan praperadilan merupakan salah satu putusan yang tidak dapat dikasasi.

2. Gelombang praperadilan
Seketika pula putusan Hakim Sarpin menjadi sangat fenomenal. Para tersangka korupsi berbondong-bondong mengikuti jejak BG untuk membatalkan status tersangkanya ke pengadilan. Objek praperadilan juga diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK), hingga akhirnya MK mengukuhkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.

Tak pelak, KPK harus menghadapi gelombang praperadilan yang diajukan para tersangka korupsi. Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo tercatat ikut mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan.

Namun, dari sekian banyak praperadilan, hanya praperadilan Ilham dan Hadi yang dikabulkan. Praperadilan Ilham sempat dikabulkan, tetapi KPK menerbitkan Sprindik baru. Sementara, praperadilan Hadi dikabulkan dengan alasan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah. Terhadap putusan ini, KPK mengajukan PK.

Saat menghadapi gelombang praperadilan, KPK tidak ditopang dengan jumlah pegawai Biro Hukum yang cukup. Sampai-sampai, KPK harus memberdayakan sementara jaksa-jaksa di bidang penindakan untuk membantu di Biro Hukum. Gelombang praperadilan ini diakui KPK sangat menyita energi dan sumber daya manusia di KPK.

3. Penahanan BW, AS, dan Novel
Lepas dari gelombang praperadilan, empat pimpinan KPK diterpa dengan berbagai laporan pidana ke Bareskrim Mabes Polri. Bahkan, muncul sebuah tulisan “rumah kaca Abraham Samad” yang kemudian dilaporkan Plt Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristyanto ke Bareskrim.

Ketika itu, Kabareskrim Mabes Polri dijabat oleh Komjen (Pol) Budi Waseso. Pria yang akrab disapa Buwas ini pun menindaklanjuti laporan tersebut. Namun, proses penyidikan baru dilakukan terhadap Abraham dan Bambang, sedangkan terhadap dua pimpinan KPK lainnya, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain masih dalam penyelidikan.

Bambang dijadikan tersangka kasus kesaksian palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat MK. Sementara, Abraham diduga turut serta memalsukan dokumen bersama Feriyani Lim. Bareskrim sempat melakukan penangkapan terhadap Bambang. Bareskrim juga sempat ingin menahan Bambang.  

Selain Bambang dan Abraham, penyidik senior KPK, Novel Baswedan juga turut merasakan penangkapan yang dilakukan pihak Kepolisian. Novel ditangkap tengah malam di kediamannya. Akhirnya, KPK “kehilangan” dua pimpinannya, Bambang dan Abraham karena berstatus nonaktif setelah ditetapkan sebagai tersangka.

4. Presiden tunjuk pelaksana tugas pimpinan KPK    
Dengan ditetapkannya Abraham dan Bambang sebagai tersangka, pimpinan KPK hanya tersisa dua orang. Presiden Joko Widodo lalu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2015 untuk mengangkat Taufiequrrahman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi sebagai pelaksana tugas pimpinan KPK.

Presiden berharap penunjukan ketiga pelaksana tugas pimpinan KPK itu akan memperbaiki hubungan KPK dan Polri. Nyatanya, hubungan KPK dan Polri belum sepenuhnya membaik. Buwas sempat memperkarakan kepemilikan senjata api 21 penyidik KPK. Hal itu langsung diluruskan Ruki dengan bertemu Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.

Setelah permasalahan itu selesai, hubungan KPK dan Polri kembali memanas karena beberapa kali pihak kepolisian ingin menahan Bambang, Abraham, dan Novel. Akan tetapi, penahanan tidak jadi dilakukan karena pimpinan KPK langsung berkoordinasi dengan Kapolri dan menjaminkan diri untuk penangguhan penahanan.

Sampai akhirnya, Buwas dicopot sebagai Kabareskrim dan digantikan oleh Komjen (Pol) Anang Iskandar. Hubungan KPK dan Polri tidak segaduh sebelumnya. Bahkan, Anang ingin menunjukan kemesraan hubungan KPK dan Polri dengan menyambangi pimpinan KPK tak lama setelah ia dilantik sebagai Kabareskrim.

5. Demo pegawai KPK
Masuknya Ruki dan Indriyanto sebagai pelaksana tugas pimpinan KPK ternyata sempat menuai kritikan dari internal KPK. Terlebih lagi, ketika pelaksana tugas pimpinan KPK tersebut memutuskan untuk melimpahkan perkara BG ke Kejaksaan Agung. Para pegawai yang tergabung dalam Wadah Pegawai KPK melakukan aksi di gedung KPK.

Mereka menganggap pelaksana tugas pimpinan KPK kurang berani. Mereka juga memajang spanduk panjang berisi tanda tangan para pegawai KPK yang menyatakan protes atas sikap pimpinan KPK. Mereka berkumpul di luar gedung KPK sambil melakukan aksi protes. Karangan bunga pun dikirim untuk pimpinan KPK.

Aksi itu sempat berusaha diredam oleh Ruki. Pensiunan Polisi ini bergabung dengan para pegawai KPK. Ia meminta para pegawai KPK masuk dan berbicara langsung dengan pimpinan KPK. Akibat demo dan karangan bunga tersebut, beberapa pegawai KPK mendapat sanksi, mulai dari sanksi teguran hingga sanksi berat.

6. Operasi Tangkap Tangan
Pasca hiruk pikuk, KPK kembali menunjukan “taringnya”. Pada April 2015, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota DPR Adriansyah. Politisi PDIP ini ditangkap usai menerima suap dari seorang pengusaha bernama Andrew Hidayat. Ironisnya, penerimaan suap itu terjadi di sela-sela Kongres PDIP di Bali.

Selain Adriansyah, pada Juni 2015, KPK juga menangkap anggota DPRD Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Setelah itu, masih ada beberapa lagi OTT yang dilakukan KPK, antara lain penangkapan anggota DPR Dewie Yasin Limpo, anggota DPRD Banten, dan paling menyita perhatian adalah penangkapan hakim PTUN Medan dan anak buah OC Kaligis.

Betapa tidak, penangkapan hakim PTUN Medan dan anak buah OC Kaligis itu menjadi pintu masuk KPK untuk menangkap advokat senior OC Kaligis, serta Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti. Sempat terjadi drama saat penangkapan karena OC Kaligis merasa diculik petugas KPK.

OC Kaligis bahkan terus-menerus “menyerang” KPK dengan isu pelanggaran HAM. Mulai dari penculikan, pemaksaan saat pemeriksaan, pengusiran pengacara di rumah tahanan, sampai isu kesehatan. Namun, isu-isu itu ditepis KPK. Bahkan, saat persidangan, KPK membeberkan bagaimana sikap OC Kaligis selama menjalani pemeriksaan kesehatan.

7. Kasus OCK, Gatot, Rio Capella, hingga penarikan jaksa Yudi Kristiana
Kasus yang menjerat Gatot dan istrinya ini membuka tabir keterlibatan oknum partai penguasa, yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Sebagaimana diketahui, hubungan Gatot dan wakilnya, Tengku Erry Nuradi tidak harmonis, sehingga berlanjut ke permasalahan hukum di Kejaksaan Agung (Kejagung). Erry sendiri adalah kader Nasdem.

Walau kasus itu masih dalam tahap penyelidikan, nama Gatot sudah dicantumkan sebagai orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi alias “tersangka”. Gatot dan istrinya pun khawatir dengan permasalahan hukum di Kejagung. Mereka meminta bantuan OC Kaligis dan Sekjen Nasdem Patrice Rio Capella untuk mengislahkan Gatot dengan Erry.

Alhasil, islah terjadi di kantor DPP Nasdem yang juga dihadiri Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Tidak hanya islah, Gatot juga meminta bantuan Rio untuk “mendudukkan” perkara ke Jaksa Agung M Prasetyo yang merupakan kader Nasdem. Untuk jasa Rio, Evy melalui Fransisca Insani Rahesti memberikan uang “ngopi-ngopi” sebesar Rp200 juta kepada Rio.

Di pengadilan, terungkap pula ada aliaran dana sejumlah Rp500 juta kepada Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung, Maruli Hutagalung. Saat bersaksi dalam sidang perkara Rio, Evy mengaku, sesuai penyampaian OC Kaligis kepadanya, ada pemberian uang kepada Maruli. Hal itu dibenarkan pula oleh Gatot.

Akibat penanganan  kasus Rio, Surya Paloh harus menjalani pemeriksaan di KPK sebagai saksi. Jaksa Agung pun terganggu dengan pengakuan Gatot dan Evy. Namun, pada kenyataannya, status “tersangka” Gatot hilang begitu saja pasca islah. Kejagung baru menetapkan Gatot sebagai tersangka kasus Bansos pada November 2015.

Kasus Rio sekaligus menutup karier jaksa Yudi Kristiana di KPK. Meski masa tugasnya di KPK belum berakhir, ketua tim penuntut umum kasus OC Kaligis dan Rio ini ditarik institusi asalnya untuk menempati posisi Kepala Bidang Penyelenggara pada Pusat Pendidikan, Pelatihan Manajemen, dan Kepemimpinan, Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejagung.

8. Kisruh RUU KPK
Rencara revisi Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK beberapa kali dihembuskan sepanjang 2015. Bahkan, beredar draf revisi versi pemerintah yang isinya dianggap melemahkan dan mereduksi kewenangan KPK. Pemerintah akhirnya menarik usulan dan inisiatif revisi UU KPK diambil alih DPR.

Atas rencana revisi UU KPK, pimpinan KPK berkali-kali menolak. Namun, pimpinan KPK terlihat tidak kompak ketika Ruki di DPR menyatakan setuju untuk merevisi UU KPK. Tuduhan ini buru-buru diluruskan pimpinan KPK yang lain, Johan Budi dengan mengatakan jika Ruki menyetujui revisi UU KPK dengan syarat.

Syarat yang dimaksud adalah harmonisasi dengan undang-undang lainnya terlebih dahulu. Adapun empat poin utama yang menjadi syarat revisi adalah penguatan kewenangan penyadapan KPK, penyempurnaan kewenangan KPK dalam mengeluarkan SP3, pemberian kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik sendiri, serta pembentukan dewan pengawas.

9. RJ Lino tersangka           
Sebelum mengakhiri masa jabatannya, pelaksana tugas pimpinan KPK memberikan “kado” penetapan tersangka Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino. Kasus RJ Lino menyita perhatian karena kasus sebelumnya yang ditangani Bareskrim Mabes Polri disebut-sebut menjadi salah satu penyebab terpentalnya Buwas dari kursi Kabareskrim.

Tindakan Buwas yang menggelah kantor Pelindo II diadukan Lino secara terbuka ke Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil. Lino bahkan mengancam akan mengundurkan diri. Menteri BUMN Rini Soemarno pun menelepon Kapolri menanyakan soal penggeledahan. Tak lama, Buwas dicopot karena dianggap sering membuat “kegaduhan”.

Namun, kasus yang ditangani Bareskrim berbeda dengan yang ditangani KPK. Bareskrim menangani dugaan korupsi pengadaan 10 unit mobile crane di Pelindo II tahun 2012 senilai Rp45 miliar, dimana bukan Lino yang ditetapkan sebagai tersangka. Sementara, kasus yang ditangani KPK adalah dugaan korupsi pengadaan tiga unit QCC di Pelindo II tahun 2010.

10. Pimpinan KPK baru
Delapan nama yang diberikan panitia seleksi (Pansel) calon pimpinan KPK ke DPR sempat menjadi perdebatan. Pasalnya, tidak ada satu pun unsur jaksa dalam nama-nama tersebut. Meski sempat tersiar kabar DPR akan mengembalikan nama-nama calon pimpinan (capim) KPK ke Presiden, nyatanya DPR telah memilih lima nama.

Kelima nama itu adalah mantan Kepala LKPP Agus Rahardjo, perwira tinggi Polri Basaria Panjaitan, dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Laode M Syarif, mantan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) Saut Situmorang, dan hakim ad hoc tipikor Alexander Marwata. Agus didapuk sebagai Ketua KPK dengan suara terbanyak.

Gebrakan kelima pimpinan baru KPK ini menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu, mengingat sebelumnya banyak yang meragukan kapasitas, kompetensi, dan integritas mereka. Namun, seolah menjawab keraguan publik, Agus saat serah terima jabatan di KPK menyatakan, penindakan tidak boleh dilemahkan.

“Hampir semua dari kami (lima pimpinan KPK jilid IV) walau yang dikedepankan hal-hal yang bukan penindakan, kami ingin menyeimbangkan pencegahan dan penindakan. Penindakan sama sekali tidak boleh dilemahkan dan harus diperkuat,” tuturnya sambil menambahkan sebaiknya memprioritaskan perkara “Big Fish”.
Tags:

Berita Terkait