Telah Terbit Aturan Evaluasi Izin Usaha Tambang
Berita

Telah Terbit Aturan Evaluasi Izin Usaha Tambang

Titik berat tanggung jawab ada pada Gubernur.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pertambangan. Foto: ADY
Ilustrasi pertambangan. Foto: ADY
Di penghujung tahun 2015, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, menerbitkan aturan terait dengan pelaksanaan evaluasi izin usaha pertambangan (IUP). Melalui Peraturan Menteri ESDM No.43 Tahun 2015, Sudirman ingin melaksanakan pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah di sektor pertambangan. Hal itu diamanatkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam Pasal 2 Permen ESDM No. 43 Tahun 2015 diatur bahwa Bupati atau Walikota memiliki kewajiban untuk melaporkan dokumen perizinan di bidang mineral maupun batu bara. Ada dua ketentuan terkait dengan pihak yang wajib dilaporkan. Pertama, jika perusahaan yang memiliki IUP adalah perusahaan dengan modal dalam negeri (PMDN), maka dokumen disampaikan kepada Gubernur. Selanjutnya, dokumen yang disampaikan oleh bupati atau walikota akan dievaluasi oleh Gubernur. Bila perusahaan berbentuk penanaman modal asing (PMA), maka harus dilaporkan kepadaMenteri ESDM.

Sementara itu, jika IUP diberikan di dalam wilayah yang lintas kota, kewajiban pelaporan berada di pundak Gubernur. Untuk perusahaan PMDN, dokumen disampaikan kepada Dirjen Minerba. Sedangkan dokumen perusahaan PMA disampaikan langsung kepada Menteri ESDM.

Pasal 5 mengatur bahwa evaluasi IUP dilakukan terhadap dua hal. Petama, penyesuaian IUP dari kuasa pertambangan (KP). Kedua, KP yang belum berakhir jangka waktunya tetapi belum menjadi IUP.

Ada lima kriteria yang menjadi dasar evaluasi IUP. Pertama adalah hal-hal yang terkait deng administrasi. Selanjutnya, masalah kewilayahan. Kemudian, persoalan yang bersifat teknis. Keempat, evaluasi terkait dengan lingkungan. Terakhir, masalah finansial.

Menurut Pasal 7 Permen ESDM tersebut, setelah dilakukan evaluasi terhadap IUP maupun KP yang belum menjadi IUP, gubernur maupun Dirjen Minerba bisa melakukan tindakan pencabutan. Hal itu bisa terjadi jika permohonan perpanjangan dilakukan setelah masa berlaku IUP atau KP. Atau, jika pencadangan maupun permohonan KP dilakukan setelah UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba berlaku.

Di sisi lain, jika dari hasil evaluasi administratif ditemukan KP Eksploitasi yang bukan peningkatan dari KP Eksplorasi maka gubernur atau Dirjen Minerba juga boleh melakukan pencabutan. Hanya saja, menurut Pasal 8 pencabutan IUP itu dikecualikan bagi koperasi.

Semua kewenangan evaluasi yang dilakukan oleh gubernur, dibatasi oleh waktu. Pasal 21 Permen ESDM mengatur bahwa hasil evaluasi harus disampaikan kepada Menteri ESDM paling lambat 90 hari kalender. Tenggat waktu tersebut dihitung sejak penandatanganan berita acara serah-terima dokumen perizinan dari bupati atau walikota.

Nantinya, hasil laporan gubernur tersebut akan menjadi dasar bagi Kementerian ESDm untuk mengumumkan status clean and clear (CnC). Kendati demikian, hasil evaluasi IUP maupun rekomendasi (CnC) dari gubernur sebelum Permen ESDM No. 43 Tahun 2015 ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku. Hanya saja, gubernur harus menyampaikannya kepada Menteri ESDM terhitung 90 hari kalender sejak Permen ESDM No. 43 Tahun 2015 ditetapkan.

Ketua Indonesia Mining Association (IMA) atau Asosiasi Tambang Indonesia, Martiono Hadianto, mengakui hingga saat ini masih banyak IUP yang belum mengantongi status CnC. Menurut perhitungannya, lebih dari separuh IUP yang bermasalah. Ia menuturkan, kebanyakan masalah terjadi di tataran administrasi.

"Dari 10.640 izin tambang yang diberikan kepada pengelola, lebih dari 50 persen bermasalah di tingkatan administrasi, atau tidak beres data-datanya," tuturnya.

Selain status usaha yang tidak jelas, menurut Martiono, banyak juga pemegang IUP yang tidak melakukan kegiatan pertambangan. Bahkan, ia mengaku ada izin usaha pertambangan yang diperjualbelikan. Akibatnya, penyelundupan tambang semakin meningkat.

Hal tersebut menurutnya membuat lingkungan area tambang banyak semakin rusak. Kegiatan pertambangan yang tidak terkendali juga membuat cadangan banyak terkuras tanpa diketahui oleh pemerintah. Martiono pun menyesalkan, negara tidak mendapat manfaat maksimum dalam bentuk penerimaan negara dan daerah di sektor ini.  

Lebih lanjut Martiono menjelaskan, banyak dugaan bahwa masalah perizinan itu muncul lantaran izin tersebut tidak diproses, melainkan dijual oleh pihak terkait. Menurutnya, tambang-tambang lokal banyak dilegalkan oleh pihak pemerintah daerah.

"Seharusnya, terkait peraturan, pemrintah daerah ataupun pemerintah provinsi adalah kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, atas regulasi tambang, bukan malah terkesan memiliki otonomi sendiri," katanya.
Tags:

Berita Terkait