Advokat Ini Minta MK Tegakkan Keadilan Subtansial
Berita

Advokat Ini Minta MK Tegakkan Keadilan Subtansial

Ada advokat yang memandang Pasal 158 UU Pilkada sudah tepat karena sebagai filter.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang perdana sengketa pilkada di Gedung MK, Kamis (7/1). Foto: RES
Suasana sidang perdana sengketa pilkada di Gedung MK, Kamis (7/1). Foto: RES
Agenda sidang sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah memasuki tahap jawaban Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Tentunya, KPU sejumlah kabupaten/kota dan provinsi ini menanggapi semua tudingan kecurangan/pelanggaran dari 147 materi permohonan yang telah disidangkan sebelumnya.

Hingga persidangan tahap kedua ini sejumlah kuasa hukum pemohon sengketa Pilkada masih mengeluhkan berlakunya Pasal 157 dan Pasal158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Pasal itu terkait kewenangan MK dan syarat selisih suara maksimal 2 persen sebagai syarat menggugat hasil pilkada.

Kuasa Hukum Pemohon Pilkada Provinsi Bengkulu, Yusril Ihza Mahendra mengatakan sesuai Pasal 157 dan Pasal 158 UU Pilkada, MK hanya mengadilli penghitungan hasil selisih suara dalam Pilkada, tidak mengadili sebab mengapa hasil pilkada seperti itu. “Kalau MK kaku terhadap kedua pasal itu, lebih dari 50 persen permohonan bisa ‘rontok’ di tengah persidangan,” ujar Yusril usai bersidang di gedung MK, Selasa (12/1).

Penasehat hukum pasangan Sultan B Najamudin dan Mujiono ini mengaku selisih suara kliennya 14,73 persen dengan perolehan suara pemenang pemilihan gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti dan Rohidin Mersyah. Dia mengungkapkan ada keputusan DKPP terkait terbuktinya pelanggaran money politic dengan memecat penyelenggara pilkada, tetapi tidak mendiskualifikasi pemenang. “Kalau MK ‘kaku’, permohonan ini tidak diterima saja dalam putusan sela,” kata dia.

Yusril belum bisa memperkirakan arah sikap MK terkait Pasal 158 UU Pilkada. Menurutnya, arah sikap putusan MK hanya ada dua kemungkinan yakni MK berpegang pada peraturan perundang-undangan atau mengesampingkan UU demi keadilan. “Saya rasa semua pemohon pilkada masih meraba-raba dengan sikap MK. Tetapi, sebenarnya hak seseorang mencari keadilan tidak bisa dibatasi Undang-Undang,” kata dia.

Yusril berharap MK lebih mengedepankan atau menegakkan keadilan (substansial) ketimbang terpaku pada hitung-hitungan selisih suara. Artinya, tidak semua permohonan yang selisihnya di atas 2 persen harus tidak diterima atau ditolak. Seperti Pilkada di Kabupaten Mamberamo Raya yang selisih suara pemohonnya melebihi 2 persen dengan pemenang. Namun, surat suara di 12 TPS dicoblos oleh satu orang.

“Boleh dikatakan 12 TPS di Memberamo Raya yang masing-masing TPS sekitar 1.800-an pemilih, tidak ada pemungutan di situ. Ada empat pasangan calon, tetapi yang dicoblos hanya satu pasangan. Ini kan aneh, seharusnya MK mengabulkan dengan menyatakan 12 TPS itu dilakukan pemungutan suara ulang,” kata Yusril mencontohkan.

Kuasa hukum pemohon pasangan Pilkada Kabupaten Gresik, Mohammad Sholeh mengatakan aturan selisih suara sengketa pilkada merupakan aturan baru. Advokat yang mewakili pasangan Husnul Khuluq dan A. Rubaie ini mengaku memiliki selisih suara sekitar 40 persen dengan pemenang pilkada Gresik (Sambari Halim Radianto-Mohammad Qosim).

Meski begitu, baginya praktik peradilan sengketa hasil pilkada yang lahir dari putusan MK sebelumnya tidak pernah mempersoalkan aturan-aturan seperti itu. “Dulu, istilah pemungutan suara ulang dan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) juga tidak ada dalam Undang-Undang. Istilah itu lahir dari putusan-putusan MK. Seperti, kasus putusan sengketa pilkada Kotawaringin Barat, MK jelas-jelas menyatakan tidak mau terkungkung oleh aturan-aturan yang menghalangi hak konstitusional warga negara,” kata Sholeh di gedung MK.

“Selisih suara kita 40 persen dengan incumbent, yang jelas-jelas melanggar UU Pilkada. Tetapi, sejak awal kita yakinkan kalau kita ingin mencari keadilan substansial sesuai putusan MK, bukan keadilan prosedural. Siapapun boleh jadi kepala daerah sepanjang dengan cara-cara konstitusional, bukan melanggar hukum.”

Dia yakin penanganan kasus-kasus sengketa Pilkada Serentak 2015 ini, MK tidak terkungkung dengan Pasal 158 UU Pilkada dan Peraturan MK No. 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan MK No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada.

“Saya yakin MK belum tentu mengikuti pasal itu. Kalau MK terjebak pasal itu, sama saja MK melegalkan money politic dan jenis pelanggaran lain yang bersifat TSM,” kata Advokat asal Surabaya ini.

Hal senada disampaikan kuasa hukum, pasangan Jusuf SK-Marthin Billa, Andi Syafrani. Advokat calon pasangan gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) itu meminta MK mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 2, Irianto Lambrie dan Udin Hianggio. Pasangan ini dituding melakukan pelanggaran yang bersifat TSM.

Seperti, maraknya praktik politik uang secara masif, keterlibatan Pj Bupati Kaltara Triyono Budi Sasongko bersama aparat pemerintahan di bawahnya untuk mengarahkan pasangan nomor urut 2, dan adanya kampanye terselubung dengan dalih bantuan sosial Provinsi Kaltara.

Menurutnya, MK sebagai pengawal Konstitusi dalam pemilihan kepala daerah wajib menegakkan keadilan tanpa terkungkung dengan norma prosedural syarat persentase selisih suara semata. “Sebuah kemunduran hukum bila MK sebagai penjaga terakhir konstitusi, demokrasi, dan keadilan terkungkung oleh syarat-syarat formil dalam mengadili perkara dengan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran,” tegasnya.

Sebagai filter
Kontras, kuasa hukum pasangan pemenang Pilkada Provinsi Bengkulu, Ridwan Muktie dan Rohidin, Yusuf Emir Faisal, berpendapat Pasal 158 UU Pilkada sebagai filter (penyaring) untuk membatasi perkara-perkara sengketa pilkada di MK. Menurutnya, apabila tidak dibatasi akan banyak sekali permohonan sengketa pilkada yang tidak memiliki dasar dan legal standing yang jelas, tetapi tetap diajukan ke MK.

“Saya pikir Pasal 158 UU Pilkada sudah tepat untuk membatasi, kalau tidak jumlah sengketa pilkada serentak bisa membludak di MK. Selain itu, apabila selisih suaranya di atas 2 persen, apapun yang didalilkan akan sulit dikabulkan, kecuali kalau benar-benar terjadi pelanggaran yang bersifat TSM,” kata Yusuf di tempat yang sama.
Tags:

Berita Terkait