Sistem Antigratifikasi OJK Diklaim Lebih Ketat Dari KPK
Berita

Sistem Antigratifikasi OJK Diklaim Lebih Ketat Dari KPK

KPK hanya melarang pegawai dan keluarga inti menerima gratifikasi, sedangkan OJK dari pegawai, keluarga inti hingga kerabat yang terafiliasi seperti orang tua asuh.

Oleh:
FAT/ANT
Bacaan 2 Menit
Gedung OJK. Foto: RES
Gedung OJK. Foto: RES


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim menggunakan sistem antigratifikasi yang lebih ketat kepada pegawainya dibanding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). alasan ketatnya sistem antigratifikasi, karena OJK bertanggung jawab untuk mengawasi industri yang asetnya sangat besar.

"Kami harus jaga trust (kepercayaan), karena kami diamanatkan untuk awasi industri keuangan yang aset dan kapitalisasinya Rp11 ribu triliun," kata Ketua Dewan Audit OJK Ilya Avianti di Jakarta, Selasa (12/1).

Ilya mengatakan, untuk menerapkan program pengedalian gratifikasi bagi pegawainya OJK sudah bekerja sama dengan KPK. Standar sistem antigratifikasi yang ketat itu terlihat dengan adanyalarangan pegawai, keluarga pegawai, serta kerabat yang terafliasi dengan pegawai untuk menerima pemberian yang dari pihak yang terkait dengan pengaturan dan pengawasan OJK.

"Kami larang pegawai hingga afliasinya, seperti orang tua asuh, anak asuh untuk menerima gratifikasi. Kalau KPK, hanya keluarga intinya saja," ujar dia.

Sejak prosedur pengendalian gratifikasi diterapkan pada November 2015, lanjut Ilya, Dewan Audit OJK sudah mendapat laporan dari 7 pegawai OJK tentang pemberian yang bisa diidentifikasi sebagai gratifikasi. Total nilai pemberian itu mencapai Rp24 juta. Hingga kini pihaknya masih mengkaji laporan tersebut.

"Ini pegawai OJK yang melaporkan apa yang mereka terima. Nanti kami nilai, apakah itu gratifikasi atau bukan," tutur dia.

Ilya mengatakan, OJK sudah membentuk unit khusus yang mengadposi ketentuan dari KPK untuk pengendalian gratifikasi ini. Di samping pengendalian antigratifikasi, menurutnya, dua pengawasan internal lain yang sudah diterapkan adalah sistem pengungkap masalah atau whistle blowing system (WBS). Sistem ini sudah diterapkan sejak April 2015.

Hingga saat ini, kata dia, terdapat 77 laporan dari WBS, yang didominasi oleh pengaduan ketidakpuasan pelayanan, dan sejumlah masalah etik seperti perselingkuhan. Dari seluruh laporan, lanjut Ilya, belum ada laporan yang berkaitan dengan penyelewengan material atau fraud yang dilakukan pegawai OJK.

Sistem ketiga yang telah dijalankan adalah sistem anti-fraud. Sistem ini, kata Ilya, menekankan pada sosialisasi, dan deteksi dini kepada pegawai OJK dari potensi fraud. "Sekarang sedang kita proses, ada yang ke ranah etik, ada juga yang lebih ke masalah pelayanan," ujar dia.

OJK pada 2016 menargetkan dapat memperkuat sistem combined assurance OJK, yakni integrasi tiga tahapan pengawasan internal OJK, baik dari pengawasan oleh satuan kerja, oleh Direktorat Manajemen Risiko dan Pengendalian Kualitas, serta dari Dewan Audit dan Auditor Eksternal.

"Tahun ini jadi tahun penguatan integritas, dan tahun depan peguatan governance OJK," ujar Ilya.

Catatan hukumonline, mengenai gratifikasi diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam pasal itu disebutkan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) UU itu menyatakan, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut berlaku baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pasal 12 C ayat (1) UU yang sama memberikan pengecualian, bahwa ketentuan Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Frasa “penyelenggara negara” yang wajib melaporkan gratifikasi dalam Pasal 12 B ayat (1) UU Tipikor diatur dalam Bab II Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Mereka antara lain pejabat negara pada lemba tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, duta besar, wakil gubernur, bupati/walikota dan wakilnya, komisaris, direksi dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan perguruan tinggi, pimpinan eselon satu dan pejabat lain yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer, jaksa, penyidik, panitera pengadilan, pimpinan proyek, bendaharawan proyek dan pegawai negeri.
Tags:

Berita Terkait