Fenomena Drone: Tantangan Baru Bagi Hukum Udara Indonesia
Kolom

Fenomena Drone: Tantangan Baru Bagi Hukum Udara Indonesia

Kritik pantas dilayangkan terhadap keberadaan syarat administratif pada Permenhub No. 90, tepatnya mengenai dokumen asuransi dan perihal kompetensi pilot.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Kehadiran pesawat udara tanpa awak (terkenal dengan sebutan unmanned aerial vehicle atau drone) bukanlah sesuatu yang asing di Indonesia. Saat ini drone dapat dibeli atau dipesan dari berbagai tempat dengan harga beragam mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta Rupiah. Spesifikasinya pun beragam, mulai dari yang dikendalikan remote control sederhana dengan jangkauan sebatas jarak pandang hingga yang dapat menjelajah puluhan atau ratusan kilometer dengan teknologi visual. Keberadaan dan fungsinya juga tidak kalah bervariasi, mulai dari sekadar mainan bagi para penghobi hingga untuk patroli batas wilayah negara.

Drone yang semakin membanjiri ruang udara Indonesia berpotensi menimbulkan permasalahan (hukum) baru. Sebagai contoh, drone yang berkeliaran bebas tanpa aturan dapat mengganggu keselamatan penerbangan nasional. Bayangkan seandainya drone terbang seenaknya di sekitar bandara lalu menabrak pesawat terbang atau merusak fasilitas yang ada. Sangat mungkin korban jiwa berjatuhan, yang kemudian disertai kerugian materiil. Lantas muncul pertanyaan lanjutan: siapakah yang bertanggung jawab dan sejauh mana?

Pemerintah bertindak cepat menanggapi fenoma drone di tanah air dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 (“Permenhub No. 90”). Langkah pemerintah yang mengupayakan agar (produk) hukum sesuai dengan perkembangan zaman perlu diapresiasi, terlepas dari ‘kesederhanaan’ peraturan tersebut. Tujuan utamanya tidak lain untuk memastikan dan meningkatkan keselamatan penerbangan di Indonesia, baik sipil maupun militer.

Permenhub No. 90 menetapkan ketinggian 150 meter (500 ft) sebagai batasan dimana pengoperasian drone di atas ketinggian tersebut harus mendapatkan izin dari Departemen Perhubungan. Peraturan ini juga melarang drone untuk beroperasi di sekitar kawasan keselamatan operasi penerbangan bandara. Melihat urgensi nyata di lapangan, dapat dikatakan kedua ketentuan tersebut adalah nyawa peraturan ini.

Kritik pantas dilayangkan terhadap keberadaan syarat administratif pada peraturan ini, tepatnya mengenai dokumen asuransi dan perihal kompetensi pilot. Kedua hal ini berpotensi menimbulkan suatu pertanyaan baru yang kompleks. Kesiapan perusahaan asuransi guna mendukung aktivitas drone masih merupakan suatu tanda tanya. Berapa besaran ganti kerugiannya juga masih merupakan sesuatu yang abu-abu. Sebagai contoh, jika drone yang dioperasikan oleh perusahaan swasta atas nama BPPT untuk mengamati cuaca di perbatasan Kalimantan jatuh dan merusak perkampungan Malaysia, patut direnungkan apakah perusahaan asuransi bersedia menanggungnya seandainya besaran yang dituntut di pengadilan Malaysia jauh lebih besar dari yang tertera pada polis asuransi. Masalah hukum perdata internasional sangat erat kaitannya dengan hal ini.

Kemudian mengenai kompetensi pilot, Departemen Perhubungan harus dapat menjelaskan apakah pilot drone dikecualikan dari definisi pilot yang kita kenal secara lazim. Apapun jawabannya, diperlukan penjelasan lebih rinci guna menghindari multitafsir yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan nasional di kemudian hari. Jangan sampai kedua syarat administratif tersebut justru menghambat pemanfaatan drone bagi kepentingan pemerintah seperti patroli batas wilayah negara, pengamatan cuaca, hingga operasi search and rescue (SAR).

Dunia penerbangan Indonesia sedang memasuki era baru dimana drone berpotensi menjadi tulang punggung negara dalam beberapa tahun mendatang. Dibutuhkan peraturan baru guna menyempurnakan Permenhub No. 90 yang masih terlalu sederhana, tepatnya hanya sarat akan ketentuan teknis. Peraturan mengenai drone juga tidak terpisahkan dari isu lainnya, seperti privasi. Maka sudah jelas urgensi akan suatu lex specialis yang kompleks mengenai keberadaan drone di Indonesia.

Tidak lupa perlu dipertimbangkan akan diadakannya suatu kajian terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“Undang-Undang Penerbangan”) mengingat kehadirannya yang jauh lebih tua dibandingkan kehadiran drone di Indonesia. Jarak enam tahun antara kehadiran Undang-Undang Penerbangan dengan maraknya drone di Indonesia menimbulkan suatu perdebatan apakah ketentuan-ketentuannya sudah sesuai dengan perkembangan terkini.

Dalam konteks cita-cita Indonesia menjadi maritime axis di dunia, kehadiran Permenhub No. 90 sangat mendukung operasi pemerintah di lapangan. Keberadaan peraturan tersebut telah melegalkan patroli maritim beserta segala bukti yang didapatkannya yang menggunakan drone guna menangani permasalahan penangkapan ikan ilegal (illegal fishing). Keberadaan instrumen hukum membuktikan bahwa kita bukan bangsa barbar yang semena-mena mengambil tindakan terhadap pihak asing yang berada di wilayah perairan kita.

Akhir kata, keberadaan Permenhub No. 90 harus dipandang sebagai suatu pilar menuju bangsa dirgantara. Tidak ada hukum yang sempurna, sehingga kajian harus terus berlanjut agar hukum tidaklah statis, tetapi dinamis. Kehadiran drone harus dijadikan pemicu guna menghidupkan kembali tradisi riset pada badan penelitian dan pengembangan (litbang) Departemen Perhubungan. Litbang bukanlah ‘sulit berkembang’ sebagaimana diplesetkan orang-orang, melainkan salah satu ujung tombak kebangkitan dunia penerbangan nasional.
Tags:

Berita Terkait