Hoegeng, Polisi Sederhana Tak Mengejar Jabatan
Resensi

Hoegeng, Polisi Sederhana Tak Mengejar Jabatan

“God verdomme! Kamu tahu, kalau papi mu jadi Dubes kerjanya hanya seremonial seperti bertemu dengan perwakilan pemerintah negara asing sambil minum atau makan. Padahal di negara kita ini banyak rakyat yang tengah kesulitan hidupnya, dan untuk makan dan minum saja sulit”.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Nama Hoegeng Iman Santoso, bagi Korps Bhayangkara menjadi sosok polisi yang penuh keteladanan. Figur pejabat Kapolri pertama yang jujur, sederhana, disiplin dan memegang prinsip dalam hidupnya, bukan hisapan jempol belaka. Bahkan, pasca diberhentikan dari jabatan Kapolri dalam usia yang muda, Hoegeng menolak menerima tawaran jabatan sebagai Duta Besar (Dubes) di berbagai negara.

Kisah perjalanan karier Hoegeng sebagai seorang pejabat negara diulas secara ringan dalam sebuh buku berjudul ‘Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan’. Buku setebal 142 halaman ini mengupas sisi kehidupan Hoegeng saat menjadi pejabat semasa era Presiden Soekarno dan Soeharto. Buku yang ditulis oleh Wakil Editor Desk Nusantara Harian Kompas, Suhartono, ini dalam paparannya cukup bertutur dalam mengupas sisi kehidupan Hoegeng.

Misalnya, ketika diberhentikan dari jabatan Kapolri oleh Presiden Soeharto, Hoegeng dinilai usianya sudah terbilang tua. Padahal, Hoegeng saat itu masih berusia 49 tahun. Di usia itu, Hoegeng bisa dibilang masih produktif sebagai petinggi Polri. Sementara pengganti Hoegeng, yakni Jenderal Polisi Mohammad Hasan berusia 53 tahun saat itu.

Hoegeng sempat diusulkan menjabat Dubes Swedia. Namun, Jenderal polisi itu menolaknya. Pemerintahan Soeharton tak putus asa. Hoegeng kembali ditawari jabatan sebagai Dubes di Kerajaan Belgia, Benelux dan Luxemburg. Pemerintah kala itu beralasan, istri Hoegeng yakni Meriyati Roeslani merupakan keturunan Belanda. Bahkan, Hoegeng fasih menggunakan bahasa negeri kincir angin itu. Akan tetapi, pria kelahiran Kota Pekalongan itu tetap menolak.

Bagi sebagian kalangan, tawaran menjadi Dubes menjadi cara pemerintahan Soeharto ‘membuang’ Hoegeng ke luar Indonesia. Namun, Hoegeng berpendirian jabatan sebagai Kapolri belumlah berakhir. “Tugas apa pun saya akan terima, asal jangan jadi Dubes Pak,” jawab Hoegeng menolak tawaran Presiden Soeharto dalam bukunya, ‘Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan’.

Presiden Soeharto pun menampiknya. “Di Indonesia, tidak ada lagi lowongan buat Hoegeng”. Ditantang Presiden Soeharto, Hoegeng tetap memegang prinsip. Hoegeng pun langsung menyatakan berhenti dari jabatan Kapolri saat itu juga.

Alasan Hoegeng menolak jabatan itu lantaran sebagai aparat penegak hukum mestinya hanya diamanahi tugas sebagai seorang polisi, bukan jabatan lain. Alasan lain, kata Hoegeng, menjadi seorang Dubes mesti memiliki keilmuan diplomatik. “Kita kan belum tahu luar negeri Pap. Kalau Papi jadi Dubes, kita bisa keluar negeri gratis,” ujar anak Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng.

Mendengar permintaan anaknya, Hoegeng berang seraya menggebrak meja makan. “God verdomme! Kamu tahu, kalau papi mu jadi Dubes kerjanya hanya seremonial seperti bertemu dengan perwakilan pemerintah negara asing sambil minum atau makan. Padahal di negara kita ini banyak rakyat yang tengah kesulitan hidupnya, dan untuk makan dan minum saja sulit,” ujarnya. Si anak pun terdiam.

Siapa sangka, kebijakan mewajibkan penggunaan helm bagi pengendara motor digagas oleh Hoegeng. Kebijakan itu awalnya ditentang banyak orang. Namun tidak sedikit pula yang mendukung kebijakan tersebut, karena bertujuan untuk keselamatan pengendara. Beberapa bulan kemudian, kebijakan tersebut disetujui. Kebijakan mewajibkan masyarakat menggunakan kendaraan sepeda motor membuat nama Hoegeng kian populer kala itu.

Buku ini juga mengulas kiprah Hoegeng kala dipercaya Presiden Soekarno untuk memegang jabatan Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet dan Menteri Iuran Negara. Tak hanya itu, Hoegeng juga mengemban jabatan seperti Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia periode 1961-1966. Hoegeng memang layak dijadikan panutan bagi negerasi muda.

Anti korupsi
Sikap Hoegeng yang sederhana, terbuka dan jujur bahkan tak mau kompromi dalam penegakan hukum menjadi cerminan sikapnya yang anti korupsi. Misalnya, ketika di kantor. Dia tak sungkan menerima tamu dihadapan anak buahnya. Tentunya tanpa adanya pembicaraan rahasia, karena itu tadi, dapat didengar oleh anak buahnya yang berada di ruang kerjanya.

Langkah itulah sebagai upaya untuk mencegah korupsi. Sikap lainnya ditunjukan dengan menolak berbagai pemberian dan hadiah seperti barang rumah tangga dan kendaraan. Hoegeng khawatir pemberian itu dapat mempengaruhi sikapnya sebagai aparat penegak hukum.

Keseharian Hoegeng sebagai seorang pejabat negara jauh dari kemewahan. Meski menjabat sebagai Kapolri kala itu, Hoegeng tidak memanfaatkan jabatannya untuk mengumpulkan harta kekayaan. Bahkan, Hoegeng sempat membayar rumah sewaannya dengan wesel. Hal lainnya, Hoegeng meminta usaha Toko Kembang yang dirintis sang istri ditutup agar saat menjalankan tugasnya sebagai polisi, tak terjadi konflik kepentingan.

Hoegeng juga menolak berbagai fasilitas terkait jabatan yang dinilai berlebihan. Misalnya pemberian tanah kavling, rumah dan mobil dinas. Bahkan, pengawalan sehari-hari dan penjagaan di rumah yang ditempatinya.

“Kalau mau menghilangkan korupsi di negara ini sebenarnya gampang. Ibaratnya, kalau kita harus mandi dan membersihkan badan, itu semua harus dimulai dari atas ke bawah. Mmebersihkan korupsi juga demikian. Harus dimulai dengan cara membersihkan korupsi di tingkat atas atau pejabatnya lebih dulu, lalu turun ke badan atau level pejabat eselonnya, dan akhirnya ke kaki hingga telapak atau pegawai di bawah,” kata Hoegeng.

Mencoba meminjam pernyataan Presiden Abdurahman Wahid –Gusdur-, figur Hoegeng Iman Santoso dikenal sosok yang jujur, sederhana dan tak kenal kompromi. Itu sebabnya Hoengeng seperti ‘polisi tidur’ tak bisa disuap. “Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng,” begitu penilaian Gusdur.

Semoga generasi muda dan pejabat negara dapat meneladani sikap dan prinsip seorang Hoegeng dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga bermanfaat.
Tags:

Berita Terkait