Penanganan Perkara di Kejari Jakbar Terkendala Anggaran
Berita

Penanganan Perkara di Kejari Jakbar Terkendala Anggaran

Terpaksa memutar otak untuk mencari solusi selama tak melanggar hukum.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Kepala Kejari Jakbar, Reda Manthovani. Foto: RES
Kepala Kejari Jakbar, Reda Manthovani. Foto: RES
Terhitung sejak tahun 2013, daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Kejaksaan Negeri Jakarta Barat cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2013, DIPA yang didapat mencapai hampir Rp16 miliar. Sementara itu, pada tahun 2014 hanya mendapat Rp13 miliar. Tahun lalu sempat ada kenaikan menjadi Rp14 miliar. Rencananya, tahun ini Kejari Jakbar akan mendapat anggaran Rp14,3 miliar.

Kepala Kejari Jakbar, Reda Manthovani, mengatakan keterbatasan anggaran menjadi kendala dalam melakukan kerja lapangan. Akibatnya, dalam penanganan perkara Kejari Jakbar harus memutar otak untuk mencari solusi selama tak melanggar hukum. Namun nyatanya, beberapa perkara tidak dapat tertangani secara menyeluruh.

"Sejauh ini kami akan upayakan dengan anggaran yang ada. Kami tidak pernah menolak anggaran," kata Reda, Selasa (12/1).

Kepala Seksi Pidana Khusus Jakarta Barat, Chorun Parapat, mencontohkan bahwa minimnya anggaran menimbulkan masalah, misalnya terkait kendaraan tahanan. Ia menyebut, kendaraan tahanan yang dimilikinya tak layak. Bahkan, untuk tahanan kasus pidana khusus tak ada mobil tahanan yang tersedia.

Sebagai solusi, Chorun menyebut bahwa pihaknya beberapa kali menggunakan mobil sitaan untuk dijadikan mobil tahanan. Sebab, ia menegaskan bahwa ketiadaan mobil tahanan tak bisa membuat perkara harus terhenti. Namun, banyak pihak yang mengkritisi hal itu.

“Saya pernah dikritik, mobil tahanan untuk perkara pidana khusus kok diskriminatif. Yah, bagaimana kita tidak diskriminatif, tapi memang kita tidak punya. Daripada perkara terkendala, kita akali. Mobil yang dalam waktu dekat akan dilelang kita pinjam dulu sebagai mobil tahanan. Tapi tetap kita berikan tulisan mobil tahanan,” jelas Chorun.

Selain itu, anggaran untuk penanganan perkara pun sangat terbatas. Chorun mengatakan, perkara tindak pidana khusus yang dianggarkan di tingkat penyelidikan hanya dua. Sementara itu, di tingkat penyidikan hanya 4 perkara. Untuk kehadiran sidang pun hanya 3 kali sidang yang dianggarkan.

“Padahal kan kita tahu sidang tidak hanya tiga kali. Apalagi jika saksi yang harus dihadirkan banyak. Belum lagi jika ada eksepsi segala,” tambahnya.

Untuk pelayanan non-litigasi pun anggaran yang didapatkan tak kalah kecil. Dalam setahun, hanya disediakan Rp12 juta. Artinya, untuk satu bulan hanya tersedia anggaran sebesar Rp1 juta.

“Bayangkan, dengan dana segitu kita harus melayani permintaan konsultasi dari masyarakat hampir 150 perkara,”  keluh Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejari Jakbar, Sulvia T. Hapsari.

Di sisi lain, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang disetorkan Kejari Jakbar menurut Reda cukup besar. Dalam kurun tiga tahun, pihaknya sukses mengumpulkan lebih dari Rp187 miliar. Artinya, ada surplus tiga kali lipat dari DIPA yang didapatkan.

“Selama tiga tahun DIPA kita hanya sekitar Rp57 miliar. Ini kan tidak sebanding dengan PNBP yang kita hasilkan,” tandasnya.

Reda mengakui persoalan anggaran tak hanya dialami oleh Kejari Jakbar. Ia menilai seluruh Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi di Indonesia kondisinya sama. Hanya saja, selama ini tak ada yang berani membuka kenyataan pahit tersebut ke muka publik.

“Mungkin takut dinilai kinerjanya tidak baik, diberi anggaran segitu saja sudah teriak kecil,” ucapnya.

Dia juga mengaku tak takut mendapat cap semacam itu. Baginya, keterbukaan informasi merupakan sebuah alat untuk menegakkan akuntabilitas dan transparansi. Dua hal itu, menurut Reda, indikator penting bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik. Karenanya, Reda berani memulai untuk mempublikasikan Laporan Harta Kekayaannya beserta jajarannya melalui website Kejari Jakbar.
Tags:

Berita Terkait