Advokat Bersertifikat Halal, APSI Pun Tak Sepakat
Berita

Advokat Bersertifikat Halal, APSI Pun Tak Sepakat

APSI menilai tak ada relevansi dalam UU JPH untuk mewajibkan advokat bersertifikat halal.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Foto: dpn-apsi.or.id
Foto: dpn-apsi.or.id
Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) turut berkomentar mengenai kewajiban profesi pemberi jasa hukum agar bersertifikat halal. Wakil Ketua DPN APSI Mustolih Siradj menilai kewajiban advokat bersertifikat halal tidaklah diperlukan. Menurutnya, sertifikasi halal terhadap advokat ini tidak memiliki relevansi terhadap jasa hukum yang diberikan oleh advokat terhadap kliennya.

“Saya pikir belum menemukan relevansi dan kemudian norma yang menjelaskan secara kokoh terkait dengan relevansi sertifikasi advokat,” ujar Mustolih saat dihubungi hukumonline, Rabu (13/1).

Lagipula, lanjut Mustolih, jasa yang diberikan oleh advokat tidak cuma sekedar mendampingi klien baik di dalam atau di luar pengadilan. Melainkan ‘produk’ yang dihasilkan oleh advokat pun juga beragam. Atas dasar itu pula, ia menilai kalau kewajiban advokat agar bersertifikat halal begitu sulit dibangun argumentasi hukumnya.

“Karena produk daripada advokat itu kan macam-macam, ada legal opinion, dan lain-lain. Bagaimana yang litigasi, bagaimana nanti yang non-litigasi, bagaimana yang cuma konsultan. Ini akan menyulitkan,” paparnya.

Terkait dengan dasar hukum, penggunaan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) juga dianggap tidak cukup kuat untuk ‘menarik’ profesi advokat menjadi pihak yang diwajibkan bersertifikat halal. Mustolih menilai, dalam UU JPH tidak ditemukan frasa yang bisa menjelaskan kalau pemberi jasa juga menjadi pihak yang wajib bersertifikat halal.

Sepengetahuan dirinya, UU JPH juga hanya mewajibkan sertifikasi halal bagi benda-benda yang sifatnya tangible asset (berwujud). Sementara itu, jasa hukum yang diberikan oleh advokat menurutnya termasuk dalam intangible asset. Sehingga, yang menjadi parameternya pun barang tentu berbeda.

“Tapi terkait dasar hukumnya saya pikir masih sangat tidak relevan dan kurang kuat kalau bicaranya menarik UU JPH terhadap profesi advokat. Secara frasa di situ tidak ada yang menjelaskan atau mem-breakdown persis,” sebutnya.

Selain itu, jika kewajiban ini dipaksakan kepada profesi advokat, ia khawatir pelaksanaanya nanti akan cukup membuat ruwet. Pasalnya, UU JPH masih belum bisa menjawab sampai pada wilayah mana pihak-pihak yang menjadi wajib disertifikasi halal. Persoalan lainnya adalah peraturan pelaksana dari UU JPH yang hingga kini belum terbentuk.

“Kami sendiri dari APSI, daripada polemik ini dilebar-lebarkan, maka satu-satunya hal yang bisa menjawab ini adalah Kementerian Agama yang menjadi leading sector pelaksanaan UU JPH segera menerbitkan peraturan pelaksana. Karena ada banyak sekali hal yang harus dijabarkan secara detail tentang pasal per pasal daripada UU JPH. Karena kalau tidak segera ada PP-nya, itu akan ada persoalan baru terutama khususnya dari pelaku usaha,” usulnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah menyebutkan kalau definisi ‘Produk’ dalam Pasal 1 angka 1 UU JPH termasuk juga jasa yang diberikan oleh advokat untuk diwajibkan bersertifikat halal. Pernyataan tersebut cukup membuat heboh di kalangan advokat lantaran selain aktif di lembaganya itu, Ikhsan juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam pandangan Mustolih, apa yang dilakukan Ikhsan sebetulnya sah-sah saja. Hanya saja, Mustolih menilai kalau dasar pemikiran dengan digunakannya definisi ‘produk’ di UU JPH cukup jauh menjangkau untuk profesi advokat. “Hanya saja, definisi atau jangkauan untuk menuju profesi ini agak jauh, relevansinya bagi saya belum temukan kalau profesi advokat mesti disertifikasi halal,” tandasnya.

Jangan pakai ‘kacamata kuda’
Terlepas dari sikap APSI yang memandang kewajiban sertifikasi halal bagi advokat tidak diperlukan jika dilihat dari UU JPH. Mustolih menyebutkan bahwa jauh sebelum UU JPH ini diundangkan, sebetulnya telah banyak aturan perundang-undangan yang mengatur tentang ‘halal’ ini. Paling tidak Mustolih menyebut antara lain UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Frasa ‘halal’ sebetulnya sudah tersebar dimana-mana. Saya sendiri punya interest dan pernah meneliti UU ini. Ada sekitar 30-40 peraturan teknis terkait dengan jaminan produk halal ini. Termasuk di UU Perlindungan konsumen, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Pertanian,” terangnya.

Tak hanya itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memutuskan kalau frasa ‘halal’ dalam ketentuan Pasal 58 ayat (4) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan konstitusional. “Kita melihatnya jangan kacamata kuda, tapi dilihat dari UU Konsumen, UU Kesehatan Peternakan itu ada semua, ada frasa halal di situ. Termasuk ada putusan MK tahun 2012 tentang uji materil pasal 58 ayat (4) UU PKH. Ternyata frasa halal tetap konstitusional,” pungkasnya. 
Tags:

Berita Terkait