Awas! Perancang Peraturan Bisa Terancam Rumusan RUU Ini
Berita

Awas! Perancang Peraturan Bisa Terancam Rumusan RUU Ini

Merujuk pada naskah RUU versi 15 September 2015.

Oleh:
ADY/MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Diskonsepsi perumusan peraturan perundang-undangan (regulasi) bakal dikualifikasi sebagai salah satu bentuk ancaman tidak bersenjata. Kalangan masyarakat sipil justru menganggap pandangan ini berbahaya karena mengancam demokrasi dan hak asasi manusia.

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menyebutkan rumusan yang memasukkan diskonsepsi perumusan regulasi sebagai ancaman nasional terdapat dalam Pasal 11 ayat (3) RUU Keamanan Nasional. Setidaknya, Al Araf melihatnya pada naskah RUU versi 15 September 2015. Penjelasan Pasal itu menyebut 12 jenis yang digolongkan sebagai bentuk ancaman tidak bersenjata. Salah satunya, diskonsepsional perumusan regulasi yakni perumusan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD RI 1945.

Al Araf menganggap aturan semacam itu tidak pantas karena bisa berimbas kepada para pembentuk peraturan perundang-undangan. Ia khawatir jika rumusan itu disalahpahami bisa saja mengarah kepada perancang peraturan seperti anggota DPR. Ketika DPR menerbitkan UU yang dianggap diskonsepsional maka anggota DPR atau aparat pemerintah bisa ditangkap.

“Ketentuan ini sangat tidak layak karena bisa menganggap pembuat regulasi sebagai ancaman nasional,” katanya dalam jumpa pers di kantor Imparsial di Jakarta, Selasa (12/1).

Pasal 12 RUU Kamnas, tambah Al Araf, juga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan karena Presiden bisa menentukan ancaman potensial dan aktual. Al melihat pasal tentang ancaman potensial dan aktual sifatnya karet, RUU Kamnas tidak mengatur secara ketat. Sehingga bisa saja masyarakat yang kritis terhadap kekuasaan dianggap sebagai ancaman potensial. Misalnya, gerakan masyarakat anti korupsi, mahasiswa, buruh dan petani.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan menilai RUU Kamnas tidak penting untuk dapat prioritas karena ada RUU lain yang lebih utama untuk dibahas dan diterbitkan dalam rangka reformasi sektor keamanan seperti RUU tentang Tugas Perbantuan, revisi UU Darurat No. 23 Tahun 1959 dan revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Peneliti Elsam, Wahyudi Djafar, menjelaskan Koalisi menolak RUU Kamnas sejak 2011 dan sudah menyampaikannya dalam rapat dengar pendapat umum di DPR. Saat itu DPR sepakat dengan sikap masyarakat sipil dan mengembalikan draft RUU Kamnas kepada pemerintah. Tahun 2012 pemerintah membenahi materi RUU Kamnas dan menyerahkan kembali ke DPR, namun seluruh fraksi di DPR menolak. Selama 2012-2014 RUU itu tak pernah dibahas. Tetapi Pemerintah kemudian mengajukan RUU lagi pada 15 September 2015.  

Dalam draft baru itu, jumlah pasal lebih sedikit daripada versi sebelumnya yakni dari 56 menjadi 36 pasal. Walau jumlah pasal RUU Kamnas turun, substansinya masih mengkhawatirkan Wahyudi dan kawan-kawan. “Dalam Nawacita tertulis akan memutus impunitas diantaranya dengan merevisi UU Peradilan Militer, tapi sampai sekarang pemerintah dan DPR tidak pernah mengusulkan revisi UU Peradilan Militer,” urai Wahyudi.

Pengajar ilmu perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, meminta para penyusun RUU Kamnas memperhatikan sungguh-sungguh tata cara dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sudah sangat jelas mengatur cara perumusan norma dan membentuk suatu peraturan, baik level undang-undang maupun peraturan di bawahnya.

Jika benar RUU Kamnas memasukkan ‘diskonsepsi perumusan regulasi’ sebagai salah satu bentuk ancaman, maka pertanyaan berikutnya siapa yag menentukan suatu rumusan undang-undang memuat diskonsepsi? Apa pula pengertian dan batasan ‘diskonsepsi perumusan regulasi’? Selanjutnya, apakah kalau terjadi diskonsepsi, maka perancang peraturan yang akan dipersalahkan?

Bayu mengingatkan UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 sudah sangat jelas langkah apa yang harus ditempuh jika—katakanlah- terjadi diskonsepsi. Jika terjadi pada level Undang-Undang, maka pihak yang keberatan bisa memohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, jika terjadi pada level peraturan di bawah Undang-Undang, maka bisa dimohonkan uji ke Mahkamah Agung. “Biarkan lembaga peradilan yang memutuskan terjadi diskonsepsi peraturan atau tidak,” tegasnya kepada hukumonline.

Selain itu, Bayu menegaskan jika terjadi kesalahan perumusan suatu peraturan, mekanismenya adalah memperbaiki rumusan itu, bukan malah mengkriminalkan orang yang membuatnya. “Yang dibatalkan adalah normanya, bukan justru penyusunnya yang disasar,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait