WNA Boleh Miliki Properti, Ini Potensi Masalahnya
Utama

WNA Boleh Miliki Properti, Ini Potensi Masalahnya

Hak atas tanah bukan harta bersama. Dituangkan dalam perjanjian pemisahan harta.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Pengurus The HUD Institute Zulfi Syarif Koto. Foto: http://www.hudindonesia.org
Ketua Dewan Pengurus The HUD Institute Zulfi Syarif Koto. Foto: http://www.hudindonesia.org

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. PP ini diterbitkan antara lain untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi orang asing yang bekerja dan berinvestasi di Indonesia.

Ketua Dewan Pengurus The Housing Urban Development (The HUD Institute) Zulfi Syarif Koto menyatakan mendukung kebijakan yang memberikan kepemilikan properti bagi asing dengan beberapa persyaratan. “HUD mendukung properti asing dengan beberapa syarat,” kata Syarif dalam acara dialog interaktif dan tasyakuran ke-5 HUD Institute di Jakarta, Kamis (14/1).

Menurut Zulfi, perlu ada pembatasan bahwa asing memiliki hak pakai atas bangunan, bukan hak milik atas tanah. Kedua, pemerintah harus memiliki peta zonasi yang jelas. Kepemilikan properti oleh asing, lanjutnya, tidak bisa diberlakukan di semua lokasi atau daerah. Ketiga, jenis bentuk properti yang bisa dimiliki asing harus jelas, beserta luas yang bisa dimiliki.

Syarif juga mengingatkan agar Pusat tak meninggalkan pemerintah daerah saat membuat dan menjalankan kebijakan PP No. 103 tersebut. Sebab, lokasi yang diminati asing banyak terletak di daerah. The HUD Institute, kata dia, sebenarnya sudah memberikan masukan kepada pemerintah. HUD sebenarnya lebih mendorong revisi PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia ketimbang membuat regulasi baru.

Cuma, Pemerintah akhirnya memilih membuat beleid baru yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku PP No. 41 Tahun 1996. Pencabutan itu ditegaskan dalam Pasal 12 PP 103.

Pengamat properti, Ali Tranghanda, melihat ada kemungkinan penerapan PP 103 menimbulkan masalah di lapangan, seperti terjadi sengketa antara suami isteri yang berbeda kewarganegaraan. “Takutnya nanti ada sengketa,” kata Ali,  Kamis (14/1).

Salah satu masalah yang mungkin muncul adalah kesulitan mendapatkan dana untuk membangun properti buat warga negara asing. Proyek properti semacam itu, kata Ali, tidak bankable karena bank khawatir resiko yang bisa timbul.

Masalah lain adalah mengenai hak atas tanah dimana properti berdiri jika terjadi perkawinan campuran. Pasal 3 ayat (2) PP No. 103 Tahun 2015 menyebutkan ‘hak atas tanah sebagaimana dimaksud, bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.’

Ali mengatakan status tanah dan properti itu dapat memunculkan sengketa antara pasangan suami-isteri. “Ketika cerai hak atas tanah dan hak pakai menjadi milik pribumi kecuali ada perjanjian pranikah. Hal ini takutnya juga akan memunculkan sengketa,” imbuhnya.

Persoalan lain yang dinilai Ali potensial muncul adalah harga. Ali mengingatkan jika pemerintah ingin menata khusus tentang kepemilikan rumah untuk asing, harus ada patokan harga yang jelas. Sehingga, PP ini harus diikuti dengan pengawasan yang jelas juga.

Ali berpendapat Indonesia belum siap untuk membuka sepenuhnya kepemilikan properti bagi asing. Ia khawatir terjadi dampak yang tak diduga (buble) dan kemudian memaksa pemerintah untuk mengetatkan kembali kepemilikan properti untuk asing.

“Ketika kran asing dibuka, Indonesia harus siap. Tapi biasanya akan terjadi buble dan kalau sudah begitu baru diketatkan (kepemilikan asing). Seharusnya pemerintah mengajak asing untuk berinvestasi dan lebih memikirkan rakyat Indonesia dulu untuk punya rumah. Kalau begini nanti masalah jadi menumpuk di satu tanah,” tukasnya.

Pasal 2 ayat (1) PP 103 tersebut menyebutkan orang asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak pakai. Dalam PP itu juga disebutkan, orang asing yang diperbolehkan memiliki rumah tinggal atau hunian adalah orang yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja atau berinvestasi di Indonesia.

Salah satu syarat bagi orang asing tersebut untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian adalah memiliki izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila orang asing tersebut meninggal dunia, maka rumah tempat tinggal atau hunian itu dapat diwariskan.
Tags:

Berita Terkait