Tiga Catatan Penting Tentang Konsep Kerugian Negara
Berita

Tiga Catatan Penting Tentang Konsep Kerugian Negara

Metode dan personil yang melakukan perhitungan kerugian negara belum jelas.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Kata ‘kerugian negara’, bagi Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seolah menjadi momok yang menakutkan. Bagaimana tidak? Salah-salah mengambil kebijakan dan dikategorikan merugikan negara, Direksi sebuah BUMN bisa dipidana. Padahal, ada risiko bisnis yang harus dipertimbangkan, apakah kebijakan Direksi tersebut dapat digolongkan ke dalam kerugian negara atau tidak. Hal ini masih menjadi persoalan pelik di Indonesia.

Dalam hal pengadaan barang/atau jasa, seorang Direksi BUMN juga bisa dijerat dengan kerugian negara. Kasus ini yang kemudian membawa mantan Direksi Pelindo II RJ Lino menjadi tersangka di KPK. Namun dibalik itu, konsep ‘kerugian negara’ yang selalu menjadi indikasi terjadinya korupsi masih mengambang.

Ketua Umum Pengurus DPN Asosiasi Pengacara Pengadaan Barang dan Jasa Indonesia (APPBJI), Sabela Gayo, mengatakan konsep keuangan negara masih mengambang. Hal tersebut terlihat dari beberapa lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit keuangan negara. Tiga lembaga seperti BPK, BPKP, dan Kantor Akuntan Publik, sama-sama memiliki wewenang untuk melakukan audit.

Menurutnya, ada tiga catatan penting mengenai konsep kerugian negara, khususnya dalam konteks pengadaan barang dan jasa yang harus diperhatikan. Pertama, filosofi pengadaan barang/jasa pemerintah tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk mendorong tumbuhnya perekonomian melalui penyerapan anggaran pemerintah.

Kedua, tidak jelasnya metode penghitungan kerugian negara dan personil yang melakukan perhitungan kerugian negara. Gayo mengatakan, selama ini penegak hukum menggunakan BPK dan BPKP untuk menemukan potensi kerugian sebuah negara dalam satu kasus.

“Biasanya, kalau BPK tidak menemukan adanya kerugian negara, maka penegak hukum akan meminta audit BPKP, atau sebaliknya. Jadi, tidak ada kejelasan dalam penghitungan ini,” kata Gayo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (15/1).

Ketiga, masih adanya perdebatan mengenai pihak yang berhak menghitung kerugian keuangan negara. Pada dasarnya, pihak yang berwenang melakukan penghitungan kerugian negara diatur dalam UU KUHAP dan UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK, dan UU No.20 Tahun 2001 tentang Tipikor.

Dijelaskan Gayo, UU KUHAP Pasal 1 angka 28 menyatakan bahwa ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK, Pasal 11 huruf c menyatakan bahwa ahli adalah BPK (bukan pribadi, anggota, karyawan atau auditor) dan UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Tipikor, pasal 2 angka 1 menjelaskan bahwa ahli adalah instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk yang menghitung jumlah kerugian  negara.

“Secara nyata telah ada kerugian negara, maksudnya adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk,” jelas Gayo.

Mantan Anggota Komisi Yudisial, Ibrahim, berpendapat pada dasarnya semua pihak bisa terlepas dari unsur kerugian negara asalkan memperhatikan dua hal. Pertama, memperhatikan rules yang ada dan ketentuan yang berlaku, tidak hanya melihat pada norma hukum yang ada secara tertulis, akan tetapi harus memperhatikan prinsip-prisnip hukum dan prinsip-prinsip bisnis yang baik.

“Jadi misalnya ketika norma hukumnya tidak jelas, tetapi itu bisa dilihat dari perspektif prinsip-prinsip hukumnya misalnya dari sektor kehati-hatian, akuntabilitas, due diligence. Jadi ketika mau melakukan suatu tindakan, dia harus berhati-hati dalam konsteks apakah ini base on law atau tidak,” kata Ibrahim pada acara yang sama.

Kedua, ada upaya lembaga-lembaga yang berkepentingan untuk menegakkan norma-norma hukum yang ada dan melakukan supervise dengan tujuan pencegahan.Menurutnya, pencegahan lebih baik dilakukan sebelum kesalahan terjadi.

Lalu, apa yang harus dipertimbangkan oleh penegak hukum ketika sebuah perusahaan pelat merah terbukti merugikan negara? Ibrahim berpendapat bahwa perlu dilihat apakah kebijakan Direksi tersebut sudah berdasar pada praktik bisnis terbaik dan adanya unsur niat.

“Barometernya harus ada, pertimbangan pertama, apakah sudah berdasar menurut hukum, bagaimana praktik bisnis yang terbaik, kalau by law dari awal sudah salah berarti salah. Kedua, niat. Kalau tidak ada niat harus dilihat kenapa ada pelanggaran ini,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait