Muhammad Hafidz, Aktivis Buruh “Getol” Uji Peraturan
Berita

Muhammad Hafidz, Aktivis Buruh “Getol” Uji Peraturan

Setiap putusan MK terutama yang dikabulkan seharusnya dikukuhkan lewat Perppu atau revisi pasal atau ayat dari UU yang bersangkutan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
M Hafidz di ruang sidang MK. Foto: ASH
M Hafidz di ruang sidang MK. Foto: ASH
Nama Muhammad Hafidz cukup dikenal di kalangan organisasi serikat buruh/pekerja. Maklum, pria kelahiran Jakarta, 26 September 1980 ini cukup lama berkecimpung dalam isu-isu perburuhan. Pernah di-PHK lantaran menjadi pengurus pimpinan unit kerja (PUK) serikat pekerja logam, elektronik, dan metal di sebuah perusahaan swasta tahun 1998. Lalu, Hafidz bergabung menjadi Pengurus Pusat Serikat Buruh Jabotabek sejak 1999 hingga 2003.

Sejak 2006 hingga 2014, dia tercatat menjadi pengurus Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) dengan jabatan terakhirnya menjadi Sekjen FISBI. Seperti halnya pengurus organisasi serikat buruh lain, Hafidz banyak memperjuangkan hak-hak buruh lewat aksi demonstrasi, mogok, negoisasi dengan pengusaha, gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan advokasi kebijakan perburuhan lewat legislative review.

Namun, beberapa tahun terakhir, alumnus Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (2012) ini lebih banyak memperjuangkan hak-hak buruh/pekerja lewat pengujian undang-undang (UU) di Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini, tak jarang membuahkan hasil, MK mengabulkan pengujian UU yang mengubah paradigma kebijakan perburuhan yang lebih melindungi hak-hak buruh.

Ditemui hukumonline di gedung MK, akhir Desember 2015 lalu, pria yang kini tercatat sebagai pengelola laman buruh-online.com ini mengungkapkan alasan memperjuangkan hak-hak buruh lewat MK. Berikut ini petikan wawancaranya:

Kenapa Anda memilih MK sebagai sarana memperjuangkan hak-hak buruh?
Sejak aktif di organisasi serikat pada 1997, kita hanya selalu menyelesaikan perkara perburuhan di tingkat pabrik perusahaan. Padahal, sebenarnya akar persoalan perkara perburuhan terletak pada persoalan norma peraturan perundang-undangan yang kerap melanggar hak-hak buruh. Makanya, kita lebih memilih judicial review untuk memperjuangkan hak-hak buruh di MK karena di MK kita cukup mempengaruhi lima Hakim Konstitusi daripada legislative review yang harus mempengaruhi 560-an anggota DPR.

Jadi, cara-cara ‘konvensional’ yang selama ini dilakukan buruh kurang efektif?
Iya, cara-cara advokasi buruh selama ini dirasa kurang efektif untuk perubahan kebijakan perburuhan yang lebih melindungi hak-hak buruh. Organisasi buruh lebih banyak “bermain” lewat gugatan di PHI yang hanya menyelesaikan beberapa atau ratusan kepentingan buruh. Apalagi, sistem pembentukan hukum kita “borjuis” yang masih tunduk/berpihak pada kepentingan kapitalis. Namun, apabila kita mempersoalkan UU melalui judicial review di MK dan dikabulkan tentunya akan berimplikasi pada kepentingan semua pekerja di Indonesia.

Sejak kapan Anda memperjuangkan hak-hak buruh lewat pengujian UU di MK?
Pada 2008, pertama kalinya kita melayangkan pengujian UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan ditolak. Lalu, kita memohon pengujian UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait aturan pengunduran diri dan kesalahan berat tanpa uang pesangon meski ditolak oleh MK. Selanjutnya, pengujian UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Dalam pengujian UU SJSN, MK pernah mengabulkan permohonannya dengan menyatakan kepesertaan wajib jaminan sosial bagi buruh/pekerja. Apabila, perusahaan belum mendaftarkan, buruh/pekerja yang bersangkutan bisa mendaftarkan sendiri. Pada 29 September 2015, MK mengabulkan permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan terkait anjuran tertulis harus dimaknai sebagai risalah mediasi.

Tak lama kemudian, lewat pengujian UU Ketenagakerjaan, MK memaknai proses peralihan buruh/pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) harus melalui penetapan pengadilan negeri setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. Kini, dari 10 perkara pengujian UU yang digugat selama 2015 ini masih menyisakan empat perkara yang belum diputus MK. Salah satunya, pengujian Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU PPHI yang meminta PHK dengan alasan apapun seharusnya tidak daluwarsa untuk mengajukan gugatan ke PHI.

Bagaimana Anda memandang pelaksanaan putusan MK terkait perlindungan buruh/pekerja saat ini?
Saya prihatin dengan pelaksanaan putusan MK yang dikabulkan terutama menyangkut perlindungan hak-hak buruh ini. Sebab, setiap putusan MK yang diundangkan (dalam Lembaran Negara) peraturan pelaksanaannya hanya lewat surat edaran atau surat keputusan setingkat menteri. Padahal, surat edaran itu tidak masuk hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga bagaimana putusan MK itu bisa dilaksanakan.

Terlebih, pemerintah seringkali menafsirkan kembali norma yang sudah dibatalkan atau ditafsirkan MK, sehingga tak jarang menimbulkan penafsiran yang keliru. Baginya, setiap putusan MK terutama yang dikabulkan seharusnya dikukuhkan lewat Perppu atau revisi pasal atau ayat dari UU yang bersangkutan. Apalagi, UU Ketenagakerjaan sudah sering diuji dan cukup banyak yang dikabulkan.

Bagaimana implikasi putusan MK ini jika dihubungkan dengan penanganan kasus-kasus ketenagakerjaan lewat jalur PHI?
Saya melihat ada ego sektoral antara MK dan lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA). Sebab, beberapa putusan MK tidak ditaati dalam penanganan perkara ketenagakerjaan di MA. Kita mencatat ada sekitar 7 putusan MA yang justru “menabrak” norma-norma ketenagakerjaan yang sudah diputuskan MK. Salah satunya putusan MK terkait upah proses PHK dibayarkan hingga putusan inkracht. Namun, MA mengabaikan ketentuan itu. Kalau sudah seperti ini, bagaimana?
Tags:

Berita Terkait